Saturday 25 October 2014

Urgensi Diplomasi Kemanusiaan PBB

Oleh Andi Purwono
HINGGA berusia 69 tahun pada 24 Oktober 2014, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations (UN) belum sepenuhnya bisa menghadirkan perdamaian dan keamanan bagi manusia. Berbagai krisis kemanusiaan akibat bencana dan konflik masih mengemuka. Tulisan ini mengajukan gagasan urgensi diplomasi kemanusiaan oleh organisasi internasional itu supaya kehadirannya dirasakan lebih nyata oleh warga bumi ini.
Dalam pandangan tradisional sebagaimana pandangan realisme politik, konsep keamanan dipahami semata-mata domain negara sehingga persoalan militer menjadi fokus utama. Namun perkembangan kontemporer memaksa kita untuk memperluas perhatian pada aspek-aspek nonmiliter dan fokus pada keamanan manusia.
Saat ini, wabah ebola dan penyebaran berbagai virus lain, bencana lingkungan, kemiskinan, kelangkaan pangan dan energi, kemunculan ideologi radikal seperti terorisme dan IS, dan berbagai bencana akibat konflik seperti terjadi di Palestina, Suriah, dan Ukraina, masih menghegemoni dunia.
Mengenai kemiskinan misalnya, pada peringatan Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia tanggal 17 Oktober lalu, Sekjen PBB, Ban Ki-moon mengingatkan ada 2,4 miliar orang miskin dengan berpenghasilan kurang dari 2 dolar AS/hari. Sehari sebelumnya, bertepatan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia dia menegaskan kekhawatirannya terhadap keberlanjutan keamanan pangan sehingga perlu mendorong petani meningkatkan produksi. Dua contoh itu menunjukkan bahwa selain kemajuan dunia, ada kehidupan warga bumi yang masih terancam, dan belum bebas dari kemiskinan/kekurangan.
Berkait kesehatan, Kepala Misi PBB untuk Respons Darurat Ebola, Anthony Banbury mengingatkan risiko penyebaran virus itu mengalahkan pencegahannya. Kita ingat musim haji tahun ini dibayangbayangi ketakutan penyebaran virus tersebut. Dua sekolah di Eropa bahkan diliburkan gara-gara salah satu siswanya pernah satu pesawat dengan orang yang terduga ebola. Berkait ketakutan berlebihan itu, bahkan hingga pengucilan, negara-negara di Afrika khawatir hal itu menghancurkan perekonomian mereka.
Diplomasi kemanusiaan adalah upaya persuasi oleh aktor internasional —siapa pun dia— kepada semua pihak untuk turut serta mengatasi problem kemanusiaan. Upaya itu harus mendasarkan prinsip kemanusiaan, netral, dan nondiskriminasi. Diplomasi diperlukan guna membuka kesadaran semua pihak sekaligus membuka ruang untuk aksi kemanusiaan.
Dalam konteks peran PBB, diplomasi kemanusiaan menjadi penting karena saat ini dibutuhkan koordinasi optimal berkait kemunculan berbagai aktor kemanusiaan. Dalam tataran aksi, kemunculan mereka perlu dikoordinasikan supaya menghasilkan sinergi dan ada jaminan tercapainya tujuan kemanusiaan itu. Model diplomasi itu juga bisa meminimalisasi tudingan PBB hanya jadi alat negara kuat. Diplomasi kemanusiaan justru bisa menjadi momentum untuk menunjukkan PBB bukan alat kepentingan melainkan alat kemanusiaan. Terlebih penyelesaian konflik dan krisis lewat jalur diplomasi menjadi opsi yang lebih pasti.
Bagian Penting
Dalam konteks tantangan keamanan kontemporer, diplomasi kemanusiaan oleh PBB dibutuhkan dalam dua aras. Pertama; dalam upaya mengubah respons. Secara khusus, instrumen diplomasi harus menjadi bagian penting guna menghadapi berbagai persoalan yang kini sudah melewati batas negara. Di sisi inilah kehadiran PBB mutlak dibutuhkan untuk mengoordinasi dan menyinergikan respons global.
Kedua; dalam mengubah aktor penangung jawab. Dibutuhkan tak hanya kesadaran tapi juga kerja sama antar individu, baik dalam tataran lokal, nasional, maupun global. Ketercapaian keamanan tidak hanya bergantung pada negara tapi juga ditentukan oleh kerja sama internasional yang melibatkan aktor nonnegara. Di sisi ini, sekali lagi kehadiran PBB mutlak dibutuhkan guna mengoordinasi dan menyinergikan respons global.
Kita bisa mencontohkan upaya merespons penyebaran ebola. Dewan Keamanan (DK) PBB menyeru negara anggota untuk kembali mengkaji kebijakan mereka mengucilkan negara (antara lain Sierra Leone, Liberia, dan Guinea) yang terpengaruh ebola, berikut warga negara tersebut.
DK PBB mendesak negara anggotanya mempertahankan hubungan dagang dan transportasi dengan negara yang terpengaruh ebola guna memungkinkan pemanfaatan sumber bantuan secara tepat waktu. Sekjen PBB Ban Ki-moon, pada Kamis (16/10) bahkan meminta masyarakat internasional menyediakan 1 miliar dolar AS guna mengurangi angka penularan ebola hingga 1 Desember mendatang.
Pada beberapa sektor lain, juga ada upaya persuasi supaya warga dunia sadar, hirau, dan berpartisipasi mengatasi problem kemanusiaan global. Untuk menengahi konflik militer, pendekatan kemanusiaan masih jadi pertaruhan, dalam arti apakah PBB dengan reformasi internalnya bisa membuktikan peran konkretnya atau tidak. Dunia masih banyak berharap pada PBB untuk berperan nyata. Melalui pendekatan diplomasi kemanusiaan, kesempatan merealisasikannya menjadi lebih terbuka.
— Andi Purwono,  dosen Hubungan Internasional, Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
Sumber : epaper SM edisi JUMAT, 24 OKTOBER 2014

Meletakkan Dasar Pluralisme

A Adib
ADALAH Khalifah Umar bin Khattab yang menyampaikan gagasan dan keputusan mengenai perhitungan tahun Islam, dengan dasar peristiwa hijrah Rasulullah saw. Ketika dideklarasikan, tahun Islam telah berusia 17 tahun, jatuh pada 8 Rabiul Awal, bertepatan dengan 639 Masehi. Keputusan itu mempunyai alasan dan pandangan visioner. Hijrah adalah bentuk perjuangan multidimensional yang bersejarah, berwawasan jauh ke depan untuk kemajuan Islam.
Hijrah adalah tonggak sejarah yang perlu diabadikan generasi berikutnya dalam bentuk perjuangan, sejalan dengan nilai hijrah. Usulan Khalifah Umar memiliki alasan kuat dari berbagai sudut pandang sehingga diterima. Pertama; dari sisi akidah, hijrah adalah perjuangan progresif dan heroik dengan pengorbanan total; jihad melawan kekufuran dan usaha pemurtadan dari kaum jahiliah musyri Quraisy.
Dari kajian ekonomi, hijrah adalah bentuk perjuangan melawan hegemoni yang tidak adil (kapitalis), sekaligus mencari solusi atas embargo ekonomi yang kejam yang dilancarkan kaum jahiliah musyrik Quraisy terhadap kaum muslimin. Melalui hijrah, terbangunlah tatanan ekonomi yang adil dan berkecukupan. Dari kajian sosial budaya, hijrah adalah bentuk perjuangan memberantas penyakit sosial jahiliah, seperti judi, miras, pelecehan terhadap perempuan, dan keretakan hubungan persaudaraan. Juga perjuangan membela kaum duafa dan fakir miskin akibat tekanan dan pengasingan secara terus-menerus dari kaum jahiliah Dengan hijrah, terwujudlah rehabilitasi sosial.
Dari sudut kesetaraan gender, hijrah adalah bentuk perjuangan mengangkat tinggi martabat perempuan dari kebiasaan kafir Quraisy, seperti membunuh anak perempuan mereka. Orang-orang jahiliah merasa malu memiliki anak perempuan, dan tidak segan-segan membunuh serta mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir.
Dari dimensi politik dan hukum, hijrah adalah bentuk perjuangan membebaskan diri dari cengkeraman politik jahiliah yang melanggar HAM. Hijrah telah mewujudkan tatanan masyarakat yang menghargai persamaan hak, menjamin kebebasan dan kemajemukan, menegakkan kebenaran, keadilan, dan tatanan demokratis.
Beberapa tahun setelah Nabi Muhammad hijrah dan menetap di Madinah, kota ini masih sebagai komunitas dengan penduduk muslim, musyrik, dan Yahudi. Kamum muslimin terdiri atas muhajirin (pendatang dari Makkah) dan anshar (penduduk asli terdiri atas suku Aus dan Kharraj), dan saat itu belum bisa disebut negara.
Muhammad menjadi pemimpin komunitas Madinah. Untuk menciptakan tata pergaulan masyarakat yang damai, Beliau membuat kesepakatan dengan beragam penduduk kota itu, yang dikenal dengan Piagam Madinah. Substansi dari piagam itu adalah kesepakatan tentang pluralisme.
Tiap warga wajib menjaga stabilitas keamanan Madinah, dan semua punya hak sama dalam mendapat keadilan, termasuk hak memeluk agama, dan menjalankan ibadah. Sebagai pemimpin komunitas Madinah, Rasulullah memberi contoh pelaksanaan piagam itu. Misal ketika iring-iringan jenazah orang Yahudi lewat, Beliau mengajak para sahabat untuk berdiri sebagai tanda penghormatan.
Era Kebangkitan
Ketika Nabi saw menerima kunjungan dari tokoh Kristen Bani Najran, Allah memerintahkan untuk berdialog mencari kebenaran. Dalam kisah lain, petinggi Kristen dari Bani Najran itu ikut membela Nabi ketika diserang kafir Makkah pasca kesepakatan Piagam Madinah. Ketika pemuka Nasrani itu gugur dalam perang, seluruh hartanya diwariskan kepada Rasulullah.
Tahun baru Hijriah diyakini banyak pemikir Islam sebagai era kebangkitan Islam, bahkan jadi titik balik kemenangan perjuangan Rasulullah saw dan para sahabat. Tiap tahun umat Islam memperingati tahun baru Islam, termasuk Tahun Baru 1436 Hijriah, yang jatuh pada Sabtu, 25 Oktober 2014.
Sudahkah secara substansial ada pencerahan di tubuh umat? Sudahkah semangat energizing berhasil kita serap dari momentum yang jadi titik balik kemenangan tersebut? Hingga kini masih banyak permasalahan umat yang belum tuntas, termasuk masalah perdamaian dan persatuan umat. Disintegrasi dan berbagai bentuk kekacauan di negeri-negeri orang muslim, khususnya sejak era Arab Spring dari Tunisia hingga fenomena Islamic State (IS), yang memperlihatkan jauhnya praktik Islam rahmatan lil alamin.
Aksi kekerasan dengan dalih dan atas nama agama masih sering dipertontonkan oleh sekelompok pemeluk Islam. Berangkat dari pesan hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar bermasyarakat, memerangi kejahiliahan (kebodohan) dengan menekankan pendidikan, membangun kesetaraan dalam keadilan, serta menegakkan HAM.
Menengok peristiwa 1.436 tahun lalu, yang dicontohkan melalui hijrah Nabi saw, tidak ada alasan memandang Islam dalam wajah kekerasan, termasuk mengeksploitasi kekerasan atas nama Islam. Rasulullah telah memberi contoh sebagai peletak dasar agama dengan kasih sayang bagi semua manusia.
— A Adib, wartawan Suara Merdeka

