Tuesday, 10 November 2015

Bergeser pada Manusia Altruistik

Oleh Agustinus Ariawan

SEBUTAN pahlawan kini mulai bergeser di kalangan generasi muda. Tak melulu merujuk kepada orang-orang yang berperan besar dalam kemerdekaan maupun pembangunan bangsa, mereka yang dekat dengan keseharian pun dipandang layak menyandang predikat tersebut.

Guru bagi Ratnanik Dwi Jayanti, mahasiswi FISIPUNS, merupakan salah satu pahlawan pada era terkini. ”Mereka rela berkorban dan mau membagikan ilmu kepada sesama, dalam hal ini para murid,” tutur anggota kelompok paduan suara Voca Erudita ini.

Anggi Widyastuti pun berpendapat senada. Menurut Sekretaris Umum LPM Pabelan UMS ini, pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan hak orang lain, kendati perjuangan itu kerap dipandang sebelah mata oleh sebagian khalayak.

Pengorbanan, keikhlasan, kejujuran, serta tekad untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain, kini memang lebih diperhatikan kaum muda dalam melekatkan predikat pahlawan kepada seseorang. Orang biasa yang memberikan manfaat besar kepada khalayak pun lebih berarti, ketimbang pendahulu yang gugur dalam perang kemerdekaan.

”Jadi guru, petani, aktivis berjiwa sosial atau pemimpin yang mampu memberi solusi, juga bisa disebut pahlawan,” tegas Lutfi Al Hakim, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa IAIN Surakarta.

Pergeseran makna kepahlawanan ini di mata pengamat sosial Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono MSi, lumrah.

Tak heran saat ancaman dulunya berbentuk serangan militer, maka kepada mereka yang berkorban sampai matilah yang kemudian disematkan gelar pahlawan. ”Bahkan veteran yang masih hidup pun tidak disebut sebagai pahlawan. Tidak ada kan sebutan ‘veteran pahlawan’. Beda dari veteran yang meninggal, kemudian makamnya disebut makam pahlawan.”

Bagi Drajat, kini konsep tersebut perlu direvitalisasi. Apalagi konsep kepahlawanan sejak dulu cenderung lekat dengan kematian.

Konsep Kepahlawanan

”Konsep kepahlawanan itu berkait dengan ancaman. Jadi saat seseorang atau masyarakat menghadapi ancaman, kemudian ada orang lain yang mau berkorban dalam menghadapinya, apalagi sampai mati, maka orang itulah yang disebut pahlawan. Persoalannya, ancaman saat ini beda dengan zaman perjuangan kemerdekaan dulu,” kata peraih doktor Sosiologi Universitas Indonesia (UI) tersebut.

Saat ini ancaman yang nyata terjadi adalah ketimpangan sosial. ”Kalau seseorang menghadapi situasi timpang itu lantas dirampok, dihina, atau tidak bisa mengenyam pendidikan, lantas ada seseorang yang berperan mengatasinya, orang itulah yang kemudian dianggap sebagai pahlawan. Jadi kita harus mulai merevitalisasi konsep kepahlawanan,” tandasnya.

Sebaliknya, pemerintah belum melakukan perubahan konsep dasar kepahlawanan tersebut.

”Dalam sosiologi, ada konsep altruistik, yakni berani melakukan sesuatu, yang keuntungannya bukan untuk saya melainkan untuk kehidupan bersama. Nah, sebenarnya konsep pahlawan ya altruistik itu. Jadi pahlawan itu bagian dari masyarakat atau bagian dari teman saya, yang mau melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama. Sayang, konsepsi pengetahuan kan dipengaruhi oleh politik. Tergantung si pemegang kuasa mau memberikan penghargaan kepada apa.

Namun, sambung Drajat, berbeda halnya jika penghargaan itu diberikan kepada siapa saja yang berani berbuat baik, seperti Elanto Wijoyono yang menghebohkan dunia maya dengan aksi hadang motor gede (moge) di Yogyakarta, baru-baru ini. ”Ternyata tidak ada apresiasi yang cukup terhadap dia, sehingga tidak masuk kategori pahlawan.”


Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 6

No comments:

Post a Comment