Oleh Muhammad Junaidi
SALAH satu persoalan yang tidak banyak dicermati dalam
pilkada secara serentak pada 9 Desember mendatang adalah penyelesaian sengketa
pilkada. Dalam tradisi, selama ini Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam penyelesaian sengketa pilkada.
Namun kedudukan hukum tersebut tidak berlaku lagi setelah
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa MK
tidak berwenang menangani sengketa hasil pilkada. Kewenangan MK hanya menangani
sengketa pemilu sesuai amanat UUD 1945, yaitu dalam Pasal 24C ayat (1) yang
menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.
Setelah keluarnya putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, pemerintah
menerbitkan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
yang salah satunya mengatur penyelesaian sengketa pilkada yang diadili oleh
lembaga peradilan khusus. Dalam UU itu ditegaskan bahwa sebelum terbentuknya
lembaga peradilan khusus yang menangani sengketa pilkada, penyelesaian sengketa
pilkada untuk sementara ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Jelas sekali, dalam hal ini, kewenangan MK berdasarkan UU
Nomor 8/2015 tersebut bertolak belakang dengan UUD 1945. Jika kemudian terjadi
pertentangan, berdasarkan prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan yang
mengacu pada UU Nomor 12/2011, aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UUD dapat
mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah (lex superior derogt legi
inferior).
MK tidak kehilangan akal untuk menyetujui kewenangan yang
telah diberikan oleh UU Nomor 8/2015. Dalam putusan MK Nomor 26/PUUVII/2009, MK
telah merumuskan kriteria pilihan kebijakan yang tidak dapat dibatalkan, yaitu
bila kebijakan yang diambil (i) tidak melampaui kewenangan pembentuk UU, (ii)
tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta (iii) tidak nyata-nyata
bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kewenangan MK dalam
menyelesaikan sengketa pilkada sesuai amanat UU Nomor 8/2015 untuk sementara
waktu, sebelum dibentuknya lembaga peradilan khusus. Itu sah untuk dijalankan.
Meskipun dalam hal ini kedudukan hukum (legal standing)
antara UU Nomor 8/2015 dan UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) telah ditengahi oleh
putusan MK Nomor 26/PUU-VII/2009, tetap saja kedudukan MK dalam menjalankan
kewenangan menyelesaikan sengketa pilkada tidak didukung 100 persen nilainilai
konstitusi. Kondisi ini akan memungkinkan terjadi abuse of power (penyalahgunaan
kewenangan) dalam sudut pandang nilai keberlakuan konstitusi.
Jalan Terbaik
Jika MK sudah berkomitmen dalam menyelesaikan sengketa
pilkada, terdapat beberapa prasyarat mutlak yang idealnya harus dibenahi oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kesiapan. Pertama, secara kelembagaan, MK
harus melakukan pembenahan dalam model penyelesaian sengketa pilkada.
Pembenahan dalam proses penanganan sengketa pilkada oleh MK
merujuk pada putusan MK Nomor 26/PUUVII/2009 agar kewenangan yang dijalankan
oleh MK tidak melampaui kewenangan pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan
kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Kedua, MK perlu secepatnya merumuskan kode etik yang nantinya
dapat dijadikan dasar oleh hakim MK dalam menjalankan kewenangan menyelesaikan
sengketa pilkada. Ketiga, baik pembuatan model penyelesaian sengketa maupun
perumusan kode etik tersebut harus dibuat secara transparan dan melibatkan
pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya.
Beberapa masukan tersebut diharapkan dapat membangun MK yang
sementara ini diberi kewenangan menangani sengketa pilkada sebelum terbentuknya
lembaga peradilan khusus. Di lain pihak, perubahan dan penyesuaian yang
dilakukan oleh MK dalam menangani sengketa pilkada dapat menjadi rujukan bagi
terbentuknya badan peradilan khusus secara profesional.
Muhammad Junaidi, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Semarang
Sumber : Epaper SM edisi Senin, 9 November 2015 Hal 4
No comments:
Post a Comment