Sumber : epaper SM edisi JUMAT, 24 OKTOBER 2014

Friday 24 October 2014

Pro-Kontra Pilkada lewat DPRD

Bambang Sadono
DILEMA pelaksanaan pilkada serentak 2015 secara yuridis terayun-ayun di antara UU Pilkada yang sudah diputus DPR, yakni UU Nomor 22 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang diajukan Presiden SBY. Secara yuridis, dua ketentuan itu bertolak belakang. Yang jadi masalah adalah kemanfaatan pengaturan itu, yang disampaikan berbagai kelompok masyarakat sebagai aspirasi kuat supaya pilkada tetap secara langsung.
Aspirasi mengembalikan pilkada lewat DPRD pun bukan gagasan tiba-tiba. Dengan berbagai argumentasi antara lain kemerebakan politik uang, pemerintah cenderung mengembalikan ke DPRD, sebagaimana terlihat dari pengajuan RUU. Bahkan sampai saat-saat terakhir pun, Mendagri Gamawan Fauzi pun menyiratkan ia cenderung melalui DPRD.
Hanya aspirasi kuat masyarakat mempertahankan pilkada langsung membuat fraksi-fraksi DPR ragu, dan diikuti pemerintah. Akhirnya ketika kekuatan politik di DPR yang ditunjukkan Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP) menyambut gagasan awalnya, pemerintah mati langkah.
Gagasan pilkada lewat DPRD dimenangi KMP walaupun ditentang Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, dan Hanura).  Dominasi itu menyisakan kegalauan pada Partai Demokrat yang di parlemen lebih cenderung ke KMP, namun masih ada masalah karena ketua umumnya, SBY, diserang setelah dianggap memberi jalan bagi kemenangan pilkada lewat DPRD. Apa pun pilihannya secara yuridis tak bisa disangkal bahwa UU itu sesuai dengan aspirasi rakyat.
Dibuat dengan proses yang demokratis atau tidak, itu soal lain.  Undang-undang yang baik bisa diukur dengan teori Gustav Radbruch, yang menyebut hukum yang baik harus memenuhi kebutuhan keadilan, kemanfaatan bagi rakyat, dan menimbulkan kepastian hukum. Adapun menurut teori Philipe Nonet dan Philip Selznick, hukum yang baik adalah yang merespons kehendak rakyat dan dihasilkan dari proses demokratis. Banyak pihak menunggu nasib perppu. Mereka yang berkepentingan adalah para kandidat dalam Pilkada 2015. Pilkada langsung atau tidak (melalui DPRD) tentu butuh persiapan berbeda. Baik cara berkomunikasi untuk meraih dukungan maupun perhitungan kebutuhan dana berikut cara memanfaatkannya.
Partai dan anggota DPRD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sangat berkepentingan mengingat dua sistem pilkada tersebut memerlukan strategi berbeda untuk bisa memenanginya. KPU juga membutuhkan persiapan berbeda, baik dalam pengaturan maupun perencanaan pembiayaannya. Nasib yang akan diterima perppu bukan karena substansinya melainkan lebih banyak dari sudut dukungan politik di DPR. Dari segi materi, perppu ini merupakan respons jalan tengah, yang pernah disampaikan Demokrat sebelum walkout dalam voting pengambilan keputusan RUU Pilkada.
Skenario Terburuk
Posisi perppu paling strategis adalah pernyataan mencabut dan menyatakan tak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung, atau oleh DPRD (Pasal 205). Inilah posisi hukum yang berimplikasi sangat luas. Sistem pilkada menjadi status quo sambil menunggu respons DPR terhadap perppu ini.
Memang lebih kecil komplikasinya andai perppu diterima DPR, dan ditetapkan sebagai UU. Tapi adakah perubahan kekuatan politik di DPR yang memungkinkan penerimaan perppu itu? Kemungkinan itu terbuka bila PPP bergeser ke KIH. Demokrat pasti berusaha supaya perppu diterima demi mengingat itu usulan SBY sebagai presiden. Menjadi kegaduhan luar biasa bila DPR menolak perppu itu mengingat persoalannya UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pilkada lewat DPRD tidak otomatis berlaku.
Banyak pakar Hukum Tata Negara menganggap UU itu sudah dicabut oleh perppu. Andai perppu ditolak maka aturan kembali ke aturan pilkada pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, yang mengatur pemilihan langsung untuk gubernur dan bupati/wali kota. Sementara, ada pihak menganggap UU Nomor 22 Tahun 2014 tetap berlaku karena perppu yang mencabut, dinyatakan tidak sah secara hukum. Sebenarnya jika perppu ini ditolak maka kekuatan yang menolak perppu ini masih sangat potensial, seandainya harus membentuk UU baru yang tetap mengatur pilkada lewat DPRD.
Yang jadi masalah adalah soal waktucberkait dampak terkatung-katungnya penyelenggaraan Pilkada 2015. Apalagi melihat dinamika politik masih ada adu kekuatan, antara lain terlihat dari tertunda-tundanya pembentukan alat kelengkapan DPR. Padahal perppu baru bisa dibahas oleh alat kelengkapan, yakni komisi yang membidangi pemerintahan.
Karena itu, kegaduhan politik sebelum dan sesudah pembahasan perppu di DPR nantinya terus berlangsung. Pakar Hukum Tata Negara bisa mencarikan jalan keluar guna mengatasi krisis ketatanegaraan ini. Masyarakat pun harus terus menyampaikan aspirasi mengingat tekanan kuat dari mereka akan menjadi pertimbangan pembuat undang-undang.
Dari semua kepentingan yang berebut legalitas tersebut, ada baiknya kembali mengingat teori Prof Satjipto Rahardjo bahwa undang-undang atau hukum yang baik adalah hukum yang membahagiakan rakyat. Persoalannya, bagaimana masingmasing yang berkepentingan itu menafsirkan arti kebahagiaan rakyat.
— Bambang Sadono, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dosen Program Magister Hukum Universitas Semarang (USM)

Sumber : epaper SM edisi KAMIS, 23 OKTOBER 2014

Belah ’’Semangka’’ Banyumas

Akhmad Saefudin
Dalam sepekan terakhir wacana pemekaran Kabupaten Banyumas menjadi dua daerah otonom (Kota Purwokerto dan Kabupaten Banyumas) mewarnai pemberitaan sejumlah media massa. Dalam 4 hari saja (14-17/10/14) harian ini menurunkan tujuh artikel, dua di antara menjadi headline’’Suara Banyumas’’, yakni edisi Selasa (14/10) dan Kamis (16/10).
Wacana pemekaran disambut positif oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Namun ia meminta pemkab mengkaji secara ilmiah dan komperehensif sebagai dasar pengajuan usulan. Bupati Banyumas Achmad Husein menyatakan, perkembangan Purwokerto begitu cepat sehingga harus dikelola sendiri oleh seorang wali kota. Bupati Achmad Husein menegaskan rencana usulan pemekaran murni didasari keiklasan dan hati nurani demi kesejahteraan masyarakat Banyumas. Pasalnya, konsentrasi menangani Purwokerto dan (Kabupaten) Banyumas butuh perhatian berbeda. Dikatakan, Purwokerto tanpa apa-apa bisa maju dengan sendirinya, yang butuh konsentrasi kabupatennya.
Kabupaten Banyumas terbilang ’’unik’’ karena memiliki dua kantor kejaksaan, dua kantor pengadilan negeri, dan dua alun-alun, masing-masing berada di kota Purwokerto dan di kota (lama) Banyumas. Bupati menegaskan pemekaran merupakan amanat Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Tahun 2010-2014 tahap persiapan dan 2015-2019 tahap pengusulan.
Terkait wacana pemekaran, Ganjar Pranowo mengaku telah mendengar langsung dari Bupati Banyumas saat berkunjung ke daerah itu. Dia meminta agar usulan pemekaran tidak tergesa-gesa, namun didasari hasil kajian. Bila hasilnya layak silakan lanjutkan. Namun andai belum layak sebaiknya rencana itu diperhitungkan lagi (SM, 14/10/14).
Dua Versi
Tahun 2003-2004 sudah muncul wacana pemekaran Kabupaten Banyumas. Bahkan saat itu ada dua versi hasil studi kelayakan, yakni versi tim MAP Undip dan tim mediasi Forum Rektor Purwokerto. Kajian tim Undip (2003) dilakukan atas prakarsa eksekutif semasa Bupati Aris Setiono, sedangkan kajian tim mediasi Forum Rektor (2004) atas inisiatif DPRD semasa kepemimpinan dr Tri Waluyo Basuki.
Versi tim MAP Undip menyimpulkan, baik wilayah kabupaten maupun kotatif belum layak dimekarkan. Adapun tim mediasi Forum Rektor Purwokerto menyatakan sebaliknya. Model pemekaran yang berkeadilan, menurut penulis, adalah membagi ’’seimbang’’ menjadi dua. Mengutip istilah H Subur Widadi, perlu memperhatikan teori ”Belah Semangka”.
Secara administratif, Kabupaten Banyumas yang terdiri atas 27 kecamatan. Dengan teori di atas, Kabupaten Banyumas semestinya dibelah jadi dua kabupaten (bukan kabupaten dan kota). Belahan timur tetap menggunakan nama asal (Kabupaten Banyumas), dan belahan barat dengan nama baru Kabupaten Banyumas Barat.
Masing-masing kabupaten terdiri atas 13 dan 14 kecamatan. Empat kecamatan di eks Kotif Purwokorto tak boleh total masuk ke satu wilayah kabupaten. Secara garis besar, pembagian itu perlu mendasari sebaran lokasi sarana publik (stasiun-terminal), rumah sakit (Ajibarang-Banyumas), perguruan tingggi negeri (STAIN-Unsoed), PTS (Unwiku-UMP), pasar (Ajibarang-Wage), dan seterusnya.
Kembali memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas ke kota (lama) Banyuman adalah hal logis. Adapun pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas Barat perlu didasarkan pada kajian, dan alternatifnya di Cilongok, Ajibarang, Jatilawang atau Wangon. Kota Purwokerto menjadi milik bersama sebagai pusat bisnis atau kota pendidikan, bukan pusat pemerintahan.
Di banyak negara maju, pusat pemerintahan dan kota bisnis sama sekali terpisah. Betapapun, esensi pengusulan pemekaran bukanlah sekadar upaya mengubah status ”desa menjadi kelurahan” atau ”pemkab menjadi pemkot”. Spirit di balik proposal pemekaran adalah untuk lebih mendekatkan sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat secara luas. (10)
— Akhmad Saefudin SS ME, alumnus Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) Universitas Indonesia, tinggal di Purwokerto

