Oleh F Suryadjaja
Kasus endemi HCV akut pada salah satu rumah sakit (hepatitis
C nosokomial, atau tertular), di Singapura sontak menganggetkan dunia
kesehatan. Hingga 22 September 2015, terdeteksi 22 pasien HCV genotipe 1b.
Dikaitkan dengan penggunaan vial obat injeksi berulang pada prosedur
hemodialisis.
Kejadian luar biasa tersebut ditindaklanjuti pada 8 Oktober
2015 dengan melakukan pemeriksaan uji saring untuk virus Hepatitis C (HCV) pada
678 pasien yang pernah dirawat di rumah sakit tersebut antara Januari hingga
Juni 2015. Juga 273 tenaga kesehatan. Hasil sementara 255 dari 325 pasien yang
diuji saring memberikan hasil negatif terhadap infeksi virus Hepatitis C.
Dengan demikian, endemi penyakit infeksi nosokomial HCVhal
yang perlu diwaspadi di rumah sakit dan di tengah penduduk dunia. Tahun 2000,
di Amerika Serikat dilakukan survei pada pusat hemodialisis terhadap
kemungkinan kehadiran infeksi HCV. Hasilnya, sebesar 1,7 persen staf yang
bertugas di unit hemodialisis positif terhadap antibodi anti-HCV. Begitu pula,
positif pada 8,4 persen pasien yang pernah menjalani prosedur hemodialisis.
Dengan manajemen uji saring (screening) yang rutin dan
perhatian lebih tinggi pada upaya pencegahan penularan (termasuk cuci tangan
bagi petugas medis), prevalensi infeksi HCV di rumah sakit sudah jauh menurun.
Hepatitis adalah infeksi virus yang menyerang hati dan bisa
menyebabkan penyakit akut dan kronis. Penyakit ini biasa disebut sebagai
epidemi bisu karena kerusakan akibat penyakit ini seringkali diabaikan. WHO
mencatat bahwa hepatitis adalah penyebab kematian ketujuh terbesar. Organisasi
ini memperkirakan 240 juta orang terinfeksi kronis hepatitis B dan hingga 150
juta orang terinfeksi virus hepatitis C. Bersama-sama, hepatitis B dan C adalah
penyebab 1,5 juta kematian setiap tahunnya.
Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau cairan tubuh.
Sebagian besar infeksi terjadi dari ibu ke anak. Prevalensi Hepatitis B
tertinggi ada di Afrika Sub-Sahara dan Asia Timur.
Virus hepatitis C adalah virus yang menyerang darah, yang
biasanya ditularkan melalui suntikan obat. Direktur Departemen Layanan
Pengiriman dan Keamanan WHO, Edward Kelley mengatakan, mencegah penggunaan
jarum suntik yang tidak aman adalah kunci untuk menghapus epidemi ini.
”Suntikan yang tidak aman adalah penyebab 32 persen infeksi
hepatitis B, sekitar 40 persen hepatitis C. Prosedur medis paling sering
dilakukan saat ini di dunia adalah suntikan, 16 miliar setiap tahun dan tingkat
suntikan tidak aman dari jumlah itu, kami perkirakan sekitar 40 persen,”
ujarnya.
WHO melakukan kampanye untuk mengurangi suntikan tidak aman
dengan mendorong penggunaan jarum suntik streil yang khusus digunakan untuk
sekali pakai.
Lemah
Kemampuan merubah genom (quasispesies), menyebabkan
perjalanan klinis infeksi HCVakut begitu bervariasi.
Sekitar 25-35 persen pasien HCV akut merasakan tubuh terasa
lemah, terjadi selera makan yang menurun dan badan menguning. Sementara,
antibodi anti-HCVbisa terdeteksi pada pasien dengan gejala penyakit Hepatitis C
dalam 2 minggu baru bisa terlihat 80 persen, dan pada 3 bulan setelah
terinfeksi HCVterlihat 90 persen.
Hingga kini, penularan virus Hepatitis C masih diyakini lewat
cairan darah atau cairan tubuh. Dengan demikian, transmisi dari satu individu
ke idividu lain lewat darah transfusi, peralatan medis hemodialisis. Penularan
lewat cairan tubuh saat hubungan intim dengan penderita hepatitis C, atau lewat
alat suntik yang tidak sekali pakai pada penggunaan narkoba suntik.
Infeksi HCV merupakan penyakit yang sangat mudah menular.
Meskipun penularan virus Hepatitis C telah diketahui dan telah dilakukan upaya
pencegahannya, namun kasus masih terjadi. Kondisi ini mengingatkan pada abad
ke-20 yang mana endemi Hepatitis C dijumpai di berbagai kawasan. Di Amerika
Serikat, insidensi hepatitis C akut menurun tajam selama dekade akhir abad
ke-20, meskipun prevalensi kasus tetap tinggi.
HCV karier merupakan tantangan pelik bagi ahli epidemiologi
penyakit menular akibat mikroorganisme pathogen HCV. Sebagian besar kasus
infeksi HCV bersifat asimtomatis (suatu penyakit namun pasien tidak menyadari
gejala apapun), dalam aliran darah penderita terdapat kadar partikel virus
hepatitis yang tinggi dan berpotensi untuk menular kepada individu lain.
Penderita demikian disebut memiliki ”karier”, seseorang yang
masih terinfeksi virus Hepatitis C akut namun tidak terlihat dan tidak
bergejala, namun dapat menularkan ke orang lain. Terjadi juga infeksi virus
hepatitis C kronis, di mana gejala klinis tidak spesifik ke arah infeksi kronis
Hepatitis virus C, sehingga acapkali diagnosis infeksi HCVterlewatkan.
Pada Agustus 2012, Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) Amerika Serikat merekomendasikan untuk identifikasi penyakit Hepatitis C
kronis pada penduduk yang lahir antara tahun 1945 hingga 1965 yang kini berusia
sekitar 50-70 tahun. Dari jumlah yang terkumpul, 808.600 orang diantaranya
positif Hepatitis C kronis walau asimtomatis, tetap potensial untuk menular.
Penyakit Ginjal Kronis
Gagal ginjal kronis bisa menjadi penyebab infeksi virus
Hepatitis C, antara lain lewat prosedur hemodialisis. Pasalnya, hemodialisis
memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular HCV. Pada pemeriksaan serologis,
memang ditemukan prevalensi antibodi anti-HCV lebih tinggi pada pasien
hemodialisis dibanding populasi yang sehat.
Di Amerika Serikat antibodi positif terhadap HCV sekitar 5-10
persen pasien hemodialisis. Tetapi, hasil pemeriksaan antibodi anti-HCV pada
pasien hemodialisis tidak dapat membedakan pasien dengan infeksi HCV akut atau
kronis. Karenanya, pemeriksaan serologis antibodi harus dikonfimasi dengan uji
RNA HCV pada sampel darah pasien hemodialisis.
Pada pasien hemodialisis ketika dilakukan pemeriksaan bisa
terjadi positif palsu pada polymerase chain reaction (PCR), lantaran kehadiran
obat heparin dalam sirkulasi darah. Karena itu, sampel darah untuk pemeriksaan
PCR harus diambil sebelum pasien menjalani hemodialisis.
Secara rasional, pasien hemodialisis berisiko tinggi terjadi
penularan penyakit lewat cairan darah. Lantaran lamanya kontak cairan darah
dengan peralatan hemodialisis yang terkontaminasi virus HCV. Di berbagai tempat
di dunia, prevalensi infeksi HCV bervariasi dari 5 hingga 60 persen pasien
hemodialisis. Selain itu, prevalensi infeksi HCV dipengaruhi oleh faktor usia,
sehubungan lanjut usia cenderung imunokompromi atau imunitas tubuh lemah,
sehingga HCV lebih leluasa untuk berkembang biak.
Pasien hemodialisis tidak hanya memiliki kemungkinan untuk
tertular HCV, tetapi juga HBV dan HIV. Sehingga koinfeksi ini dapat
mempengaruhi kemungkinan infeksi HCV berlanjut ke arah sirosis hati dan
karsinoma hepatoselular, serta peningkatan angka kematian dari kasus infeksi
HCV . Sebaliknya, angka eradikasi infeksi HCV dengan obat antiviral lebih
tinggi pada pasien hemodialisis ketimbang pasien dengan ginjal normal. Sebab,
kadar obat antiviral cenderung lebih tinggi kadarnya akibat efek kumulatif
tatkala rendahnya ekskresi obat antivirus pada pasien disfungsi ginjal.
Infeksi HCV dapat terjadi pada individu dengan penyakit
ginjal kronis atau gagal ginjal. Dengan menjalani terapi hemodialisis dapat
merupakan imunosupresan (penekan) bagi produksi antibodi anti-HCV, sehingga
memberikan hasil negatif palsu pada kasus infeksi virus HCV yang menjalani
terapi hemodialisis untuk penyakit gagal ginjal kronis. Padahal sebelum
menjalani hemodialisis, antibodi anti-HCV masih positif. Karena itu, hasil
pemeriksaan RNA HCV lebih bernilai ketimbang pemeriksaan serologis antibodi
anti-HCV pada pasien infeksi HCV yang menjalani hemodialisis, sehingga status
karier dapat diminimalisasi.
F Suryadjaja adalah dokter pada Dinas Kesehatan Kabupaten
Boyolali.
Sumber : Epapar SM Edisi Rabu, 11 November 2015 Hal 23
No comments:
Post a Comment