Wednesday, 11 November 2015

Re-endemi Hepatitis C Nosokomial

Oleh F Suryadjaja

Kasus endemi HCV akut pada salah satu rumah sakit (hepatitis C nosokomial, atau tertular), di Singapura sontak menganggetkan dunia kesehatan. Hingga 22 September 2015, terdeteksi 22 pasien HCV genotipe 1b. Dikaitkan dengan penggunaan vial obat injeksi berulang pada prosedur hemodialisis.
Kejadian luar biasa tersebut ditindaklanjuti pada 8 Oktober 2015 dengan melakukan pemeriksaan uji saring untuk virus Hepatitis C (HCV) pada 678 pasien yang pernah dirawat di rumah sakit tersebut antara Januari hingga Juni 2015. Juga 273 tenaga kesehatan. Hasil sementara 255 dari 325 pasien yang diuji saring memberikan hasil negatif terhadap infeksi virus Hepatitis C.

Dengan demikian, endemi penyakit infeksi nosokomial HCVhal yang perlu diwaspadi di rumah sakit dan di tengah penduduk dunia. Tahun 2000, di Amerika Serikat dilakukan survei pada pusat hemodialisis terhadap kemungkinan kehadiran infeksi HCV. Hasilnya, sebesar 1,7 persen staf yang bertugas di unit hemodialisis positif terhadap antibodi anti-HCV. Begitu pula, positif pada 8,4 persen pasien yang pernah menjalani prosedur hemodialisis.

Dengan manajemen uji saring (screening) yang rutin dan perhatian lebih tinggi pada upaya pencegahan penularan (termasuk cuci tangan bagi petugas medis), prevalensi infeksi HCV di rumah sakit sudah jauh menurun.

Hepatitis adalah infeksi virus yang menyerang hati dan bisa menyebabkan penyakit akut dan kronis. Penyakit ini biasa disebut sebagai epidemi bisu karena kerusakan akibat penyakit ini seringkali diabaikan. WHO mencatat bahwa hepatitis adalah penyebab kematian ketujuh terbesar. Organisasi ini memperkirakan 240 juta orang terinfeksi kronis hepatitis B dan hingga 150 juta orang terinfeksi virus hepatitis C. Bersama-sama, hepatitis B dan C adalah penyebab 1,5 juta kematian setiap tahunnya.

Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau cairan tubuh. Sebagian besar infeksi terjadi dari ibu ke anak. Prevalensi Hepatitis B tertinggi ada di Afrika Sub-Sahara dan Asia Timur.

Virus hepatitis C adalah virus yang menyerang darah, yang biasanya ditularkan melalui suntikan obat. Direktur Departemen Layanan Pengiriman dan Keamanan WHO, Edward Kelley mengatakan, mencegah penggunaan jarum suntik yang tidak aman adalah kunci untuk menghapus epidemi ini.

”Suntikan yang tidak aman adalah penyebab 32 persen infeksi hepatitis B, sekitar 40 persen hepatitis C. Prosedur medis paling sering dilakukan saat ini di dunia adalah suntikan, 16 miliar setiap tahun dan tingkat suntikan tidak aman dari jumlah itu, kami perkirakan sekitar 40 persen,” ujarnya.

WHO melakukan kampanye untuk mengurangi suntikan tidak aman dengan mendorong penggunaan jarum suntik streil yang khusus digunakan untuk sekali pakai.

Lemah

Kemampuan merubah genom (quasispesies), menyebabkan perjalanan klinis infeksi HCVakut begitu bervariasi.

Sekitar 25-35 persen pasien HCV akut merasakan tubuh terasa lemah, terjadi selera makan yang menurun dan badan menguning. Sementara, antibodi anti-HCVbisa terdeteksi pada pasien dengan gejala penyakit Hepatitis C dalam 2 minggu baru bisa terlihat 80 persen, dan pada 3 bulan setelah terinfeksi HCVterlihat 90 persen.

Hingga kini, penularan virus Hepatitis C masih diyakini lewat cairan darah atau cairan tubuh. Dengan demikian, transmisi dari satu individu ke idividu lain lewat darah transfusi, peralatan medis hemodialisis. Penularan lewat cairan tubuh saat hubungan intim dengan penderita hepatitis C, atau lewat alat suntik yang tidak sekali pakai pada penggunaan narkoba suntik.

Infeksi HCV merupakan penyakit yang sangat mudah menular. Meskipun penularan virus Hepatitis C telah diketahui dan telah dilakukan upaya pencegahannya, namun kasus masih terjadi. Kondisi ini mengingatkan pada abad ke-20 yang mana endemi Hepatitis C dijumpai di berbagai kawasan. Di Amerika Serikat, insidensi hepatitis C akut menurun tajam selama dekade akhir abad ke-20, meskipun prevalensi kasus tetap tinggi.