Sumber : epaper SM edisi KAMIS, 23 OKTOBER 2014

Thursday 23 October 2014

Kapan Lulus?

Rifqi Aditya Utama
Mau lulus tepat waktu atau lulus pada waktu yang tepat? Dilema itu selalu menjadi perbincangan hangat kalangan mahasiswa. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan: kapan lulus? Kapan wisuda? nanti mau kerja di mana?
Mendapatkan gelar diploma atau sarjana merupakan impian tiap mahasiswa. Dan menjadi kebanggaan tersendiri apabila kita, sebagai mahasiswa, bisa menyelesaikan studi dengan cepat. Namun, tak sedikit mahasiswa yang menyelesaikan studinya membutuhkan waktu lebih lama dari waktu normal masa studi yang ditempuh.
Banyak faktor yang memengaruhi lama masa studi mahasiswa di kampus. Setiap mahasiswa, tentu memiliki pilihan dan pemikiran masing-masing mengapa mereka menempuh lama studi dengan jangka waktu tertentu. Banyak yang beranggapan, masa kuliah yang lama, cenderung terjadi pada mahasiswa yang tidak aktif dalam perkuliahannya. Hal itu tak selalu benar.
Ada faktor lain seperti pengulangan mata kuliah demi mengejar Indeks Prestasi Kumulatif yang tinggi (IPK cumlaude), mengasah keterampilan dan mencari pengalaman berorganisasi, mengejar kualitas skripsi yang baik, dan hal positif lainnya yang dilakukan pada masa kuliah. Hal-hal tersebut, tentu membutuhkan waktu yang intensif dan masa studi yang lebih lama untuk penyelesaiannya.
Lalu, apakah mahasiswa yang lulus tepat waktu sesuai dengan masa studi yang ditempuh itu lantaran mengejar target agar cepat lulus? Memang, tingkat persaingan kerja yang tinggi di Indonesia mendorong mahasiswa untuk cepat lulus. Tetapi, banyak yang beranggapan sarjana yang lulus cepat biasanya tidak memiliki persiapan yang matang, karena tidak memiliki kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang seharusnya didapatkan dari berorganisasi.
Anggapan itu muncul karena opini yang tercipta bahwa aktif di berbagai organisasi akan membuat masa studi lebih lama. Alhasil muncul stigma bahwa mahasiswa yang lulus cepat merupakan mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi dan hanya mengejar target cepat lulus. Padahal, jika kita lihat lebih jauh, tidak semua mahasiswa yang mempunyai kesibukan di luar kampus akan lulus lebih lama. Banyak dari mereka yang juga lulus tepat waktu sesuai masa studinya.
Mana yang lebih baik? Tentu saja kita tak bisa begitu saja memberi penilaian bahwa yang satu lebih baik dari satunya. Yang terbaik adalah lulus tepat waktu dan memiliki bekal untuk masuk ke dunia kerja. Pengalaman yang dibutuhkan dunia kerja tidak melulu harus didapatkan dengan mengorbankan lama waktu masa kuliah. Beberapa hal bisa kita lakukan. Salah satunya mengatur waktu dengan bijak.
Ya, Pengalaman memang penting. Namun, jangan sampai gelar sarjana atau diploma didapat tanpa diikuti dengan segudang pengalaman yang sangat dibutuhkan dunia kerja. Maka, rencanakan strategi kelulusanmu sejak dini.

Sumber : epaper SM edisi MINGGU, 19 OKTOBER 2014

Khodimul Ummah

Mudjahirin Thohir
Suatu malam, Umar mengajak sang pembantu, Aslam, secara incognitober jalan kaki berkeliling ke sejumlah desa di wilayahnya. Sampai di Desa Harrah, dia mendengar suara anak-anak menangis dari dalam sebuah rumah penduduk. Umar menghentikan langkah sejenak. Dia mendengar suara tangisan anak-anak yang memilukan hati. Dia bertanya-tanya dalam hati, mengapa anak-anak itu menangis? Apalagi tangisan anak-anak itu tak kunjung berhenti. Dia mengintip lewat celah dinding berlubang. Tampak seorang ibu, dikitari anak-anak yang menangis, sedang menanak entah apa.
Dengan sabar, Umar menunggu. Namun, entah mengapa, setiap kali anak-anak meronta minta makan, sang ibu selalu menjawab, “Tunggulah, Nak, makanan ini sedang Ibu masak.” Setelah lama menunggu, tangisan anakanak itu tak berhenti juga. Dan, setiap kali anakanak meronta, sang ibu selalu mengulang jawab yang sama, “Bersabarlah, Nak.”
Melihat keadaan itu, Umar mengetuk pintu sembari uluk salam. Dia meminta izin masuk ke dalam rumah. “Mengapa anak-anak Ibu tidak berhenti menangis?” tanya Umar. “Mereka menangis karena lapar,” jawab sang ibu. “Mengapa tidak Ibu beri makanan yang Ibu masak sejak tadi?”
Sang ibu lantas mendekati tamu yang belum dikenal itu dan berbisik, “Sebenarnya yang saya masak hanyalah batu. Itu untuk mengelabui, agar anak-anak yang kelaparan menyangka ada makanan. Jika letih menunggu, mereka akan tertidur dengan sendirinya.”
“Apakah Ibu sering berbuat begitu?” tanya Umar.
“Benar, Tuan. Saya hidup menjanda. Suami sudah lama meninggal dunia. Jadi tidak ada penghasilan lagi.”
“Mengapa Ibu tidak mengadukan perkara ini kepada Khalifah? Bukankah beliau boleh membantu dengan memberikan uang dan bahan makanan dari Baitulmal?”
“Aku seorang perempuan,” jawab wanita itu.
“Khalifah telah berbuat zalim pada kami, anak beranak.”
“Bagaimana Khalifah telah berbuat zalim pada Ibu? Terangkan pada saya.”
“Saya sangat kesal pada pemerintahannya. Khalifah seharusnya melihat keadaan rakyatnya dalam kehidupan nyata.”
Mendengar keluhan itu, Umar spontan menangis terisak. Lalu, dia segera bangkit dan minta izin pamit keluar sebentar.
Apa yang kemudian Umar lakukan? Dia berlari-lari cepat menuju ke Baitulmal, memasukkan tepung gandum, daging, dan gula ke sebuah karung. Lalu, dia memanggul dan membawa karung itu ke rumah wanita yang sedang kesulitan memberi makan anakanaknya.
Ketika Aslam, sang pembantu, meminta agar dia yang memanggul karung itu, Umar menjawab, “Biar aku sendiri yang membawa karung ini. Ini tanggung jawabku.”
Sampai di rumah yang dituju, dia menyerahkan karung berisi makanan itu. Tidak hanya itu, dia pun menanakkan hingga matang. Lalu, sang ibu membangunkan anak-anak yang tertidur menanggung lapar untuk menyantap makanan yang sudah tersedia.
Saat Umar pamit pulang, sang ibu berkata, “Sepatutnya engkaulah yang menjadi khalifah. Bukan Umar. Engkau peduli kepada orang-orang yang berkesulitan.”
Keesokan harinya, Umar memanggil wanita itu untuk menghadap. Dia menyalurkan bantuan tetap dari Baitulmal sampai anakanak ibu itu dewasa.
***
RAKYAT menyebut Umar bin Khattab dengan sebutan Amirul Mukminin. Raja orangorang mukmin di Semenanjung Arabia. Dia memerintah selama 10 tahun enam bulan, dari tahun 13 Hijriah/634 Masehi sampai 23 Hijriah/644 Masehi. Selama masa kepemimpinannya, dia membiasakan diri blusukan. Dia blusukan untuk melihat apa yang terjadi pada rakyatnya. Dia membantu dan melayani apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Menjadi khodimul ummah, pelayan rakyat. Bukan sebaliknya, bersikap sebagai sayyidul ummah, bendara raja yang haus puja-puji dan pengorbanan rakyat.
Semoga Jokowi, presiden ketujuh Republik Indonesia yang insya Allah dilantik esok hari, meniru watak kepemimpinan Umar bin Khattab. Perjalanan Jokowi menjadi khodimul ummah ke depan masih harus diuji. Ujian pertama, apakah dia bisa melepaskan diri dari kepentingan partai politik yang mengusung? Itulah godaan sekaligus jebakan yang belum tentu mudah dilepaskan. Ujian kedua, tumbuh godaan keduniawiaan ketika peluang memperkaya diri di depan mata. Seandainya bisa mengekang diri, belum tentu teman-teman seiring tidak menelikung. Entah atas nama balas jasa atau atas nama teman seperjuangan, lalu mereka secara diam-diam mengambil kesempatan memperoleh sebesar-besar keuntungan. Ketika itu terjadi dan dibiarkan, sang pemimpin akan menghadapi simalakama. Bertindak tegas akan dirongrong dari dalam, tetapi jika melindungi akan dijatuhkan oleh lawan. Dalam situasi seperti itu, sang pemimpin bisa saja berganti profesi: bermain sandiwara. Jika itu yang dipilih, maka benar apa kata Sayyid Ahmad Albar, “Ad dunya mata’un.”Alias, dunia ini memang panggung sandiwara.

