Oleh Defina Holistika
Marginalisasi maupun subordinasi yang diitimpakan kepada
perempuan bukanlah hal yang baru dalam peradaban umat manusia. Sepanjang
sejarah banyak didapati tragedi yang merendahkan, menindas, bahkan merebut
kemerdekaan kaum perempuan sebagai manusia. Kini wacana mengenai kesetaraan
gender dan gerakan feminis telah merebak ke berbagai penjuru dunia. Namun
sayangnya, hal tersebut belumlah cukup untuk mengatasi berbagai persoalan yang
menghimpit kaum perempuan.
Realita ini tampaknya juga masih enggan menjauh dari negeri
ini. Bertahun-tahun telah berlalu semenjak emansipasi perempuan yang dipelopori
R.AKartini lahir. Namun, kesejahteraan perempuan masih belum tercapai secara
signifikan. Ironi ini tentu tak akan terjadi apabila bangsa ini menyadari peran
perempuan sebagai salah satu aset bangsa yang tak akan tergantikan.
Dalam kaitannya dengan persoalan kepemimpinan, bisa dikatakan
bahwa perempuan memiliki dua peran. Pertama, sebagai seorang individu perempuan
mana pun memiliki hak untuk memegang tampuk kepemimpinan. Perempuan berhak
tampil di muka umum dan mengaktualisasikan diri di bidang apa pun yang ia
minati. Bahkan, hal ini harus senantiasa dipacu guna menghilangkan adanya
ketimpangan peranan gender di kancah publik.
Bahkan, sebuah negara belum bisa dikatakan maju apabila
keterlibatan kaum perempuan di dalamnya masih sangat minim. Terutama sosok
pemimpin perempuan yang keberadaanya hanya segelintir saja. Tak heran, apabila
belakangan ini wacana untuk memperlebar kesempatan kaum perempuan untuk
berkiprah di berbagai bidang kian terbuka lebar. Salah satunya adalah adanya
kesempatan kuota 30 persen bagi kaum perempuan untuk menduduki kursi parlemen.
Banyak Persoalan
Kedua, perempuan dalam hal ini seorang ibu memiliki andil
yang cukup besar untuk membidani lahirnya sosok pemimpin. Didikan seorang ibu
sejak usia dini memiliki pengaruh yang signifikan bagi masa depan anaknya.
sosok ibu lah yang mula-mula menanamkan karakter, nilai-nilai moral, maupun
berbagai pengetahuan kepada seorang anak.
Begitu pula dengan perkembangan anak di tahap selanjutnya,
seorang ibu tak dapat lepas tangan begitu saja. Meskipun anak mulai mempelajari
banyak hal dari dunia luar, akan tetapi peran seorang ibu masih diperlukan
untuk memantau perkembangan anak dan bahkan turut bertanggung jawab ketika anak
melakukan perilaku yang menyimpang.
Lalu, sudah siapkah perempuan di negeri ini untuk melahirkan
sosok-sosok pemimpin bangsa yang berkualitas? Sayangnya, masih banyak persoalan
yang menjegal langkah perempuan Indonesia untuk bergerak maju. Ada sejuta
permasalahan yang memberikan dampak signifikan, sehingga optimalisasi peran
perempuan pun sulit tercapai.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah masih
rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan yang seara kualitas maupun
kuantitas masih jauh diungguli kaum laki-laki. Telah menjadi sebuah keniscayaan
bahwa untuk melahirkan pendidik yang berkualitas harus melalui pendidikan yang
berkualitas pula. Hanya perempuan yang terdidiklah yang mampu berperan sebagai
seorang pendidik yang baik bagi keluarga, terkhusus bagi anak-anaknya.
Ironisnya, masih banyak di antara kaum perempuan yang masih buta aksara.
Pada dasarnya, pendidikan adalah kebutuhan bagi setiap orang.
oleh karena itu, perempuan yang memilih untuk hanya fokus menjadi ibu rumah
tangga pun harus mendapat pendidikan sebaik mungkin. Sebab, pengetahuan yang
dimilki seorang perempuan kelak akan menjadi modal sukses untuk mendidik
anaknya. Selain itu, pendidikan yang berkualitas juga turut berperan dalam
meningkatkan kedewasaan berpikir seseorang. Dengan kualitas-kualitas ini
seorang ibu diharapkan dapat menentukan pilihan-pilihan terbaik bagi anaknya.
Tingkat Kelulusan Tinggi
Persoalan lain yang masih terus membelit kaum perempuan
adalah masih tingginya tingkat kekerasan dan eksploitasi, termasuk kekerasan
dalam rumah tangga. Anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan
adalah makhluk yang lemah kian memperparah keadaan ini. Hal yang tidak jauh
berbeda juga terjadi di bidang kesehatan.
Salah satunya dapat dilihat dari tingginya angka kematian Ibu
(AKI) di Indonesia yang masih terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2012 menunjukkan AKI
mencapai 359 (239-478) per 100 ribu kelahiran hidup. Jumlah ini meningkat dari
hasil survei SDKI pada 2007, yakni 228 kematian (132-323) per 100 ribu
kelahiran hidup.
Melihat kenyataan ini, tentu tidak ada jalan lain selain
berupaya keras untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan. Berbagai
permasalahan yang menimpa perempuan selama ini merupakan salah satu bukti
ketidakberdayaan pemerintah. Padahal, sebagai pemangku kekuasaan pemerintah
memiliki ruang gerak yang begitu luas dan berkesempatan untuk membuat kebijakan
yang lebih adil bagi perempuan.
Untuk memperbaiki kondisi ini pemerintah dapat melakukan aksi
afirmasi, terutama di bidang-bidang yang paling vital, seperti pendidikan,
kesehatan dan hukum. Pemerintah juga harus sesegera mungkin menuntaskan
berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan serta meningkatkan pengawasan
agar kejadian yang sama tidak terulang. Di bidang hukum, pemerintah harus
berperan aktif untuk mengembangkan dan menyempurnakan perangkat hukum untuk
meningkatkan kualitas hidup perempuan, baik di tingkat daerah maupun pusat.
Dengan usaha sungguh-sungguh ini besar harapan bahwa
kesejahteraan kaum perempuan bisa semakin meningkat. Dengan begitu, setiap
perempuan dapat mengoptimalkan perannya untuk turut membangun negeri. Perlu
diingat bahwa baik buruk masa depan kepemimpinan di negeri ini sangat
bergantung pada baik buruk kualitas hidup perempuan.(34)
Defina Holistika, Ketua Kajian Keperempuanan Fakultas (KKF)
di UIN Walisongo Semarang
Sumber: Epaper SM Edisi Jum’at, 6 Nopember 2015
No comments:
Post a Comment