HCV karier merupakan tantangan pelik bagi ahli epidemiologi penyakit menular akibat mikroorganisme pathogen HCV. Sebagian besar kasus infeksi HCV bersifat asimtomatis (suatu penyakit namun pasien tidak menyadari gejala apapun), dalam aliran darah penderita terdapat kadar partikel virus hepatitis yang tinggi dan berpotensi untuk menular kepada individu lain.

Penderita demikian disebut memiliki ”karier”, seseorang yang masih terinfeksi virus Hepatitis C akut namun tidak terlihat dan tidak bergejala, namun dapat menularkan ke orang lain. Terjadi juga infeksi virus hepatitis C kronis, di mana gejala klinis tidak spesifik ke arah infeksi kronis Hepatitis virus C, sehingga acapkali diagnosis infeksi HCVterlewatkan.

Pada Agustus 2012, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat merekomendasikan untuk identifikasi penyakit Hepatitis C kronis pada penduduk yang lahir antara tahun 1945 hingga 1965 yang kini berusia sekitar 50-70 tahun. Dari jumlah yang terkumpul, 808.600 orang diantaranya positif Hepatitis C kronis walau asimtomatis, tetap potensial untuk menular.

Penyakit Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis bisa menjadi penyebab infeksi virus Hepatitis C, antara lain lewat prosedur hemodialisis. Pasalnya, hemodialisis memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular HCV. Pada pemeriksaan serologis, memang ditemukan prevalensi antibodi anti-HCV lebih tinggi pada pasien hemodialisis dibanding populasi yang sehat.

Di Amerika Serikat antibodi positif terhadap HCV sekitar 5-10 persen pasien hemodialisis. Tetapi, hasil pemeriksaan antibodi anti-HCV pada pasien hemodialisis tidak dapat membedakan pasien dengan infeksi HCV akut atau kronis. Karenanya, pemeriksaan serologis antibodi harus dikonfimasi dengan uji RNA HCV pada sampel darah pasien hemodialisis.

Pada pasien hemodialisis ketika dilakukan pemeriksaan bisa terjadi positif palsu pada polymerase chain reaction (PCR), lantaran kehadiran obat heparin dalam sirkulasi darah. Karena itu, sampel darah untuk pemeriksaan PCR harus diambil sebelum pasien menjalani hemodialisis.

Secara rasional, pasien hemodialisis berisiko tinggi terjadi penularan penyakit lewat cairan darah. Lantaran lamanya kontak cairan darah dengan peralatan hemodialisis yang terkontaminasi virus HCV. Di berbagai tempat di dunia, prevalensi infeksi HCV bervariasi dari 5 hingga 60 persen pasien hemodialisis. Selain itu, prevalensi infeksi HCV dipengaruhi oleh faktor usia, sehubungan lanjut usia cenderung imunokompromi atau imunitas tubuh lemah, sehingga HCV lebih leluasa untuk berkembang biak.

Pasien hemodialisis tidak hanya memiliki kemungkinan untuk tertular HCV, tetapi juga HBV dan HIV. Sehingga koinfeksi ini dapat mempengaruhi kemungkinan infeksi HCV berlanjut ke arah sirosis hati dan karsinoma hepatoselular, serta peningkatan angka kematian dari kasus infeksi HCV . Sebaliknya, angka eradikasi infeksi HCV dengan obat antiviral lebih tinggi pada pasien hemodialisis ketimbang pasien dengan ginjal normal. Sebab, kadar obat antiviral cenderung lebih tinggi kadarnya akibat efek kumulatif tatkala rendahnya ekskresi obat antivirus pada pasien disfungsi ginjal.

Infeksi HCV dapat terjadi pada individu dengan penyakit ginjal kronis atau gagal ginjal. Dengan menjalani terapi hemodialisis dapat merupakan imunosupresan (penekan) bagi produksi antibodi anti-HCV, sehingga memberikan hasil negatif palsu pada kasus infeksi virus HCV yang menjalani terapi hemodialisis untuk penyakit gagal ginjal kronis. Padahal sebelum menjalani hemodialisis, antibodi anti-HCV masih positif. Karena itu, hasil pemeriksaan RNA HCV lebih bernilai ketimbang pemeriksaan serologis antibodi anti-HCV pada pasien infeksi HCV yang menjalani hemodialisis, sehingga status karier dapat diminimalisasi.

F Suryadjaja adalah dokter pada Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali.

Sumber : Epapar SM Edisi Rabu, 11 November 2015 Hal 23

No comments:

Post a Comment