Tuesday, 10 November 2015

Pahlawan

Oleh Mudjahirin Thohir

ADAratusan bahkan ribuan orang tergerak mata hatinya untuk memahami dan menyikapi ketidakadilan yang berlangsung dan diberlangsungkan oleh kaum kolonial. Mereka, penjajah itu, jumawa lantaran punya senjata adiguna. Namun kejumawaan itu mereka pakai untuk menistakan hak hidup warga bangsa lain sambil mengeruk sumber daya alamnya. Mereka memaksa dan melakukan sistem kerja paksa pada anak negeri yang terjajah.

Pemahaman dan penyikapan sejumlah orang itu dilanjutkan dengan tindakan: mengusir sekalipun hanya bersenjata batu kerikil dan bambu runcing. Untuk meneguhkan iman dan semangat berjuang, mereka mengategorikan kaum penjajah sebagai kaum kafir. Mengusir penjajah yang dikategorikan sebagai orang-orang kafir, menurut konstruksi agama, menjadi wajib hukumnya. Fardlu ’ain menurut bahasa santri. Apa dasar hujjah(nalar)-nya? Di antaranya, hubbul wathon minal iman.

Mencintai Ibu Pertiwi bagian dari keimanan kepada Tuhan. Jadi semboyan isy kariman au mut syahidan(hidup mulia atau gugur sebagai syuhada) pun tergelorakan. Tak ada lagi kata menyerah, apalagi kalah. Persenjataan berupa dan serupa batu kerikil dan bambu runcing disertai doa menjadi kekuatan luar biasa. Tidak ada ketakutan sedikit pun, karena andaikan gugur, tidak ada balasan setimpal kecuali tinggal di sisi Tuhan dalam surga-Nya.

Itulah heroisme yang menjadi cikal bakal sikap nasionalisme. Berjuang dimotivasi oleh nilai substansial keagamaan. Berjuang demi rasa harga diri untuk membela Ibu Pertiwi, kendati harus menebus dengan nyawa. Jika nyawa mereka pertaruhkan, tentu mereka sudah tidak butuh penghargaan atau penghargaan terhadap jasa karena sudah disebut sebagai orang-orang berjasa.

Kalau kita menyebut mereka pahlawan, sepenuhnya adalah kepentingan kita untuk menghormati jasa mereka. Mereka layak mendapat penghormatan karena telah lebih dahulu berjuang untuk kehormatan bangsanya. Kemerdekaan. Itulah berkah tiada tara bagi anak-cucu di kemudian hari.

Karena itu, penghormatan terbaik kepada para pahlawan bukan semata-mata berupa tanda jasa yang disematkan saat upacara. Namun justru bagaimana kita meneruskan nilai-nilai substansialnya: nasionalisme. Itulah azimat sekaligus maklumat bagi para ahli waris. Pertanyaannya kemudian, apakah kita mengaku sebagai anak-cucu dan ahli waris para pahlawan atau justru anak-cucu atau ahli waris para pengkhianat bangsa. Itulah pertanyaan yang perlu dijawab dengan kejujuran. Bukan kepura-puraan.

***

NAMUN apa yang terjadi dewasa ini? Banyak pihak mendengungkan jiwa-jiwa kepahlawanan, tetapi pandangan, sikap, dan tindakan mereka berbalut dan dibaluti hanya oleh nilai-nilai instrumental bercorak kebendaan.

Mereka bekerja dan mau mengerjakan demi uang. Wani pira atau aku entuk pira, dengan tanpa malu diajukan di depan. Orangorang yang berwatak demikian, lebih sibuk menyiasati isian kuitansi agar tidak dikenai sangsi daripada berpikir soal kemanfaatan di balik pekerjaan yang dijalankan.

Nilai-nilai instrumental seperti itu telah menggejala di banyak kalangan. Di kalangan perkantoran, misalnya, masih ada pejabat yang hanya berorientasi pada sisi regulasi dan administrasi daripada kontribusi. Apa yang direncanakan dan dikerjakan tahun ini cukup copy pastetahun lalu dengan sedikit perubahan redaksional. Jika dikritik, mereka menjawab balik, "Jangan sok jadi pahlawan." Orangorang sedemikian itu memang sama sekali bukan pahlawan dan jauh dari sosok kepahlawanan.

Di kalangan tokoh masyarakat masih ada yang mengambil manfaat dari keawaman umat. Agama pun lantas dijadikan semacam pigura. Dipasang di dinding untuk diamati, tidak untuk dijalani. Kecenderungannya lebih memilih melahirkan seribu "prajurit" daripada melahirkan seorang calon perwira. Prajurit yang taat dan patuh kepada apa yang dikatakan, kendatipun berlawanan dengan dalil yang dikumandangkan dengan lantang.

Ketika sedang melatih kader, misalnya, menyaringkan ungkapan, "Idza wusidal amru bighoiri ahliha, fantadziril sa'ah." Namun ketika yang bersangkutan berhajatan, nasib dalil itu seperti getar iklan: nyaris tak terdengar. Lantas, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari peringatan Hari Pahlawan? Yang penting kita lakukan adalah melepaskan helm di kepala, biar orang lain melihat wajah kita yang sebenarnya: kita sedang berbuat apa dengan cara dan motivasi apa. Yang penting kita lakukan adalah melepaskan topeng karena tidak sedang bermain sandiwara. Itulah bekal awal jika kita ingin berbincang memperbaiki negeri ini ke depan.


Sumber : Epaper SM edisi Minggu, 8 November 2015 Hal 6

No comments:

Post a Comment