Sumber : epaper SM edisi MINGGU, 19 OKTOBER 2014

Wednesday 22 October 2014

Jateng Provinsi Maritim

Moch Sofyan Cholid
Semasa anak-anak, saya kerap bernyanyi sendiri atau bersama teman lagu ’’Nenek Moyangku Seorang Pelaut.’’ Syair lagu itu kini mengingatkan bahwa sejatinya Indonesia adalah negara kepulauan dengan lautan terhampar luas dan jaya. Berkaca pada kejayaan masa lalu itu sepantasnya pemerintahan yang dinakhodai Jokowi-JK  mencita-citakan negara poros maritim.
Tidak berlebihan keinginan mewujudkan gagasan itu mengingat secara geografis negara kita memiliki laut seluas 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai 104.000 km yang merangkaikan 17.508 pulau besar dan kecil. Semua kesatuan itu bisa menjadi dasar mewujudkan negara maritim yang berdaya. Terlebih kita sudah memiliki beberapa payung hukum, antara lain UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, serta UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Berarti tinggal political will pemerintahan Jokowi-JK merealisasikan janji semasa berkampanye, antara lain membangun ’’tol laut’’. Tentu tak bisa ditafsirkan semata-mata jalan tol yang dibangun di atas laut tapi bagaimana memfungsikan secara maksimal laut sebagai jalur transportasi yang murah, efisien, dan efektif.
Saat ini Indonesia baru mempunyai dua pelabuhan internasional, yaitu Tanjung Perak di Surabaya dan Tanjung Priok di Jakarta. Ke depan, pemerintahan yang baru merencanakan membangun 6 pelabuhan besar guna mendukung ekspor impor. Tentu perlu pelabuhan pengumpan (feeder port) untuk mendukung pelabuhan besar. Pemerintah bisa membenahi pelabuhan di Cirebon sebagai pelabuhan pengumpan Tanjung Priok, dan pelabuhan di Banyuwangi sebagai pengumpan Tanjung Perak, pelabuhan di Morotasi sebagai pengumpan Pelabuhan Bitung. Semua itu harus terkoneksikan dengan semua kegiatan ekonomi.
Adapun Jawa Tengah saat ini baru memiliki pelabuhan perikanan di Rembang, Juana (Pati), dan Pekalongan untuk pantura. Di selatan ada Cilacap yang merupakan pelabuhan perikanan pantai sekaligus samudra, yang bisa menampung 30 kapal berukuran 10-30 gross tonsekaligus.
Antisipasi Industri
Jateng, melalui Rembang, sudah mengawali dengan masterplan sea front city sebelum Jokowi menggagas negara poros maritim. Rembang membangun pelabuhan niaga yang dibiayai investor untuk mengantisipasi industri semisal kehadiran pabrik semen. Perlu pendekatan administratif mengingat 13 kabupaten/kota di pantura Jateng memiliki potensi laut, sedangkan 4 kabupaten lainnya di selatan. Pewujudan negara maritim harus mengedepankan ekonomi kerakyatan dengan mengembangkan bisnis yang menyerap banyak tenaga kerja, membangkitkan ketahanan pangan dan mengurangi disparitas antarwilayah (barat, tengah, dan timur).
Jokowi-JK sebaiknya memetakan ulang guna mengembangkan sektor ekonomi kelautan yang belum tergarap maksimal, seperti industri perikanan dan bioteknologi laut. Tidak kalah penting memperkuat infrastruktur di laut, salah satunya pelabuhan dan kapal niaga untuk mendorong perubahan pola angkutan barang.
Pemerintah juga perlu memperkuat lima komponen di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal itu menyangkut kebijakan program di antaranya revitalisasi sector ekonomi kelautan yang meliputi perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan ikan, dan perhubungan laut supaya lebih produktif dan efisien Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan relatif baik. Pertumbuhan ekonomi sektor kelautan dan perikanan dalam 2 tahun terakhir 6,5%, bahkan 2014 diprediksi 7% (sektor pertanian 3,5%). Ke depan, terlebih menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, pemerintah perlu menyempurnakan UU Kelautan sebagai pijakan menuju negara maritim. (10)
— Ir Moch Sofyan Cholid, Kabid Perikanan Budi Daya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang

Sumber : epaper SM edisi RABU, 22 OKTOBER 2014

Harapan Baru Ekonomi

Nugroho SBM
HARAPAN baru ekonomi Indonesia yang lebih baik terus bertumbuh setelah Jokowi-JK dilantik sebagai presiden-wakil presiden, pada Senin (20/10). Terlebih setelah sebelumnya Jokowi bertemu Prabowo Subianto, yang juga hadir dalam pelantikan Jokowi. Sampul Time edisi Senin, 27 Oktober 2014 pun menampilkan foto Jokowi dengan teks New Hope (Harapan Baru). Meskipun titik berat liputan majalah itu demokrasi politik, pasti ada ulasan aspek ekonomi mengingat keterkaitan erat dua aspek itu.
Hari-hari menjelang pelantikan dan berlanjut sesudahnya, pasar keuangan dan pasar modal menyambut positif kepemimpinan baru itu. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya melemah hingga ke di bawah 5.000, kembali menguat ke tingkat 5.000 ke atas. Demikian pula rupiah yang melemah Rp 12.000 lebih per dolar AS, kembali menguat menjadi kurang dari Rp 12.000.
Optimisme pasar disebabkan adanya rekonsiliasi antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Jokowi sebelum dilantik berprakarsa menemui tokoh KMP antara lain pimpinan DPR dan MPR, pimpinan Golkar dan PPP, dan terakhir Prabowo. Selain itu, rekam jejak kepemimpinan Jokowi selama jadi wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta diharapkan diterapkan setelah jadi presiden.
Sementara
Namun jangan lupa kemembaikan indikator di pasar uang dan pasar modal bersifat sementara. Banyak masalah fundamental ekonomi yang harus dibenahi supaya ekspektasi publik bisa menjadi kenyataan. Pertama; sesuai janjinya saat pidato pelantikan Jokowi ingin kembali menghidupkan sektor kelautan atau kemaritiman sebagai potensi ekonomi yang dilupakan. Kemudian, meningkatkan transportasi laut dengan membangun tol laut, menggali potensi perikanan yang selama ini banyak dicuri nelayan asing, dan mengeksplorasi potensi wisata laut.
Kedua; membenahi iklim investasi, khususnya investasi asing, yang lebih besar dibanding investasi domestik. Selama ini, dana asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak berupa investasi tidak langsung (portofolio) dalam bentuk saham, obligasi, dan surat berharga lain ketimbang investasi langsung (penanaman modal asing atau PMA).
Besarnya investasi portofolio bukanlah hal positif karena dana itu bersifat jangka pendek dan sangat mobile. Ada sedikit saja guncangan semisal kegaduhan politik atau gangguan keamanan maka dana investasi portofolio menguap. Hal itu berbeda dari dana PMA yang lebih permanen dan berjangka panjang. Hingga 13 Oktober 2014 dana asing yang ditempatkan di Surat Utang Negara (SUN) Rp 444,4 triliun, sedangkan PMA Rp 228,5 triliun. Banyak kendala mengapa investasi langsung tidak tumbuh dengan baik. Salah satu hal yang paling dikeluhkan adalah buruknya infrastruktur. Menurut Bank Dunia dan IMF, dana untuk pembangunan infrastruktur di suatu negara idealnya 5% dari PDB.
PDB Indonesia 2013 adalah Rp 9.084 triliun sehingga idealnya dana untuk infrastruktur Rp 454,2 triliun. Kenyataannya, anggaran infrastruktur dalam APBN 2015 hanya Rp 169 triliun, lebih kecil dibanding APBN 2014 sebesar Rp 206 triliun. Jika dihitung dari PDB Indonesia maka dana itu hanya 1,86%. Kecilnya dana pembangunan untuk infrastruktur di Indonesia disebabkan besarnya pengeluaran yang bersifat wajib dan kesalahan alokasi untuk pengeluaran tidak produktif semisal gaji pegawai, dan terlebih subsidi BBM. Agar dana untuk infrastruktur bisa lebih besar lagi, Jokowi-JK harus berani mengurangi subsidi BBM dan merealokasi anggaran.
Ketiga; selama ini BI terjebak kebijakan antisipatif dalam merespons langkah The Fed yang dianggapnya akan mengurangi stimulusnya. Pengurangan stimulus itu dikhawatirkan membuat sejumlah pemilik dana dalam dolar AS menarik dolarnya dari Indonesia sehingga nilai tukar dolar AS terhadap rupiah menguat atau dengan kata lain rupiah melemah terhadap dolar, dengan segala dampak negatifnya.
Risiko Investasi
Hal ini membuat BI mempertahankan BI rate di tingkat tinggi, yaitu 7,5% yang mengakibatkan suku bunga kredit dan surat utang negara pun menjadi sangat tinggi. Akibat berikutnya, pemilik dana lebih suka menempatkan dananya pada SUN yang bebas risiko dan berimbalan tinggi ketimbang berinvestasi langsung yang berisiko tinggi. Orang tidak tertarik berinvestasi karena tingginya suku bunga pinjaman dan risiko investasi itu sendiri.
Padahal BI belum perlu melakukan hal itu mengingat dalam waktu dekat Bank Sentral AS tidak bakal berani menarik stimulus dan menaikkan suku bunga. Memang angka penganguran di AS —salah satu indikator utama kemembaikan ekonomi— saat ini menurun. Namun penurunan itu masih menunjukkan tingkat pengangguran tinggi, yang saat ini 5,9%. Untuk itu, Jokowi perlu melobi BI supaya segera menurunkan BI rate.
Keempat; Jokowi harus mendekatkan program-programnya supaya bisa mengatasi problem di lapangan. Ia perlu terus melanjutkan gaya blusukansupaya bisa menghasilkan program konkret. Para menteri harus mengikuti kebiasaannya itu supaya semua kebijakan kementerian menyentuh persoalan nyata di masyarakat. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro (Undip)

