Oleh Heri Priyatmoko
BARANGKALI dari kita tak banyak yang tahu, apalagi ambil
peduli, bahwa 7 November diperingati sebagai Hari Wayang Sedunia. Sejak 7
November 2003, UNESCO telah mengakui warisan leluhur Indonesia ini sebagai
warisan dunia. Bukannya anak negeri bangga, kenyataan di lapangan justru
menunjukkan tak sedikit tunas muda mencemooh pertunjukan wayang kulit sebagai
barang kuno, ketinggalan zaman, dan tak menarik.
Kendati demikian, kita berusaha tetap optimistis. Tokoh
wayang berikut karakternya masih hidup dalam benak kalangan sepuh. Para penulis
karya fiksi mencoba menghadirkan lakon wayang tanpa kelir laiknya dalang. Atau,
setidaknya menyisipkan tokoh wayang sebagai analogi tokoh di dunia riil.
Saya teringat oleh penjelasan indonesianis terkemuka Ben
Anderson (2003) bahwa dalam tatanan masyarakat Jawa, mitologi wayang yang
memiliki keragaman watak tokoh, menarik dipakai untuk memotret polah tingkah
manusia, dan seringkali pas. Sejumput bukti saya temukan dalam beberapa puisi
jurnalis-sastrawan Triyanto Triwikromo yang tertuang dalam buku berjudul
Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015).
Lihatlah, puisi ”Secangkir Kopi dalam Senyap”: ”Tjokroaminoto
pernah membayangkan dirinya sebagai Durna begitu tahu Kartosoewirjo ternyata
lebih mahir berpidato di gedung penuh hantu” (hlm. 15). Selanjutnya puisi
”Bukan Pesan Nabi”: ”Saat itu aku melihat Tjokroaminoto mengenakan jubah Durna
dan aku ingin membunuhnya. Kau tahu siapa Durna: ia pengkhianat yang menggurui
siapa saja, guru yang mengkhianati siapa saja”(hlm. 17).
Kita tahu bahwa Tjokroaminoto merupakan tokoh intelektual,
pandai bersiasat, punya segudang keahlian, termasuk jago silat, ahli mesin, dan
hukum, penulis surat kabar yang kritis, serta orator ulung. Berkat kemampuan
itu, dia membuat pemerintah kolonial Belanda deg-degan, dan mendorong petinggi
kompeni menghambat gerak Sarekat Islam yang pesat. Banyak murid-murid muda
Tjokro yang menetas.
Sangat tepat Tjokroaminoto dilukiskan bak Durna dari sisi
kepandaian dan posisinya sebagai guru Sukarno dan Kartosoewirjo. Sang dalang
sering menceritakan, Durna merupakan seorang brahmana, penyihir, dan guru.
Selagi masih kecil, baik Kurawa maupun Pandawa ngangsu kawruhkepadanya. Durna
begitu mengasihi Arjuna hingga ujung hayatnya, meski dua orang ini takkala
Perang Bratayuda berada dalam posisi berlawanan. Sebagai tanda kemampuan
magisnya yang luar biasa, dialah satu-satunya manusia yang dapat mempersunting
bidadari kayangan Dewi Wilutama, dan melahirkan anak semata wayang, Bambang
Aswatama.
Sewaktu pertempuran Bratayuda yang ganas itu, dia terjun ke
medan laga sehingga para Pandawa dan sekutunya berpaling dan lari. Arjuna, sang
murid kinasih, menolak menjajal kedigdayaan gurunya yang telah uzur dan cacat.
Strategi dipikirkan dan dilancarkan. Kresna menitahkan Wrekudara menghabisi
gajah yang kebetulan bernama Aswatama, seperti nama buah hati Durna. Pasukan
Pandawa berjingkrak dan bersorai Aswatama sudah kukut. Durna ingin memastikan,
bertanyalah kepada Yudistira, dan dijawab benar.
Sang brahmana akhirnya termakan, lalu terpekur bungkam tanpa
gerak, di tengah perang yang berkecamuk. Tak seorang pun yang berani mendekati
tokoh yang tengah berduka dan merana itu. Drestajumena, yang tubuhnya dirasuki
sukma Ekalaya untuk melampiaskan dendamnya di masa silam, menyeruak secepat
kilat menebas leher Durna.
Sosok Sukarno dilukiskan Triyanto sebagai Arjuna. Apa yang
bisa dikatakan orang tentang Arjuna dengan memahami ketokohan Sukarno? Arjuna
ialah petarung tanpa tanding di medan laga, walau bertubuh ramping berparas
rupawan sebagaimana seorang dara. Hatinya lembut walau berkemauan baja. Dikenal
pula sebagai kesatria dengan segudang istri dan kekasih. Lelaki bernama lain
Janaka tersebut menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu
dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi, tak terkecuali Triyanto.
Triyanto mengakui Sukarno berwajah bagus dan erat dengan
persoalan perempuan. Simak saja bait puisi ”Secangkir Kopi dalam Senyap”:
”Sukarno terlalu pahit. Kau tak layak membayangkan bercakap dengannya di sebuah
taman di sepanjang kursi rotan tempat pria gembagus itu bercumbu dengan Inggit
bagai Sangkuriang mengulum bibir Dayang Sumbi di kegelapan”(hlm. 15).
Analogi yang diketengahkan Triyanto ketemu nalar bahwa Arjuna
(Sukarno) berkonflik dengan Ekalaya (Kartosoewirjo). Kendati bersahabat kala
muda dan sama-sama merguru kepada Tjokroaminoto, mereka sulit akur secara
prinsip demi mendekap cita-cita ideal mereka. Memberontak selama belasan tahun
guna mendirikan Negara Islam, Kartosoewirjo yang digambarkan sebagai Ekalaya
ini berarti memusuhi Sukarno-Arjuna sebagai pucuk pimpinan bangsa Indonesia.
Bisa dijelaskan mengapa wayang hidup dalam benak masyarakat,
padahal panggung pertunjukan sepi penonton. Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa
(1985) menginformasikan, sejak kecil orang Jawa punya sejumlah identifikasi
moral terhadap tokoh pewayangan. Ia bebas memilih suatu model yang kiranya
cocok dan juga diterima masyarakat. Namun, bukan berarti semua model pantas
dikagumi. Berbagai lakon penuh variasi moral, maka figur yang buruk pun
menemukan tempat dalam panggung cerita. (43) —
Heri Priyatmoko, dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma
Sumber : Epapar SM edisi Sabtu, )7 Nopember 2015
No comments:
Post a Comment