Oleh Agustinus Ariawan
SEBUTAN pahlawan kini mulai bergeser di kalangan generasi
muda. Tak melulu merujuk kepada orang-orang yang berperan besar dalam
kemerdekaan maupun pembangunan bangsa, mereka yang dekat dengan keseharian pun
dipandang layak menyandang predikat tersebut.
Guru bagi Ratnanik Dwi Jayanti, mahasiswi FISIPUNS, merupakan
salah satu pahlawan pada era terkini. ”Mereka rela berkorban dan mau membagikan
ilmu kepada sesama, dalam hal ini para murid,” tutur anggota kelompok paduan
suara Voca Erudita ini.
Anggi Widyastuti pun berpendapat senada. Menurut Sekretaris
Umum LPM Pabelan UMS ini, pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan hak orang
lain, kendati perjuangan itu kerap dipandang sebelah mata oleh sebagian
khalayak.
Pengorbanan, keikhlasan, kejujuran, serta tekad untuk
memberikan yang terbaik bagi orang lain, kini memang lebih diperhatikan kaum
muda dalam melekatkan predikat pahlawan kepada seseorang. Orang biasa yang
memberikan manfaat besar kepada khalayak pun lebih berarti, ketimbang pendahulu
yang gugur dalam perang kemerdekaan.
”Jadi guru, petani, aktivis berjiwa sosial atau pemimpin yang
mampu memberi solusi, juga bisa disebut pahlawan,” tegas Lutfi Al Hakim, Ketua
Dewan Perwakilan Mahasiswa IAIN Surakarta.
Pergeseran makna kepahlawanan ini di mata pengamat sosial
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono MSi, lumrah.
Tak heran saat ancaman dulunya berbentuk serangan militer,
maka kepada mereka yang berkorban sampai matilah yang kemudian disematkan gelar
pahlawan. ”Bahkan veteran yang masih hidup pun tidak disebut sebagai pahlawan.
Tidak ada kan sebutan ‘veteran pahlawan’. Beda dari veteran yang meninggal,
kemudian makamnya disebut makam pahlawan.”
Bagi Drajat, kini konsep tersebut perlu direvitalisasi.
Apalagi konsep kepahlawanan sejak dulu cenderung lekat dengan kematian.
”Konsep kepahlawanan itu berkait dengan ancaman. Jadi saat
seseorang atau masyarakat menghadapi ancaman, kemudian ada orang lain yang mau
berkorban dalam menghadapinya, apalagi sampai mati, maka orang itulah yang
disebut pahlawan. Persoalannya, ancaman saat ini beda dengan zaman perjuangan
kemerdekaan dulu,” kata peraih doktor Sosiologi Universitas Indonesia (UI)
tersebut.
Saat ini ancaman yang nyata terjadi adalah ketimpangan
sosial. ”Kalau seseorang menghadapi situasi timpang itu lantas dirampok,
dihina, atau tidak bisa mengenyam pendidikan, lantas ada seseorang yang
berperan mengatasinya, orang itulah yang kemudian dianggap sebagai pahlawan.
Jadi kita harus mulai merevitalisasi konsep kepahlawanan,” tandasnya.
Sebaliknya, pemerintah belum melakukan perubahan konsep dasar
kepahlawanan tersebut.
”Dalam sosiologi, ada konsep altruistik, yakni berani
melakukan sesuatu, yang keuntungannya bukan untuk saya melainkan untuk
kehidupan bersama. Nah, sebenarnya konsep pahlawan ya altruistik itu. Jadi
pahlawan itu bagian dari masyarakat atau bagian dari teman saya, yang mau
melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama. Sayang, konsepsi pengetahuan kan
dipengaruhi oleh politik. Tergantung si pemegang kuasa mau memberikan
penghargaan kepada apa.
Namun, sambung Drajat, berbeda halnya jika penghargaan itu
diberikan kepada siapa saja yang berani berbuat baik, seperti Elanto Wijoyono
yang menghebohkan dunia maya dengan aksi hadang motor gede (moge) di
Yogyakarta, baru-baru ini. ”Ternyata tidak ada apresiasi yang cukup terhadap
dia, sehingga tidak masuk kategori pahlawan.”
Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 6
No comments:
Post a Comment