Tuesday 21 October 2014

Spirit Malala bagi Kaum Perempuan Muda

 Mansata Indah Dwi Utari
Pada 10 November lalu, Komite Penghargaan di Oslo, Norwegia, memberikan Nobel Perdamaian 2014 kepada Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi. Keduanya merupakan penggawa pejuang masa depan anak. Berkat perjuangan mereka, anak-anak di daerah rawan konflik dan kekerasan mampu  mendapat akses dunia pendidikan yang layak. (SM, 11/10)
Satu hal paling mencengangkan, Malala Yousafzai adalah gadis berusia 17 tahun. Di saat remaja seusianya tengah asyik memperbincangkan fashion dan gadget terbaru, Malala justru bertaruh nyawa demi memberikan pendidikan bagi perempuan dan anak di Pakistan. Ia memiliki jiwa pengorbanan yang luar biasa.
Bahkan pada 9 Oktober 2012, Malala mengalami koma. Pasalnya, salah seorang tentara Taliban menembaknya tatkala hendak mengajar anak-anak miskin. Akhirnya Malala dilarikan ke Rumah Sakit Ratu Elizabeth di Birmingham, Inggris. Setelah sehat kembali, Malala melanjutkan perjuangannya. Hingga kini tentara Taliban menyatakan akan terus berusaha membunuh Malala dan ayahnya.
Hedonisme
Mungkin seribu dibanding satu untuk menemukan sosok perempuan seperti Malala di era sekarang ini. Para remaja sudah larut dalam kehidupan hedonisme. Pola hidup ini lahir lantaran adanya kebutuhan untuk dipandang sebagai manusia eksklusif. Kemudian pola ini dianggap sebagai harga mati. Mari kita bandingkan, lebih banyak mana, remaja yang lalu lalang di mal atau pusat-pusat keramaian, membawa telepon genggam model mutakhir di tangan, mengenakan pakaian dan aksesori serba mahal, dengan remaja yang masuk ke pelosok-pelosok desa memberikan pendidikan dan kepedulian sosial.
Yang memprihatinkan, perilaku hedonisme sangat dekat dengan narkoba dan perilaku seks bebas. Gelar remaja gaul dan funky baru melekat bila mampu mengikuti tren saat ini. Dikatakan funky, minimal mereka harus memiliki handphone, baju serta dandanan yang trendy. Beruntung bagi mereka yang termasuk dalam golongan berduit. Mereka dapat memenuhi semua tuntutan kriteria tersebut. Tetapi bagi yang tidak mampu dan ingin cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang akan diambil.
Sudah menjadi rumus bahwa ketika hedonisme sudah menjadi pegangan hidup pemuda, nilainilai luhur kemanusiaan pun luntur, bahkan hilang. Kepekaan sosial mereka terancam tergusur manakala mereka selalu mempertimbangkan untung rugi dalam bersosialisasi. Masyarakat terlihat seperti mumi hidup yang tak berguna bagi mereka. Mereka menjadi individu yang sama sekali tidak memiliki kepedulian. Akibatnya ketika ada orang membutuhkan uluran tangan, mereka menyembunyikan diri dan enggan berkorban.
Disadari atau tidak, paham ini telah merasuki kehidupan para perempuan modern. Kaum perempuan, utamanya remaja, merasa minder dan kurang cantik jika tubuhnya tidak dibalut dengan perhiasan mewah. Mereka selalu merasa kurang cantik ketika tidak memakai pakaian merek teranyar dan make-up ternama.
Menurut Muyassarotul Hafidzoh (2013), perempuan modern seringkali memahami cantik secara parsial. Cantik yang mereka pahami hanya berlaku ketika perempuan memakai sesuatu yang dianggapnya mahal dan berharga. Tidak sebatas itu, bahkan kemewahan yang lebih, seperti memiliki mobil mewah, perhiasan mewah, rumah mewah, bahkan sampai hal-hal kecil, seperti alat dapur pun, menjadi alat ukur perempuan untuk mendapatkan pujian yang diinginkan. Ini merupakan pemahaman salah kaprah, tapi sudah mengakar di benak masyarakat.  
Spirit Malala
Di tengah derasnya kepungan hedonisme yang melanda, Indonesia membutuhkan sosok seperti Malala. Bukan hanya pada tataran teoritis, bangsa ini membutuhkan lebih banyak inspirasi lewat berbagai kampanye nyata. Apalagi masih banyak anak-anak kurang beruntung dan belum mampu mengenyam pendidikan yang membutuhkan uluran tangan.
Malala adalah pejuang bagi kaum papa. Usia mudanya digunakan dengan penuh dedikasi terhadap sesamanya. Malala sangat yakin bahwa hanya melalui pendidikan, kaum perempuan Pakistan bebas dari penindasan. Walaupun nyawa harus menjadi taruhan, ia tak gentar untuk mengampanyekan pendidikan. Perjuangan Malala juga memberi pesan kepada kaum perempuan agar hati-hati dan menjaga diri. Jangan sampai terjerumus dalam pergaulan bebas hingga menimbulkan aborsi. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang 2012, ada 162 kasus pembuangan bayi, 129 bayi di antaranya meninggal. Data ini belum termasuk kasus serupa yang tidak diketahui oleh Komnas. Kemungkinan besar jumlahnya lebih banyak lagi.
Data di atas sekaligus menunjukkan bahwa setiap tiga hari, setidaknya satu bayi dibuang dan ditelantarkan. Bayibayi malang itu dibuang di tempat sampah, sungai, selokan, tempat ibadah, puskesmas, rumah sakit, atau bahkan kuburan. Hampir semua alasannya adalah hasil hubungan di luar nikah.
Pengorbanan Malala ini layak dijadikan teladan bagi kaum perempuan muda. Untuk berdedikasi terhadap negara tidak terbatas usia, anak kecil, remaja hingga orang lanjut pun dapat melakukan hal tersebut. Malala sama seperti Kartini, dia mendedikasikan diri untuk kemerdekaan kaum  perempuan.
—Mansata Indah Dwi Utari, guru MA Assalam Kradenan Grobogan.

Sumber : epaper SM edisi SELASA, 21 OKTOBER 2014

No comments:

Post a Comment