Sumber : epaper SM edisi RABU, 22 OKTOBER 2014

Cerdas Membaca Arah Kemdiktiristek

Nurkholis Mistari
WACANA pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemdiktiristek) terus menguat dan mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Forum Rektor Indonesia (FRI) yang dalam setahun terakhir ini giat mendorong ide tersebut, kembali menegaskan arti pentingnya pembentukan kementerian baru itu, penggabungan bidang dikti dan ristek.
Adalah Ketua FRI 2014 Prof Ravik Karsidi yang berpendapat pembentukan Kemdiktiristek dapat memperpendek kesenjangan antara dunia usaha dan kampus (SM, 11/10/14). Kampus sudah menelurkan banyak riset namun belum bisa menjawab kebutuhan dunia usaha. Hal lain yang bisa menjadi alasan adalah Indonesia perlu menghindari keterpurukan akibat fenomena jebakan negara berpenghasilan sedang.
Bila kementerian baru itu jadi direalisasikan, seberapa jauh dan mampukah memberikan dampak positif sesuai dengan ekspektasi publik? Berkaca pada kondisi kampus sebagai salah satu basis riset di negara kita maka ada banyak pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan. Salah satunya menambah jumlah peneliti mengingat saat ini Indonesia baru memiliki tak lebih dari 8.000 peneliti. Di samping itu, budaya penelitian yang berujung pada pematenan produk juga masih rendah.
Kondisi itu berbeda 180 derajat dari minat meneliti di negara tetangga, sama-sama anggota ASEAN seperti Malaysia dan Singapura. Persoalan lain adalah belum semua kampus bersedia menggiatkan budaya riset (suaramerdeka.com, 7/10/14).  
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof Dr Armida Salsiah Alisjahbana SE MA, rasio peneliti di Indonesia masih rendah, yaitu 205, artinya baru ada 205 peneliti per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Korsel yang memiliki rasio 4.627, Jepang 5.573, atau Singapura dengan rasio 6.088 (Tempo.com, 11/9/14). Tahun 2012 rasio peneliti di Tiongkok mencapai 1.000, yakni ada 1.000 peneliti per 1 juta penduduk, Thailand (800) dan Malaysia (1.500). Belum lagi jika berbicara anggaran yang dikucurkan negara untuk riset di negara kita masih jauh dari harapan. Besar alokasi dana riset masih di bawah 1% dari APBN, bahkan 2000-2009 tidak ada kenaikan. Anggaran 1969 yang disisihkan untuk riset 5% dari APBN, sementara tahun 2009 hanya 0,5% (Vivanews.com, 16/9/14).
Ada tiga permasalahan yang melingkupi dunia riset kita. Pertama; minat meneliti masih rendah, kedua; jumlah peneliti relatif masih sedikit, dan ketiga; masih rendahnya keberpihakan dan komitmen mendorong tumbuhnya budaya meneliti, baik melalui kebijakan sistemik maupun penganggaran.
Penulis teringat ketika Rektor Unissula Anis Malik Thoha MA PhD beberapa waktu lalu menceritakan bagaimana ia memimpin lembaga publikasi riset di tempat mengajarnya dulu di Malaysia. Sebuah lembaga publikasi riset yang terdiri atas 30-an dosen berkualifikasi doktor dan profesor yang secara spesifik dan serius bekerja hingga menghasilkan berbagai riset dan publikasi ilmiah berkelas internasional.
Dikatakan pula, para peneliti patuh pada etika riset. Para peneliti diberi penghargaan yang pantas. Bahkan ada limit penelitian tertentu yang harus dipenuhi seorang staf pengajar perguruan tinggi, dan jika tidak terpenuhi maka ada ’’sanksi’’ akademik sebagai konsekuensi seorang pengajar yang sejatinya memang punya kewajiban meneliti.
Memanen Hasil
Pendidikan tinggi di Malaysia berhasil membuat sistem yang bagus, termasuk dalam hal kebijakan riset sehingga tidak mengherankan bila saat ini mereka mulai memanen hasil manisnya. Jika kita jujur bertanya apakah sistem seperti itu telah dibudayakan di pendidikan tinggi ataupun lembaga riset di negara kita?
Padahal amanah Pasal 20 Ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara tegas mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tri darma itu sebenarnya bisa menuntun lembaga pendidikan tinggi bergerak ke sistem yang baik.
Karena itu, wacana pembentukan Kemdiktiristek bisa dibaca secara cerdas sebagai terobosan positif. Pasalnya, negara dengan ragam potensi riset ilmiah yang luar biasa ini sesungguhnya bisa menghasilkan berbagai riset terapan berkualitas. Berbagai riset berkualitas dan tepat guna itu diharapkan menopang dunia usaha dan memperkuat jangkar perekonomian Indonesia menjadi lebih tangguh dalam percaturan global. Itu artinya hal yang tak kalah penting adalah bukan sekadar penyatuan atau pengintegrasian satu, dua, atau tiga lembaga melainkan sejauh mana membangun sistem yang bisa menjawab tantangan masa mendatang sekaligus membentuk budaya unggul yang bisa mengakselerasi langkah menuju kemajuan. (10)
— Nurkholis Mistari, Kepala Divisi Humas Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang

Sumber : epaper SM edisi RABU, 22 OKTOBER 2014

Tuesday 21 October 2014

Jokowi adalah Harapan

Sudharto P Hadi
PASANGAN Joko Widodo-Jusuf Kalla resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Antusiasme warga menyambut pemimpin baru sungguh luar biasa. Tak berlebihan kalau dikatakan syukuran rakyat menyambut Jokowi-JK adalah yang terbesar sepanjang sejarah.
Mereka melakukan dengan spontan dan tulus. Para sukarelawan patungan untuk membiayai acara. Pedagang mi ayam yang biasanya menjual dagangan Rp 13.000 per porsi rela menurunkan harga menjadi Rp 10.000 untuk warga yang tengah syukuran.
Bahkan banyak pedagang makanan yang rela menggratiskan jualannya. Berbagai kelompok musik tampil di Monas tanpa bayaran. Sejak berkampanye sebagai presiden, Jokowi merintis keswadayaan dengan menghimpun dana kampanye melalui sumbangan masyarakat yang tanpa pamrih. Sebuah fenomena langka di tengah kecenderungan kehidupan berbangsa yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok.
Magnet apa yang mendorong warga rela melakukan semua itu? Jokowi bukan saja dipandang sebagai representasi wong cilik, karena sejak menjadi wali kota Solo sampai gubernur DKI program-programnya selalu menukik pada pengentasan kemiskinan, akses kesehatan dan pendidikan, serta penataan pedagang kaki lima.
Jokowi juga dipandang memanusiakan kelompok masyarakat kelas bawah karena mereka merasa diajak rembukan dalam program-program yang akan dilaksanakan. Mulai penataan PKL di Semanggi, Solo, penertiban pedagang di Tanah Abang, sampai pembenahan Waduk Pluit.
Dalam banyak kesempatan, Jokowi selalu mengatakan bahwa sekarang rakyat tidak hanya ingin dilayani, tetapi juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidupnya. Melalui blusukan, Jokowi mendengarkan kata hati rakyat dan menuangkan dalam bentuk program dan kegiatan yang konkret. Jokowi telah mampu melaksanakan peran sebagai barefoot mayordan barefoot governor(wali kota dan gubernur kaki telanjang), maksudnya pemimpin yang dekat dengan rakyat. Sebuah istilah yang diadopsi dari ilmu perencanaan, yakni perencana yang baik adalah yang tidak hanya duduk di belakang meja dan menetapkan penggunaan ruang dengan spidol berwarna.
Membaur
Perencana ideal adalah yang bersedia membaur dengan masyarakat, mendengarkan keluhan, kebutuhan, dan aspirasi serta menuangkan dalam bentuk program dan kegiatan. Model inilah yang disebut sebagai barefoot planneratau perencana kaki telanjang.
Syukuran rakyat di Ibu Kota dan berbagai belahan Tanah Air sebagai bentuk dukungan terhadap Jokowi tampaknya juga merupakan respons terhadap ulah para politikus di parlemen yang mempertontonkan kekuatan demi kepentingan kelompoknya.  Syukuran rakyat ini seakan ingin menegaskan bahwa jika para wakil rakyat di parlemen memboikot pelantikan Jokowi, mereka siap ‘’melantik’’ sendiri karena Jokowi adalah presiden pilihan rakyat.
Jika disimak dari nawacita Jokowi yang diilhami dari spirit Tri Sakti Bung Karno, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan, maka napas kerakyatan sangat kental sekaligus merupakan antitesis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Keinginan menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberi rasa aman kepada seluruh warga menjadi jawaban atas persoalan masyarakat yang sering termarginalkan oleh keputusan pembangunan dan kekuatan pemilik modal untuk menggusur.
Tekad membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan menegakkan hukum diharapkan mampu memotong mata rantai gurita korupsi yang menggerogoti kekayaan negara. Membangun Indonesia dari pinggiran bermakna ganda.  Pertama, memperkuat daerah perbatasan yang sering disebut sebagai daerah terluar dan terdepan yang rata-rata kondisinya lebih buruk dari negara tetangga. Daerah ini memerlukan penanganan serius agar rasa sebagai bangsa Indonesia masih tetap kuat berakar dalam sanubari mereka.
Kedua, daerah pinggiran dalam arti daerah hinterland yang selama ini sumber dayanya baik dalam bentuk tenaga kerja dan modal tersedot oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kota yang lebih besar. Hal ini karena hubungan hulu dan hilir (backward-forward linkage) tidak berjalan dengan baik.
Mewujudkan kemandirian dan meningkatkan produktivitas rakyat merupakan jawaban atas persoalan ekonomi kita yang tidak mandiri. Kita adalah bangsa maritim dan agraris tetapi menjadi importir komoditas pertanian dan perikanan seperti beras, kedelai, gula, terigu, garam, dan ikan.
Selama ini pembangunan ekonomi kita bertumpu pada industri manufaktur yang berorientasi ekspor tetapi tidak berbasis ekonomi lokal. Industri yang foot-loseini tidak memberikan nilai tambahan lokal, kecuali tenaga kerja dengan upah yang murah.
Kemandirian Pangan
Program ini akan difokuskan pada kemandirian pangan dan dalam jangka waktu tiga tahun tercapai swasembada. Kata kunci untuk mewujudkan program-program di atas tertuang dalam cita yang kedelapan, yakni melakukan revolusi karakter bangsa atau yang lebih dikenal dengan revolusi mental yang menghendaki perubahan paradigma, cara berpikir para penyelenggara negara untuk kembali kepada khitah Pancasila. Khitah itu yakni mengutamakan kepentingan umun di atas kepentingan pribadi dan golongan, jujur, dan bekerja untuk rakyat yang dilandasi sikap empati.
Dalam konteks pembangunan sektor lingkungan, revolusi mental harus dipahami sebagaiperubahan paradigma untuk kembali kepada prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan aspek ekonomi (pertumbuhan), pemerataan, dan kelestarian lingkungan.
Sejauh ini pertumbuhan ekonomi yang menjadi panglima yang sesungguhnya mengorbankan aspek lingkungan dan sosial. Sebab, angka pertumbuhan yang terus dipacu mengandung rupiah yang harus dialokasikan untuk pemulihan lingkungan dan depresiasi atas deplesi (menipisnya) sumber daya alam. Sayang, kita semua gandrung dengan pertumbuhan semu yang menyedot modal sumber daya alam dan memorak-porandakan lingkungan tempat kita hidup.
Akankah Jokowi meneruskan kebiasaan blusukannya sehingga kelak kita nobatkan sebagai barefoot president? Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menyatakan bahwa blusukan yang ia akan lakukan sebagai presiden tentu berbeda dari ketika sebagai wali kota dan gubernur. Cakupan wilayah yang membentang demikian luas tidak memungkinkan bagi Jokowi untuk secara in person blusukan ke semua sudut negeri. Untuk segera bisa memahami persoalan dan mempercepat pengambilan keputusan, Jokowi akan menggunakan e-blusukan.
Namun, sifat dan sikap kerakyatannya rasanya masih terus melekat pada diri Jokowi. Gaya kepemimpinan yang demikian diharapkan mampu menginspirasi semua pemimpin di semua lini sehingga harapan Jokowi agar Indonesia menjadi negara yang kuat dan bermartabat segera terwujud. (59)
— Sudharto P Hadi,dosen Universitas Diponegoro

Sumber : epaper SM edisi SELASA, 21 OKTOBER 2014

Spirit Malala bagi Kaum Perempuan Muda

 Mansata Indah Dwi Utari
Pada 10 November lalu, Komite Penghargaan di Oslo, Norwegia, memberikan Nobel Perdamaian 2014 kepada Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi. Keduanya merupakan penggawa pejuang masa depan anak. Berkat perjuangan mereka, anak-anak di daerah rawan konflik dan kekerasan mampu  mendapat akses dunia pendidikan yang layak. (SM, 11/10)
Satu hal paling mencengangkan, Malala Yousafzai adalah gadis berusia 17 tahun. Di saat remaja seusianya tengah asyik memperbincangkan fashion dan gadget terbaru, Malala justru bertaruh nyawa demi memberikan pendidikan bagi perempuan dan anak di Pakistan. Ia memiliki jiwa pengorbanan yang luar biasa.
Bahkan pada 9 Oktober 2012, Malala mengalami koma. Pasalnya, salah seorang tentara Taliban menembaknya tatkala hendak mengajar anak-anak miskin. Akhirnya Malala dilarikan ke Rumah Sakit Ratu Elizabeth di Birmingham, Inggris. Setelah sehat kembali, Malala melanjutkan perjuangannya. Hingga kini tentara Taliban menyatakan akan terus berusaha membunuh Malala dan ayahnya.
Hedonisme
Mungkin seribu dibanding satu untuk menemukan sosok perempuan seperti Malala di era sekarang ini. Para remaja sudah larut dalam kehidupan hedonisme. Pola hidup ini lahir lantaran adanya kebutuhan untuk dipandang sebagai manusia eksklusif. Kemudian pola ini dianggap sebagai harga mati. Mari kita bandingkan, lebih banyak mana, remaja yang lalu lalang di mal atau pusat-pusat keramaian, membawa telepon genggam model mutakhir di tangan, mengenakan pakaian dan aksesori serba mahal, dengan remaja yang masuk ke pelosok-pelosok desa memberikan pendidikan dan kepedulian sosial.
Yang memprihatinkan, perilaku hedonisme sangat dekat dengan narkoba dan perilaku seks bebas. Gelar remaja gaul dan funky baru melekat bila mampu mengikuti tren saat ini. Dikatakan funky, minimal mereka harus memiliki handphone, baju serta dandanan yang trendy. Beruntung bagi mereka yang termasuk dalam golongan berduit. Mereka dapat memenuhi semua tuntutan kriteria tersebut. Tetapi bagi yang tidak mampu dan ingin cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang akan diambil.
Sudah menjadi rumus bahwa ketika hedonisme sudah menjadi pegangan hidup pemuda, nilainilai luhur kemanusiaan pun luntur, bahkan hilang. Kepekaan sosial mereka terancam tergusur manakala mereka selalu mempertimbangkan untung rugi dalam bersosialisasi. Masyarakat terlihat seperti mumi hidup yang tak berguna bagi mereka. Mereka menjadi individu yang sama sekali tidak memiliki kepedulian. Akibatnya ketika ada orang membutuhkan uluran tangan, mereka menyembunyikan diri dan enggan berkorban.
Disadari atau tidak, paham ini telah merasuki kehidupan para perempuan modern. Kaum perempuan, utamanya remaja, merasa minder dan kurang cantik jika tubuhnya tidak dibalut dengan perhiasan mewah. Mereka selalu merasa kurang cantik ketika tidak memakai pakaian merek teranyar dan make-up ternama.
Menurut Muyassarotul Hafidzoh (2013), perempuan modern seringkali memahami cantik secara parsial. Cantik yang mereka pahami hanya berlaku ketika perempuan memakai sesuatu yang dianggapnya mahal dan berharga. Tidak sebatas itu, bahkan kemewahan yang lebih, seperti memiliki mobil mewah, perhiasan mewah, rumah mewah, bahkan sampai hal-hal kecil, seperti alat dapur pun, menjadi alat ukur perempuan untuk mendapatkan pujian yang diinginkan. Ini merupakan pemahaman salah kaprah, tapi sudah mengakar di benak masyarakat.  
Spirit Malala
Di tengah derasnya kepungan hedonisme yang melanda, Indonesia membutuhkan sosok seperti Malala. Bukan hanya pada tataran teoritis, bangsa ini membutuhkan lebih banyak inspirasi lewat berbagai kampanye nyata. Apalagi masih banyak anak-anak kurang beruntung dan belum mampu mengenyam pendidikan yang membutuhkan uluran tangan.
Malala adalah pejuang bagi kaum papa. Usia mudanya digunakan dengan penuh dedikasi terhadap sesamanya. Malala sangat yakin bahwa hanya melalui pendidikan, kaum perempuan Pakistan bebas dari penindasan. Walaupun nyawa harus menjadi taruhan, ia tak gentar untuk mengampanyekan pendidikan. Perjuangan Malala juga memberi pesan kepada kaum perempuan agar hati-hati dan menjaga diri. Jangan sampai terjerumus dalam pergaulan bebas hingga menimbulkan aborsi. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang 2012, ada 162 kasus pembuangan bayi, 129 bayi di antaranya meninggal. Data ini belum termasuk kasus serupa yang tidak diketahui oleh Komnas. Kemungkinan besar jumlahnya lebih banyak lagi.
Data di atas sekaligus menunjukkan bahwa setiap tiga hari, setidaknya satu bayi dibuang dan ditelantarkan. Bayibayi malang itu dibuang di tempat sampah, sungai, selokan, tempat ibadah, puskesmas, rumah sakit, atau bahkan kuburan. Hampir semua alasannya adalah hasil hubungan di luar nikah.
Pengorbanan Malala ini layak dijadikan teladan bagi kaum perempuan muda. Untuk berdedikasi terhadap negara tidak terbatas usia, anak kecil, remaja hingga orang lanjut pun dapat melakukan hal tersebut. Malala sama seperti Kartini, dia mendedikasikan diri untuk kemerdekaan kaum  perempuan.
—Mansata Indah Dwi Utari, guru MA Assalam Kradenan Grobogan.

