Tuesday, 10 November 2015

Dana Desa dan Lumbung Pangan

Oleh Imron Rosyadi

SALAH satu konsekuensi dari pemberlakuan UU Nomor 6/2014 tentang Desa adalah kebijakaan transfer/alokasi dana desa dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU tersebut. Yang dimaksud dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 1 Permendes PDTT Nomor 5/2015).

Tahun 2015, pemerintah mematok pagu anggaran dana desa sebesar Rp 20,66 triliun (SM, 23/10), yang akan disalurkan kepada 74.093 desa di seluruh Indonesia. Dari total anggaran tersebut, telah ditransfer dana desa dari rekening kas umum negara (RKUM) ke rekening kas umum daerah (RKUD) sebesar Rp 16,02 triliun atau sekitar 77,1 persen.

Realisasi anggaran tersebut diharapkan efektif dan efisien, untuk mencapai tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui: (i) pemenuhan kebutuhan dasar; (ii) pembangunan sarana dan prasarana desa; (iii) pengembangan potensi ekonomi lokal, dan (iv) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Masalah Krusial

Aktivitas ekonomi utama masyarakat perdesaan adalah pertanian, peternakan, dan perikanan yang menghasilkan berbagai jenis produk pangan. Tidak bisa dimungkiri bahwa hingga saat ini yang menjadi sentra produksi pangan di Indonesia adalah perdesaan, dengan produsen utama petani kecil di seluruh pelosok Tanah Air.

Karena itu, berbicara mengenai pembangunan perdesaaan, tidak bisa mengabaikan sektor pertanian sebagai penggerak roda perekonomian di perdesaan. Makna pembangunan pertanian secara keseluruhan (off farm hulu, on farm dan off farm hilir) identik dengan pembangunan perdesaan.

Ada beberapa persoalan krusial yang seringkali menghadang pembangunan pertanian/perdesaan di Indonesia. Pertama masih menempatkan petani sebagai objek pembangunan. Modal yang dimiliki petani, peternak, dan nelayan seperti tenaga kerja produktif, pengetahuan, penguasaan teknologi, dan kemampuan memanfaatkan sumber daya alam belum dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan.

Kedua, kebijakan pemerintah dalam peningkatan produksi bahan pangan/sayuran, seperti kedelai, bawang merah/putih, swasembada beras dan jagung, swasembada daging sapi, percepatan produksi gula dan sebagainya, justru cenderung berdampak pada merosotnya nilai tukar petani (harga komoditas pertanian lokal semakin rendah).

Merujuk pada persoalan tersebut, diperlukan adanya perubahan mindset para pemangku kepentingan, untuk meng-create perdesaan sebagai unit terkecil lumbung pangan nasional. Maknanya, perekonomian perdesaan yang memang digerakkan oleh sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sebagai sentra penghasil pangan, secara agregat harus bisa mendorong pertumbuhan nasional, serta yang terpenting, petani, peternak dan nelayan sebagai produsen utama penghasil bahan pangan, bisa mendapatkan manfaat yang signifikan dari pertumbuhan itu.

Untuk mewujudkan desa lumbung pangan, kuncinya adalah faktor petani sebagai sumber daya kapital (human capital). Human capital petani yang seringkali luput dari perhatian kita adalah wirausahawan petani (agripreneur), karena dipandang petani tidak cocok menyandang profesi wirausahawan.

Pengabaian petani sebagai wirausahawan juga berasal dari diri petani sendiri. Petani tidak memandang dirinya sebagai wirausahawan. Padahal secara tradisional petani memiliki karakter wirausahawan, yakni mampu memproduksi, menyerap tenaga kerja, dan pelaku utama ekonomi perdesaan.

Diperparah lagi dengan stigma yang telanjur melekat bahwa petani tidak berpendidikan, tradisional, gurem, un-skill dan tidak berteknologi. Lebih lanjut berimplikasi pada produk-produk pertanian yang jarang sekali disajikan dalam bentuk (kemasan) modern, inovatif, dan bermuatan nilai tambah.

Sebagaimana diamanatkan UU, dana desa bisa dimanfaatkan untuk program-program pemberdayaan petani yang memungkinkan munculnya banyak petani agripreneur, yakni pola pikir dan proses petani untuk menciptakan dan mengembangkan kegiatan ekonomi melalui keberanian mengambil risiko, kreativitas, dan inovatif. Sehingga diharapkan, dari tangan-tangan petani agripreneur itulah akan terwujud desa lumbung pangan.

Imron Rosyadi, dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Mahasiswa Program S3 Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 4

No comments:

Post a Comment