Saturday 7 November 2015

Wayang dan Orang Jawa

Oleh Heri Priyatmoko

BARANGKALI dari kita tak banyak yang tahu, apalagi ambil peduli, bahwa 7 November diperingati sebagai Hari Wayang Sedunia. Sejak 7 November 2003, UNESCO telah mengakui warisan leluhur Indonesia ini sebagai warisan dunia. Bukannya anak negeri bangga, kenyataan di lapangan justru menunjukkan tak sedikit tunas muda mencemooh pertunjukan wayang kulit sebagai barang kuno, ketinggalan zaman, dan tak menarik.

Kendati demikian, kita berusaha tetap optimistis. Tokoh wayang berikut karakternya masih hidup dalam benak kalangan sepuh. Para penulis karya fiksi mencoba menghadirkan lakon wayang tanpa kelir laiknya dalang. Atau, setidaknya menyisipkan tokoh wayang sebagai analogi tokoh di dunia riil.

Saya teringat oleh penjelasan indonesianis terkemuka Ben Anderson (2003) bahwa dalam tatanan masyarakat Jawa, mitologi wayang yang memiliki keragaman watak tokoh, menarik dipakai untuk memotret polah tingkah manusia, dan seringkali pas. Sejumput bukti saya temukan dalam beberapa puisi jurnalis-sastrawan Triyanto Triwikromo yang tertuang dalam buku berjudul Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015).

Lihatlah, puisi ”Secangkir Kopi dalam Senyap”: ”Tjokroaminoto pernah membayangkan dirinya sebagai Durna begitu tahu Kartosoewirjo ternyata lebih mahir berpidato di gedung penuh hantu” (hlm. 15). Selanjutnya puisi ”Bukan Pesan Nabi”: ”Saat itu aku melihat Tjokroaminoto mengenakan jubah Durna dan aku ingin membunuhnya. Kau tahu siapa Durna: ia pengkhianat yang menggurui siapa saja, guru yang mengkhianati siapa saja”(hlm. 17).

Kita tahu bahwa Tjokroaminoto merupakan tokoh intelektual, pandai bersiasat, punya segudang keahlian, termasuk jago silat, ahli mesin, dan hukum, penulis surat kabar yang kritis, serta orator ulung. Berkat kemampuan itu, dia membuat pemerintah kolonial Belanda deg-degan, dan mendorong petinggi kompeni menghambat gerak Sarekat Islam yang pesat. Banyak murid-murid muda Tjokro yang menetas.

Sangat tepat Tjokroaminoto dilukiskan bak Durna dari sisi kepandaian dan posisinya sebagai guru Sukarno dan Kartosoewirjo. Sang dalang sering menceritakan, Durna merupakan seorang brahmana, penyihir, dan guru. Selagi masih kecil, baik Kurawa maupun Pandawa ngangsu kawruhkepadanya. Durna begitu mengasihi Arjuna hingga ujung hayatnya, meski dua orang ini takkala Perang Bratayuda berada dalam posisi berlawanan. Sebagai tanda kemampuan magisnya yang luar biasa, dialah satu-satunya manusia yang dapat mempersunting bidadari kayangan Dewi Wilutama, dan melahirkan anak semata wayang, Bambang Aswatama.

Sewaktu pertempuran Bratayuda yang ganas itu, dia terjun ke medan laga sehingga para Pandawa dan sekutunya berpaling dan lari. Arjuna, sang murid kinasih, menolak menjajal kedigdayaan gurunya yang telah uzur dan cacat. Strategi dipikirkan dan dilancarkan. Kresna menitahkan Wrekudara menghabisi gajah yang kebetulan bernama Aswatama, seperti nama buah hati Durna. Pasukan Pandawa berjingkrak dan bersorai Aswatama sudah kukut. Durna ingin memastikan, bertanyalah kepada Yudistira, dan dijawab benar.

Sang brahmana akhirnya termakan, lalu terpekur bungkam tanpa gerak, di tengah perang yang berkecamuk. Tak seorang pun yang berani mendekati tokoh yang tengah berduka dan merana itu. Drestajumena, yang tubuhnya dirasuki sukma Ekalaya untuk melampiaskan dendamnya di masa silam, menyeruak secepat kilat menebas leher Durna.

Sosok Sukarno dilukiskan Triyanto sebagai Arjuna. Apa yang bisa dikatakan orang tentang Arjuna dengan memahami ketokohan Sukarno? Arjuna ialah petarung tanpa tanding di medan laga, walau bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara. Hatinya lembut walau berkemauan baja. Dikenal pula sebagai kesatria dengan segudang istri dan kekasih. Lelaki bernama lain Janaka tersebut menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi, tak terkecuali Triyanto.

Triyanto mengakui Sukarno berwajah bagus dan erat dengan persoalan perempuan. Simak saja bait puisi ”Secangkir Kopi dalam Senyap”: ”Sukarno terlalu pahit. Kau tak layak membayangkan bercakap dengannya di sebuah taman di sepanjang kursi rotan tempat pria gembagus itu bercumbu dengan Inggit bagai Sangkuriang mengulum bibir Dayang Sumbi di kegelapan”(hlm. 15).

Analogi yang diketengahkan Triyanto ketemu nalar bahwa Arjuna (Sukarno) berkonflik dengan Ekalaya (Kartosoewirjo). Kendati bersahabat kala muda dan sama-sama merguru kepada Tjokroaminoto, mereka sulit akur secara prinsip demi mendekap cita-cita ideal mereka. Memberontak selama belasan tahun guna mendirikan Negara Islam, Kartosoewirjo yang digambarkan sebagai Ekalaya ini berarti memusuhi Sukarno-Arjuna sebagai pucuk pimpinan bangsa Indonesia.

Bisa dijelaskan mengapa wayang hidup dalam benak masyarakat, padahal panggung pertunjukan sepi penonton. Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa (1985) menginformasikan, sejak kecil orang Jawa punya sejumlah identifikasi moral terhadap tokoh pewayangan. Ia bebas memilih suatu model yang kiranya cocok dan juga diterima masyarakat. Namun, bukan berarti semua model pantas dikagumi. Berbagai lakon penuh variasi moral, maka figur yang buruk pun menemukan tempat dalam panggung cerita. (43) —

Heri Priyatmoko, dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma

Sumber : Epapar SM edisi Sabtu, )7 Nopember 2015

No comments:

Post a Comment