Mansata Indah Dwi Utari |
Pada 10 November lalu, Komite
Penghargaan di Oslo, Norwegia, memberikan Nobel Perdamaian 2014 kepada Malala
Yousafzai dan Kailash Satyarthi. Keduanya merupakan penggawa pejuang masa depan
anak. Berkat perjuangan mereka, anak-anak di daerah rawan konflik dan kekerasan
mampu mendapat akses dunia pendidikan
yang layak. (SM, 11/10)
Satu hal paling mencengangkan,
Malala Yousafzai adalah gadis berusia 17 tahun. Di saat remaja seusianya tengah
asyik memperbincangkan fashion dan gadget terbaru, Malala justru bertaruh nyawa
demi memberikan pendidikan bagi perempuan dan anak di Pakistan. Ia memiliki
jiwa pengorbanan yang luar biasa.
Bahkan pada 9 Oktober 2012, Malala
mengalami koma. Pasalnya, salah seorang tentara Taliban menembaknya tatkala
hendak mengajar anak-anak miskin. Akhirnya Malala dilarikan ke Rumah Sakit Ratu
Elizabeth di Birmingham, Inggris. Setelah sehat kembali, Malala melanjutkan
perjuangannya. Hingga kini tentara Taliban menyatakan akan terus berusaha
membunuh Malala dan ayahnya.
Hedonisme
Mungkin seribu dibanding satu
untuk menemukan sosok perempuan seperti Malala di era sekarang ini. Para remaja
sudah larut dalam kehidupan hedonisme. Pola hidup ini lahir lantaran adanya
kebutuhan untuk dipandang sebagai manusia eksklusif. Kemudian pola ini dianggap
sebagai harga mati. Mari kita bandingkan, lebih banyak mana, remaja yang lalu lalang
di mal atau pusat-pusat keramaian, membawa telepon genggam model mutakhir di
tangan, mengenakan pakaian dan aksesori serba mahal, dengan remaja yang masuk
ke pelosok-pelosok desa memberikan pendidikan dan kepedulian sosial.
Yang memprihatinkan, perilaku
hedonisme sangat dekat dengan narkoba dan perilaku seks bebas. Gelar remaja
gaul dan funky baru melekat bila mampu mengikuti tren saat ini. Dikatakan
funky, minimal mereka harus memiliki handphone, baju serta dandanan yang
trendy. Beruntung bagi mereka yang termasuk dalam golongan berduit. Mereka
dapat memenuhi semua tuntutan kriteria tersebut. Tetapi bagi yang tidak mampu
dan ingin cepat seperti itu, pasti jalan pintaslah yang akan diambil.
Sudah menjadi rumus bahwa ketika
hedonisme sudah menjadi pegangan hidup pemuda, nilainilai luhur kemanusiaan pun
luntur, bahkan hilang. Kepekaan sosial mereka terancam tergusur manakala mereka
selalu mempertimbangkan untung rugi dalam bersosialisasi. Masyarakat terlihat seperti
mumi hidup yang tak berguna bagi mereka. Mereka menjadi individu yang sama
sekali tidak memiliki kepedulian. Akibatnya ketika ada orang membutuhkan uluran
tangan, mereka menyembunyikan diri dan enggan berkorban.
Disadari atau tidak, paham ini
telah merasuki kehidupan para perempuan modern. Kaum perempuan, utamanya
remaja, merasa minder dan kurang cantik jika tubuhnya tidak dibalut dengan
perhiasan mewah. Mereka selalu merasa kurang cantik ketika tidak memakai
pakaian merek teranyar dan make-up ternama.
Menurut Muyassarotul Hafidzoh
(2013), perempuan modern seringkali memahami cantik secara parsial. Cantik yang
mereka pahami hanya berlaku ketika perempuan memakai sesuatu yang dianggapnya
mahal dan berharga. Tidak sebatas itu, bahkan kemewahan yang lebih, seperti
memiliki mobil mewah, perhiasan mewah, rumah mewah, bahkan sampai hal-hal kecil,
seperti alat dapur pun, menjadi alat ukur perempuan untuk mendapatkan pujian
yang diinginkan. Ini merupakan pemahaman salah kaprah, tapi sudah mengakar di benak
masyarakat.
Spirit Malala
Di tengah derasnya kepungan
hedonisme yang melanda, Indonesia membutuhkan sosok seperti Malala. Bukan hanya
pada tataran teoritis, bangsa ini membutuhkan lebih banyak inspirasi lewat berbagai
kampanye nyata. Apalagi masih banyak anak-anak kurang beruntung dan belum mampu
mengenyam pendidikan yang membutuhkan uluran tangan.
Malala adalah pejuang bagi kaum
papa. Usia mudanya digunakan dengan penuh dedikasi terhadap sesamanya. Malala sangat
yakin bahwa hanya melalui pendidikan, kaum perempuan Pakistan bebas dari
penindasan. Walaupun nyawa harus menjadi taruhan, ia tak gentar untuk
mengampanyekan pendidikan. Perjuangan Malala juga memberi pesan kepada kaum
perempuan agar hati-hati dan menjaga diri. Jangan sampai terjerumus dalam
pergaulan bebas hingga menimbulkan aborsi. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang
2012, ada 162 kasus pembuangan bayi, 129 bayi di antaranya meninggal. Data ini belum
termasuk kasus serupa yang tidak diketahui oleh Komnas. Kemungkinan besar
jumlahnya lebih banyak lagi.
Data di atas sekaligus
menunjukkan bahwa setiap tiga hari, setidaknya satu bayi dibuang dan
ditelantarkan. Bayibayi malang itu dibuang di tempat sampah, sungai, selokan, tempat
ibadah, puskesmas, rumah sakit, atau bahkan kuburan. Hampir semua alasannya adalah
hasil hubungan di luar nikah.
Pengorbanan Malala ini layak
dijadikan teladan bagi kaum perempuan muda. Untuk berdedikasi terhadap negara tidak
terbatas usia, anak kecil, remaja hingga orang lanjut pun dapat melakukan hal
tersebut. Malala sama seperti Kartini, dia mendedikasikan diri untuk kemerdekaan
kaum perempuan.
—Mansata Indah Dwi Utari, guru MA
Assalam Kradenan Grobogan.
Sumber : epaper SM edisi SELASA,
21 OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment