Tuesday 10 November 2015

Pilkada Tanpa Konstitusi

Oleh Muhammad Junaidi

SALAH satu persoalan yang tidak banyak dicermati dalam pilkada secara serentak pada 9 Desember mendatang adalah penyelesaian sengketa pilkada. Dalam tradisi, selama ini Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam penyelesaian sengketa pilkada.

Namun kedudukan hukum tersebut tidak berlaku lagi setelah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa MK tidak berwenang menangani sengketa hasil pilkada. Kewenangan MK hanya menangani sengketa pemilu sesuai amanat UUD 1945, yaitu dalam Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.

Setelah keluarnya putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, pemerintah menerbitkan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang salah satunya mengatur penyelesaian sengketa pilkada yang diadili oleh lembaga peradilan khusus. Dalam UU itu ditegaskan bahwa sebelum terbentuknya lembaga peradilan khusus yang menangani sengketa pilkada, penyelesaian sengketa pilkada untuk sementara ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.

Jelas sekali, dalam hal ini, kewenangan MK berdasarkan UU Nomor 8/2015 tersebut bertolak belakang dengan UUD 1945. Jika kemudian terjadi pertentangan, berdasarkan prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengacu pada UU Nomor 12/2011, aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UUD dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah (lex superior derogt legi inferior).

MK tidak kehilangan akal untuk menyetujui kewenangan yang telah diberikan oleh UU Nomor 8/2015. Dalam putusan MK Nomor 26/PUUVII/2009, MK telah merumuskan kriteria pilihan kebijakan yang tidak dapat dibatalkan, yaitu bila kebijakan yang diambil (i) tidak melampaui kewenangan pembentuk UU, (ii) tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta (iii) tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada sesuai amanat UU Nomor 8/2015 untuk sementara waktu, sebelum dibentuknya lembaga peradilan khusus. Itu sah untuk dijalankan.

Meskipun dalam hal ini kedudukan hukum (legal standing) antara UU Nomor 8/2015 dan UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) telah ditengahi oleh putusan MK Nomor 26/PUU-VII/2009, tetap saja kedudukan MK dalam menjalankan kewenangan menyelesaikan sengketa pilkada tidak didukung 100 persen nilainilai konstitusi. Kondisi ini akan memungkinkan terjadi abuse of power (penyalahgunaan kewenangan) dalam sudut pandang nilai keberlakuan konstitusi.

Jalan Terbaik

Jika MK sudah berkomitmen dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terdapat beberapa prasyarat mutlak yang idealnya harus dibenahi oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kesiapan. Pertama, secara kelembagaan, MK harus melakukan pembenahan dalam model penyelesaian sengketa pilkada.

Pembenahan dalam proses penanganan sengketa pilkada oleh MK merujuk pada putusan MK Nomor 26/PUUVII/2009 agar kewenangan yang dijalankan oleh MK tidak melampaui kewenangan pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, MK perlu secepatnya merumuskan kode etik yang nantinya dapat dijadikan dasar oleh hakim MK dalam menjalankan kewenangan menyelesaikan sengketa pilkada. Ketiga, baik pembuatan model penyelesaian sengketa maupun perumusan kode etik tersebut harus dibuat secara transparan dan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya.

Beberapa masukan tersebut diharapkan dapat membangun MK yang sementara ini diberi kewenangan menangani sengketa pilkada sebelum terbentuknya lembaga peradilan khusus. Di lain pihak, perubahan dan penyesuaian yang dilakukan oleh MK dalam menangani sengketa pilkada dapat menjadi rujukan bagi terbentuknya badan peradilan khusus secara profesional.

Muhammad Junaidi, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Semarang


Sumber : Epaper SM edisi Senin, 9 November 2015 Hal 4

No comments:

Post a Comment