Sumber : epaper SM edisi SELASA, 21 OKTOBER 2014

Pelantikan yang Cairkan Ketegangan

FS Swantoro
KOMUNIKASI politik antar tokoh dan elite seperti terlihat belakangan ini menunjukkan kematangan demokrasi Indonesia. Ketegangan antar elite politik yang bersaing dalam Pilpres 2014 hingga membelah bangsa ini, telah mencair. Karena itu, pelantikanJokowi-Jusuf Kalla, sebagai presiden wakil presiden dalam Sidang Paripurna MPR, 20 Oktober 2014, sungguh spektakuler.
Antusiasme masyarakat dalam acara ”Syukuran Rakyat” untuk mengantar Jokowi-JK menuju Istana, sangat tinggi. Mereka datang dari berbagai tempat dan kalangan, tidak hanya menyumbang ide dan tenaga tapi juga makanan. Sukarelawan Jokowi Presiden Wong Cilik juga menyumbang konsumsi gratis untuk 500 ribu orang dalam acara dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Monas.
Tak ketinggalan pertunjukan ”Salam Tiga Jari” yang menampilkan Band Slank, Gigi, Nidji, Oppie Andarista, dan Arkarna dari luar. Antusiasme tinggi masyarakat dalam puncak pesta demokrasi tersebut tidak pernah terjadi sejak Soeharto diangkat sebagai presiden dalam Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1966.
Inaugurasi presiden baru itu pun prestisius karena dihadiri Menlu AS John Kerry, utusan Presiden Barack Obama serta perwakilan negara sahabat hadir sebagai kepala pemerintahan seperti PM Australia Tony Abbott, Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak, PM Papua Nugini Peter O’Neill, PM Malaysia Najib Razak, PM Singapura Lee Hsien Loong, mantan PM Jepang Yasuo Fukuda, dan Menlu Filipina Albert del Rosario.
Yang lebih membesarkan hati, kekhawatiran akan krisis politik akibat kebekuan komunikasi antar dua kubu koalisi setelah Pilpres 9 Juli, ternyata tidak terbukti. Optimisme baru bahkan muncul setelah kembali terajut komunikasi antartokoh pendukung Prabowo-Hatta yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi-JK. Sungguh spektakuler proses suksesi kepemimpinan nasional 2014.
Presiden Jokowi dalam pesannya antara lain ingin mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ia akan terus mengampanyekan ajaran Tri Sakti Bung Karno itu mengingat kondisi bangsa sedang buruk.
Secara khusus Jokowi mengucapkan terima kasih Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ucapan Jokowi disambut tepuk tangan hadirin. Prabowo yang duduk di bangku khusus pun langsung berdiri dan memberi hormat kepada Jokowi. Balasan serupa ditunjukkan Hatta, yang langsung berdiri sembari membungkukkan badan.
Dalam pidatonya, Jokowi meminta semua elemen untuk komit bekerja keras. Kini saatnya menyatukan hati dan tangan menapaki ujian sejarah berikutnya di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Ia yakin semua bisa terwujud bila dipikul bersama melalui persatuan dan gotong royong. Indonesia tidak akan pernah besar bila terbelah dan tidak bekerja keras. Karena itu, pemerintahannya bertekad agar seluruh rakyat merasakan kehadiran pelayanan pemerintah dalam kehidupan sehari-hari dan mereka dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Ia mengajak seluruh lapisan masyarakat bekerja keras, bahu-membahu sebagai wujud pengabdian kepada nusa dan bangsa. Tanpa semangat gotong royong, bangsa ini akan kehilangan roh.
Bagi Presiden Jokowi, 5 tahun ke depan merupakan pertaruhan sebagai bangsa merdeka. Dia menegaskan, jabatan presiden bukan tamansari yang indah dan harus dinikmati melainkan kerja, kerja, dan kerja yang utama. Dengan kerja keras dan bergotong royong maka masyarakat akan berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Warisan SBY
Pesan awal Jokowi diakhiri dengan mengutip pidato Bung Karno bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, kuat, dan makmur, kita harus memiliki jiwa cakrawati samudra, jiwa pelaut pemberani untuk mengarungi gelombang ganas.
Karena itu, Jokowi berkomitmen membentuk kabinet kerja dan ahli, berlandaskan koalisi partai tanpa syarat. Andai pilihannya tak seperti harapan publik, akan ada resistensi ke depan. Profil kabinet memang penting karena begitu memimpin, JokowiJK akan dihadapkan persoalan warisan pemerintahan SBY. Di bidang ekonomi terkait defisit perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan neraca pembayaran dan fiskal.
Pemerintahan Jokowi-JK juga perlu menghapus subsidi BBM dan listrik. Dana itu harus dialihkan untuk membangun sarana pendidikan dan kesehatan, bantuan sosial, serta infrastruktur pertanian yang merupakan tanggung jawab pemerintah. Tidak kalah penting memperbaiki iklim investasi supaya banyak modal asing masuk. Masuknya modal asing sangat diperlukan guna membantu menutup defisit transaksi berjalan, menggerakkan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ekspor manufaktur.
Pemerintahan Jokowi-JK juga harus berani memaksa dunia usaha membawa devisa hasil ekspornya ke Indonesia dan melunasi kewajiban pajaknya sesuai undang-undang. Hanya dengan cara itu pemerintahan baru dapat menciptakan lapangan kerja bagi warga supaya lebih sejahtera.
Selamat bekerja Pak Jokowi dan Pak JK, semoga sukses. (10)
— FS Swantoro, peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta

Sumber : epaper SM edisi SELASA, 21 OKTOBER 2014

Pidato Pertama Presiden

Pidato pertama Presiden RI ke-7
Oleh Joko Widodo
ASSALAMUALAIKUM warahmatullahi wabarakatuh. Salam damai sejahtera untuk kita semua. Om Swastiastu. Namo Buddhaya Yang saya hormati, para pimpinan dan seluruh anggota MPR.
Yang saya hormati, Wakil Presiden Republik Indonesia.
Yang saya hormati, Bapak Prof Dr BJ Habibie, Presiden Ke-3 Republik Indonesia; Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden Ke-5 Republik Indonesia; Bapak Try Sutrisno, Wakil Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Bapak Hamzah Haz, Wakil Presiden Ke-9 Republik Indonesia.
Yang saya hormati, Bapak Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ke-6 Republik Indonesia; Bapak Prof Dr Boediono, Wakil Presiden Ke-11 Republik Indonesia.
Yang saya hormati, para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara, Yang saya hormati dan saya muliakan, kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat. Para tamu, undangan yang saya hormati.
Saudara-saudara sebangsa, setanah air, Hadirin yang saya muliakan. Baru saja kami mengucapkan sumpah, sumpah itu memiliki makna spritual yang dalam, yang menegaskan komitmen untuk bekerja keras mencapai kehendak kita bersama sebagai bangsa yang besar. Kini saatnya, kita menyatukan hati dan tangan. Kini saatnya, bersama-sama melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang mahaberat, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Saya yakin tugas sejarah yang berat itu akan bisa kita pikul bersama dengan persatuan, gotong royong dan kerja keras. Persatuan dan gotong royong adalah syarat bagi kita untuk menjadi bangsa besar. Kita tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelahan dan keterpecahan. Dan, kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras.
Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok Tanah Air, merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan. Saya juga mengajak seluruh lembaga negara untuk bekerja dengan semangat yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsi masingmasing. Saya yakin, negara ini akan semakin kuat dan berwibawa jika semua lembaga negara bekerja memanggul mandat yang telah diberikan oleh konstitusi.
Kepada para nelayan, buruh, petani, pedagang bakso, pedagang asongan, sopir, akademisi, guru, TNI/Polri, pengusaha dan kalangan profesional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu-membahu, bergotong rotong. Inilah, momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama untuk bekerja, bekerja, dan bekerja
Hadirin yang mulia.
Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global. Kita harus bekerja dengan sekeraskerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
Kerja besar membangun bangsa tidak mungkin dilakukan sendiri oleh presiden, wakil presiden ataupun jajaran Pemerintahan yang saya pimpin, tetapi membutuhkan topangan kekuatan kolektif yang merupakan kesatuan seluruh bangsa.
Lima tahun ke depan menjadi momentum pertaruhan kita sebagai bangsa merdeka. Oleh sebab itu, kerja, kerja, dan kerja adalah yang utama. Saya yakin, dengan kerja keras dan gotong royong, kita akan akan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
Atas nama rakyat dan pemerintah Indonesia, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada yang mulia kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat. Saya ingin menegaskan, di bawah pemerintahan saya, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sebagai negara kepulauan, dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, akan terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi ,dan keadilan sosial.
Pada kesempatan bersejarah ini, perkenankan saya, atas nama pribadi, atas nama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan atas nama bangsa Indonesia menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Prof Dr Boediono yang telah memimpin penyelenggaraan pemerintahan selama lima tahun terakhir.
Hadirian yang saya muliakan.
Mengakhiri pidato ini, saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh Presiden I Republik Indonesia, Bung Karno bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudra; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan empasan ombak yang menggulung.
Sebagai nakhoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya.  Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudra dengan kekuatan kita sendiri.
Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama. (10)
Merdeka. Mereka. Merdeka
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Semoga Tuhan memberkati
Om Shanti Shanti Shanti Om

