Oleh Imron Rosyadi
SALAH satu konsekuensi dari pemberlakuan UU Nomor 6/2014
tentang Desa adalah kebijakaan transfer/alokasi dana desa dari pemerintah pusat
ke pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU tersebut.
Yang dimaksud dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN bagi desa yang
ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 1 Permendes PDTT Nomor 5/2015).
Tahun 2015, pemerintah mematok pagu anggaran dana desa
sebesar Rp 20,66 triliun (SM, 23/10), yang akan disalurkan kepada 74.093 desa
di seluruh Indonesia. Dari total anggaran tersebut, telah ditransfer dana desa
dari rekening kas umum negara (RKUM) ke rekening kas umum daerah (RKUD) sebesar
Rp 16,02 triliun atau sekitar 77,1 persen.
Realisasi anggaran tersebut diharapkan efektif dan efisien,
untuk mencapai tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan,
melalui: (i) pemenuhan kebutuhan dasar; (ii) pembangunan sarana dan prasarana
desa; (iii) pengembangan potensi ekonomi lokal, dan (iv) pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Masalah Krusial
Aktivitas ekonomi utama masyarakat perdesaan adalah
pertanian, peternakan, dan perikanan yang menghasilkan berbagai jenis produk
pangan. Tidak bisa dimungkiri bahwa hingga saat ini yang menjadi sentra
produksi pangan di Indonesia adalah perdesaan, dengan produsen utama petani
kecil di seluruh pelosok Tanah Air.
Karena itu, berbicara mengenai pembangunan perdesaaan, tidak
bisa mengabaikan sektor pertanian sebagai penggerak roda perekonomian di perdesaan.
Makna pembangunan pertanian secara keseluruhan (off farm hulu, on farm dan off
farm hilir) identik dengan pembangunan perdesaan.
Ada beberapa persoalan krusial yang seringkali menghadang
pembangunan pertanian/perdesaan di Indonesia. Pertama masih menempatkan petani
sebagai objek pembangunan. Modal yang dimiliki petani, peternak, dan nelayan
seperti tenaga kerja produktif, pengetahuan, penguasaan teknologi, dan
kemampuan memanfaatkan sumber daya alam belum dipandang sebagai faktor penentu
keberhasilan pembangunan.
Kedua, kebijakan pemerintah dalam peningkatan produksi bahan
pangan/sayuran, seperti kedelai, bawang merah/putih, swasembada beras dan
jagung, swasembada daging sapi, percepatan produksi gula dan sebagainya, justru
cenderung berdampak pada merosotnya nilai tukar petani (harga komoditas pertanian
lokal semakin rendah).
Merujuk pada persoalan tersebut, diperlukan adanya perubahan
mindset para pemangku kepentingan, untuk meng-create perdesaan sebagai unit
terkecil lumbung pangan nasional. Maknanya, perekonomian perdesaan yang memang
digerakkan oleh sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sebagai sentra
penghasil pangan, secara agregat harus bisa mendorong pertumbuhan nasional,
serta yang terpenting, petani, peternak dan nelayan sebagai produsen utama
penghasil bahan pangan, bisa mendapatkan manfaat yang signifikan dari
pertumbuhan itu.
Untuk mewujudkan desa lumbung pangan, kuncinya adalah faktor
petani sebagai sumber daya kapital (human capital). Human capital petani yang
seringkali luput dari perhatian kita adalah wirausahawan petani (agripreneur),
karena dipandang petani tidak cocok menyandang profesi wirausahawan.
Pengabaian petani sebagai wirausahawan juga berasal dari diri
petani sendiri. Petani tidak memandang dirinya sebagai wirausahawan. Padahal
secara tradisional petani memiliki karakter wirausahawan, yakni mampu
memproduksi, menyerap tenaga kerja, dan pelaku utama ekonomi perdesaan.
Diperparah lagi dengan stigma yang telanjur melekat bahwa
petani tidak berpendidikan, tradisional, gurem, un-skill dan tidak
berteknologi. Lebih lanjut berimplikasi pada produk-produk pertanian yang
jarang sekali disajikan dalam bentuk (kemasan) modern, inovatif, dan bermuatan
nilai tambah.
Sebagaimana diamanatkan UU, dana desa bisa dimanfaatkan untuk
program-program pemberdayaan petani yang memungkinkan munculnya banyak petani
agripreneur, yakni pola pikir dan proses petani untuk menciptakan dan
mengembangkan kegiatan ekonomi melalui keberanian mengambil risiko,
kreativitas, dan inovatif. Sehingga diharapkan, dari tangan-tangan petani
agripreneur itulah akan terwujud desa lumbung pangan.
Imron Rosyadi, dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
dan Mahasiswa Program S3 Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 4
No comments:
Post a Comment