Saturday 7 November 2015

Perempuan dan Masa Depan Kepemimpinan

Oleh Defina Holistika

Marginalisasi maupun subordinasi yang diitimpakan kepada perempuan bukanlah hal yang baru dalam peradaban umat manusia. Sepanjang sejarah banyak didapati tragedi yang merendahkan, menindas, bahkan merebut kemerdekaan kaum perempuan sebagai manusia. Kini wacana mengenai kesetaraan gender dan gerakan feminis telah merebak ke berbagai penjuru dunia. Namun sayangnya, hal tersebut belumlah cukup untuk mengatasi berbagai persoalan yang menghimpit kaum perempuan.

Realita ini tampaknya juga masih enggan menjauh dari negeri ini. Bertahun-tahun telah berlalu semenjak emansipasi perempuan yang dipelopori R.AKartini lahir. Namun, kesejahteraan perempuan masih belum tercapai secara signifikan. Ironi ini tentu tak akan terjadi apabila bangsa ini menyadari peran perempuan sebagai salah satu aset bangsa yang tak akan tergantikan.

Dalam kaitannya dengan persoalan kepemimpinan, bisa dikatakan bahwa perempuan memiliki dua peran. Pertama, sebagai seorang individu perempuan mana pun memiliki hak untuk memegang tampuk kepemimpinan. Perempuan berhak tampil di muka umum dan mengaktualisasikan diri di bidang apa pun yang ia minati. Bahkan, hal ini harus senantiasa dipacu guna menghilangkan adanya ketimpangan peranan gender di kancah publik.

Bahkan, sebuah negara belum bisa dikatakan maju apabila keterlibatan kaum perempuan di dalamnya masih sangat minim. Terutama sosok pemimpin perempuan yang keberadaanya hanya segelintir saja. Tak heran, apabila belakangan ini wacana untuk memperlebar kesempatan kaum perempuan untuk berkiprah di berbagai bidang kian terbuka lebar. Salah satunya adalah adanya kesempatan kuota 30 persen bagi kaum perempuan untuk menduduki kursi parlemen.
Banyak Persoalan


Kedua, perempuan dalam hal ini seorang ibu memiliki andil yang cukup besar untuk membidani lahirnya sosok pemimpin. Didikan seorang ibu sejak usia dini memiliki pengaruh yang signifikan bagi masa depan anaknya. sosok ibu lah yang mula-mula menanamkan karakter, nilai-nilai moral, maupun berbagai pengetahuan kepada seorang anak.

Begitu pula dengan perkembangan anak di tahap selanjutnya, seorang ibu tak dapat lepas tangan begitu saja. Meskipun anak mulai mempelajari banyak hal dari dunia luar, akan tetapi peran seorang ibu masih diperlukan untuk memantau perkembangan anak dan bahkan turut bertanggung jawab ketika anak melakukan perilaku yang menyimpang.

Lalu, sudah siapkah perempuan di negeri ini untuk melahirkan sosok-sosok pemimpin bangsa yang berkualitas? Sayangnya, masih banyak persoalan yang menjegal langkah perempuan Indonesia untuk bergerak maju. Ada sejuta permasalahan yang memberikan dampak signifikan, sehingga optimalisasi peran perempuan pun sulit tercapai.

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah masih rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan yang seara kualitas maupun kuantitas masih jauh diungguli kaum laki-laki. Telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa untuk melahirkan pendidik yang berkualitas harus melalui pendidikan yang berkualitas pula. Hanya perempuan yang terdidiklah yang mampu berperan sebagai seorang pendidik yang baik bagi keluarga, terkhusus bagi anak-anaknya. Ironisnya, masih banyak di antara kaum perempuan yang masih buta aksara.

Pada dasarnya, pendidikan adalah kebutuhan bagi setiap orang. oleh karena itu, perempuan yang memilih untuk hanya fokus menjadi ibu rumah tangga pun harus mendapat pendidikan sebaik mungkin. Sebab, pengetahuan yang dimilki seorang perempuan kelak akan menjadi modal sukses untuk mendidik anaknya. Selain itu, pendidikan yang berkualitas juga turut berperan dalam meningkatkan kedewasaan berpikir seseorang. Dengan kualitas-kualitas ini seorang ibu diharapkan dapat menentukan pilihan-pilihan terbaik bagi anaknya.

Tingkat Kelulusan Tinggi
Persoalan lain yang masih terus membelit kaum perempuan adalah masih tingginya tingkat kekerasan dan eksploitasi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah kian memperparah keadaan ini. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di bidang kesehatan.

Salah satunya dapat dilihat dari tingginya angka kematian Ibu (AKI) di Indonesia yang masih terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2012 menunjukkan AKI mencapai 359 (239-478) per 100 ribu kelahiran hidup. Jumlah ini meningkat dari hasil survei SDKI pada 2007, yakni 228 kematian (132-323) per 100 ribu kelahiran hidup.

Melihat kenyataan ini, tentu tidak ada jalan lain selain berupaya keras untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan. Berbagai permasalahan yang menimpa perempuan selama ini merupakan salah satu bukti ketidakberdayaan pemerintah. Padahal, sebagai pemangku kekuasaan pemerintah memiliki ruang gerak yang begitu luas dan berkesempatan untuk membuat kebijakan yang lebih adil bagi perempuan.

Untuk memperbaiki kondisi ini pemerintah dapat melakukan aksi afirmasi, terutama di bidang-bidang yang paling vital, seperti pendidikan, kesehatan dan hukum. Pemerintah juga harus sesegera mungkin menuntaskan berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan serta meningkatkan pengawasan agar kejadian yang sama tidak terulang. Di bidang hukum, pemerintah harus berperan aktif untuk mengembangkan dan menyempurnakan perangkat hukum untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, baik di tingkat daerah maupun pusat.

Dengan usaha sungguh-sungguh ini besar harapan bahwa kesejahteraan kaum perempuan bisa semakin meningkat. Dengan begitu, setiap perempuan dapat mengoptimalkan perannya untuk turut membangun negeri. Perlu diingat bahwa baik buruk masa depan kepemimpinan di negeri ini sangat bergantung pada baik buruk kualitas hidup perempuan.(34)

Defina Holistika, Ketua Kajian Keperempuanan Fakultas (KKF) di UIN Walisongo Semarang
Sumber: Epaper SM Edisi Jum’at, 6 Nopember 2015

No comments:

Post a Comment