Sumber : epaper SM edisi SELASA, 21 OKTOBER 2014

Monday 20 October 2014

Otonomi Kampus di Dalam Harmoni

Sudharto P Hadi
PADA15 Oktober 2014, Universitas Diponegoro (Undip) genap berusia 57 tahun. Angka ini dihitung sejak berdirinya PTS bernama Universitas Semarang tahun 1957 yang menjadi cikal bakal Undip. Pada Dies Natalis III tahun 1960, Presiden Soekarno mengganti namanya menjadi Universitas Diponegoro. Seiring dengan pemberian nama tersebut, statusnya pun berubah sebagai PTN dan ada penetapan tanggal 15 Oktober menjadi hari kelahirannya.
Usia ke-57 juga menjadi milestone karena akan ada perubahan status Undip dari perguruan tinggi negeri badan layanan umum (PTN BLU) menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH). Apa konsekuensi dan implikasi dari perubahahan status tersebut?
Saat ini ada 7 PTN BH, yakni UI, UGM, ITB, IPB, Unair, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan USU, dan dalam perjalanannya menuju PTN BH melalui proses pengajuan proposal. Berdasarkan penilaian Ditjen Dikti Kemdikbud, tak semua kinerja institusi itu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Dari realitas itu, Dikti mengubah pola pembentukannya, tak lagi mendasarkan proposal tapi penilaian. Kriteria penilaian itu mencakup produktivitas karya ilmiah internasional dosen, akreditasi institusi dan akreditasi prodi, Kinerja sebagai PTN BLU, status laporan keuangan, prestasi mahasiswa dan ketaatan terhadap hukum. Berdasarkan tolok ukur itu, Dikti menetapkan 4 PTN layak mendapat mandat menjadi PTN BH, yakni Undip, Unpad, ITS, dan Unhas.
Berdasarkan Pasal 65 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTN BH memiliki antara lain otonomi tata kelola dan pengambilan keputusan, hak mengelola dana, mengangkat/memberhentikan dosen dan tenaga kependidikan, wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi serta wewenang membuka, menyelenggarakan, dan menutup prodi.
Masuknya Undip dalam jajaran PTN BH tentu membanggakan, bukan saja bentuk pengakuan atas prestasi melainkan juga karena membawa atribut Jawa Tengah. Dari 7 PTN BH tidak satu pun dari Jateng. Mengapa otonomi diperlukan bagi PT?
Kata otonomi di telinga kita masih penuh kontroversi. Ketika UU tentang Pemda digulirkan awal 2000 dan pemkab/pemkot diberi otonomi mengelola daerahnya, berbagai implikasi muncul, di antaranya suburnya egoisme daerah, orientasi pada PAD, dan mengabaikan aspek-aspek yang tidak memberikan keuntungan finansial jangka pendek. Otonomi yang disandang PTN pun awalnya membawa implikasi tidak kalah seru.
Pada tahap pertama, baru 4 PTN dijadikan pilot projectot onomi, yakni UGM, UI, ITB dan IPB dengan label perguruan tinggi badan hukum milik negara (PTBHMN). Segera setelah atribut otonomi disandang, mereka seperti berlomba memasang tarif biaya pendidikan, lebih mahal dari sebelumnya. Fenomena itu membentuk persepsi otonomi identik dengan biaya pendidikan yang mahal.
Mengundang Protes
PTN berbadan hukum juga memulai menerima mahasiswa baru secara mandiri sebelum pengumuman UN. Adapun porsi jalur seleksi bersama PTN lain, sangat sedikit. Hal itu membuat PTN kecil, terutama di luar Jawa, menjerit karena bibit-bibit unggul sudah tersedot PTN besar sebelum siswa dinyatakan lulus SMA. PTN BHMN juga membentuk berbagai usaha yang tak terkait dengan core business-nya, semisal membuat mall.
Banyak pelajaran bisa dipetik dari PTN yang mempraktikkan otonomi. Selama 4 tahun ini Dikti menata sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru agar transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif. Biaya pendidikan diupayakan memenuhi aspek keadilan dan keterjangkauan. Dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, ditetapkan sekurang-kurangnya 60% dilakukan bersama-sama secara nasional.
Langkah itu juga berisiko karena seleksi penerimaan mahasiswa yang mendasarkan pada prestasi akademik belum ditunjang oleh vailiditas dan kredibilitas nilai rapor SLTA. Ketentuan lain adalah ujian seleksi mandiri harus dilaksanakan setelah seleksi nasional secara bersama.
UU Nomor 12 Tahun 2012 juga mewajibkan PTN membantu 20% mahasiswa tidak mampu dari keseluruhan yang diterima. Agar terjadi subsidi silang, biaya pendidikan ditetapkan dengan uang kuliah tunggal (UKT) dan PTN membuat 5-7 penggolongan, di mana mahasiswa tidak mampu hanya dikenai biaya berdasarkan golongan 1 (Rp 0-Rp 500 ribu) atau golongan 2 (Rp 500 ribu-Rp 1 juta).
Golongan 1 dan 2 ditetapkan masing-masing minimal 5 %. Jumlah ini di luar mahasiswa penerima Bidikmisi yang tiap tahun minimal 15 % dan juga di luar mahasiswa penerima bea siswa dari berbagai sumber.
Memiliki kewenangan membuka dan menutup program studi, merupakan bentuk pengakuan bahwa perguruan tinggi tersebut telah dewasa dalam mengelola proses akademiknya. Proses penjaminan mutu secara internal dipandang telah berjalan dengan baik. Dengan otonomi dipastikan tidak akan ada sebuah prodi terlambat memperpanjang status akreditasinya.
Demikian juga pengelola PT harus memiliki jiwa wirausaha. Aset yang dimiliki harus didayagunakan untuk bisa menghasilkan keuntungan guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Hasil-hasil riset perlu diarahkan untuk upaya-upaya inovatif dalam meningkatkan daya saing bangsa. (10)
— Sudharto P Hadi, Rektor Universitas Diponegoro

Sumber : epaper SM hal 6 edisi SABTU, 18 OKTOBER 2014

Tantangan Poros Maritim Jokowi

Munawir Aziz
KEPEMIMPINAN Jokowi-Jusuf Kalla (JK) ditantang untuk mengeksekusi kebijakan tentang maritim. Keduanya mengusung konsep Indonesia sebagai poros maritim dunia, untuk merevitalisasi kekuatan sektor bahari. Konsep maritim merupakan rumusan mendasar untuk kembali menguatkan kita adalah bangsa bahari, yang tidak hanya mengandalkan sektor darat tapi juga mengefektifkan potensi ekonomi dan pertahanan dari sektor kelautan.
Diapit dua perairan strategis: Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik, Indonesia berpotensi menjadi jembatan ekonomi dan pertahanan dunia. Indonesia juga dikaruniai potensi alam luar biasa, dengan eksotisme dan keberagaman sumber daya laut. Luas laut Indonesia sekitar 5,8 juta km2, terdiri atas 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, dan 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Sesungguhnya, visi maritim Indonesia dimulai sejak pemerintahan Soekarno. Presiden pertama itu berujar,’’ untuk menjadi bangsa yang kuat, kita harus menjadi bangsa bahari.’’(Kusumoprojo, 2007). Cita-cita maritim Soekarno menjadi fokus idealisme negeri ini bahwa untuk mewujudkan bangsa yang kuat, tidak hanya dari sektor darat tapi juga dari potensi kelautan.
Pada era Soeharto, kebijakan kelautan bukan prioritas utama mengingat tulang punggung ekonomi Orde Baru ditumpukan pada sektor pertanian dan pertambangan. Ketika Gus Dur menjadi presiden, pada masa reformasi, ia kembali mengusung visi maritim bangsa ini. Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Laut yang kemudian berubah menjadi Departemen Eksplorasi Kelautan dan Perikanan.
Departemen ini, kemudian diubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Semasa menjadi presiden, Gus Dur juga membentuk Dewan Maritim Indonesia, melalui Keppres Nomor 161 Tahun 1999. Keppres ini menunjukkan bahwa pemerintah berkomitmen mengefektifkan kepemimpinan bahari.
Dari visi maritim inilah, Jokowi-JK meneruskan lewat platform poros maritim dunia. Visi poros maritim dunia menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Jokowi-JK mendatang, selain persoalan mendasar bidang energi. Data dari FAO (2012) menyebutkan bahwa Indonesia saat ini menempati posisi ketiga terbesar produksi perikanan, di bawah Tiongkok dan India. Konsep restorasi maritim Indonesia mendasarkan upaya mengefektifkan sumber daya ekonomi dari laut kita.
Potensi ekonomi laut masih belum maksimal karena pemerintah tidak terlalu serius menggarap sektor ini. Akibatnya, pencurian ikan oleh nelayan asing merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan potensi kehilangan dari sektor perikanan laut mencapai Rp 65 triliun tiap tahun. Adapun audit BPK 2012 menyebutkan bahwa sekitar Rp 365 triliun merupakan pendapatan resmi andai pemerintah bisa menghentikan pencurian ikan. Artinya, ada sekitar Rp 300 triliun pendapatan negara yang lenyap dari perikanan laut.
Konsep Restorasi
Doktrin Indonesia sebagai poros maritim dunia, yang diusung Jokowi-JK sebagai bagian dari program kebijakan pemerintahan mendatang, merupakan upaya menjadikan Indonesia titik sentral pertahanan dan ekonomi maritim. Konsep poros maritim dunia diturunkan dalam konsep restorasi maritim. Ada empat poin yang jadi titik sentralnya, pertama; mengatasi pasar gelap ikan tuna dan pemanfaatan ZEE, kedua; memberantas pencurian ikan, ketiga; ekspansi budi daya laut, dan keempat; mengembangkan pasar padat karya sektor maritim.
Sektor ekonomi laut akan diperkuat dengan pembentukan bank agro maritim. Permodalan itu untuk menyuntik pengembangan bisnis keramba dan jaring apung, yang bisa dikembangkan hingga 400 ribu hektare. Dari sektor ini, ada potensi penghasilan sekitar Rp 147 triliun. Selain itu, intensifikasi armada laut dan pengembangan keterampilan pekerja di bidang kelautan akan mendongkrak potensi perikanan laut sebagai tulang punggung ekonomi negara.
Gagasan poros maritim Jokowi tidak hanya berhenti sebagai platform kosong tanpa makna. Konsep kebijakan revitalisasi potensi laut, ditunjang aktualisasi visi dan prioritas kebijakan untuk menggarap sektor maritim. Misalnya, gagasan menggarap tol laut untuk menjamin konektivitas antar pulau, perbaikan transportasi laut, peningkatan infrastruktur pelabuhan, upgrade industri perikanan dan perkapalan, serta gagasan tentang pertahanan maritim.
Gagasan inilah yang menjadi rumusan mendasar untuk mengartikulasikan konsep poros maritim dunia. Tentu saja hal ini terfokus pada platform kebijakan Jokowi-Jusuf Kalla dalam mengembangkan potensi sumber daya negeri ini. Kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur, diplomasi politik internasional, dan prioritas kebijakan politik merupakan instrumen utama mengeksekusi gagasan poros maritim dunia. Jika instrumen tersebut tidak terintegrasi, sebaik apa pun itu hanya pepesan kosong tanpa makna. (10)
— Munawir Aziz, peneliti, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Sumber : epaper SM hal 6 edisi SABTU, 18 OKTOBER 2014