Oleh Mudjahirin Thohir
ADAratusan bahkan ribuan orang tergerak mata hatinya untuk
memahami dan menyikapi ketidakadilan yang berlangsung dan diberlangsungkan oleh
kaum kolonial. Mereka, penjajah itu, jumawa lantaran punya senjata adiguna.
Namun kejumawaan itu mereka pakai untuk menistakan hak hidup warga bangsa lain
sambil mengeruk sumber daya alamnya. Mereka memaksa dan melakukan sistem kerja
paksa pada anak negeri yang terjajah.
Pemahaman dan penyikapan sejumlah orang itu dilanjutkan
dengan tindakan: mengusir sekalipun hanya bersenjata batu kerikil dan bambu
runcing. Untuk meneguhkan iman dan semangat berjuang, mereka mengategorikan
kaum penjajah sebagai kaum kafir. Mengusir penjajah yang dikategorikan sebagai
orang-orang kafir, menurut konstruksi agama, menjadi wajib hukumnya. Fardlu
’ain menurut bahasa santri. Apa dasar hujjah(nalar)-nya? Di antaranya, hubbul
wathon minal iman.
Mencintai Ibu Pertiwi bagian dari keimanan kepada Tuhan. Jadi
semboyan isy kariman au mut syahidan(hidup mulia atau gugur sebagai syuhada) pun
tergelorakan. Tak ada lagi kata menyerah, apalagi kalah. Persenjataan berupa
dan serupa batu kerikil dan bambu runcing disertai doa menjadi kekuatan luar
biasa. Tidak ada ketakutan sedikit pun, karena andaikan gugur, tidak ada
balasan setimpal kecuali tinggal di sisi Tuhan dalam surga-Nya.
Itulah heroisme yang menjadi cikal bakal sikap nasionalisme.
Berjuang dimotivasi oleh nilai substansial keagamaan. Berjuang demi rasa harga
diri untuk membela Ibu Pertiwi, kendati harus menebus dengan nyawa. Jika nyawa
mereka pertaruhkan, tentu mereka sudah tidak butuh penghargaan atau penghargaan
terhadap jasa karena sudah disebut sebagai orang-orang berjasa.
Kalau kita menyebut mereka pahlawan, sepenuhnya adalah
kepentingan kita untuk menghormati jasa mereka. Mereka layak mendapat
penghormatan karena telah lebih dahulu berjuang untuk kehormatan bangsanya.
Kemerdekaan. Itulah berkah tiada tara bagi anak-cucu di kemudian hari.
Karena itu, penghormatan terbaik kepada para pahlawan bukan
semata-mata berupa tanda jasa yang disematkan saat upacara. Namun justru
bagaimana kita meneruskan nilai-nilai substansialnya: nasionalisme. Itulah azimat
sekaligus maklumat bagi para ahli waris. Pertanyaannya kemudian, apakah kita mengaku
sebagai anak-cucu dan ahli waris para pahlawan atau justru anak-cucu atau ahli waris
para pengkhianat bangsa. Itulah pertanyaan yang perlu dijawab dengan kejujuran.
Bukan kepura-puraan.
***
NAMUN apa yang terjadi dewasa ini? Banyak pihak mendengungkan
jiwa-jiwa kepahlawanan, tetapi pandangan, sikap, dan tindakan mereka berbalut
dan dibaluti hanya oleh nilai-nilai instrumental bercorak kebendaan.
Mereka bekerja dan mau mengerjakan demi uang. Wani pira atau
aku entuk pira, dengan tanpa malu diajukan di depan. Orangorang yang berwatak
demikian, lebih sibuk menyiasati isian kuitansi agar tidak dikenai sangsi
daripada berpikir soal kemanfaatan di balik pekerjaan yang dijalankan.
Nilai-nilai instrumental seperti itu
telah menggejala di banyak kalangan. Di kalangan perkantoran, misalnya, masih
ada pejabat yang hanya berorientasi pada sisi regulasi dan administrasi
daripada kontribusi. Apa yang direncanakan dan dikerjakan tahun ini cukup copy
pastetahun lalu dengan sedikit perubahan redaksional. Jika dikritik, mereka
menjawab balik, "Jangan sok jadi pahlawan." Orangorang sedemikian itu
memang sama sekali bukan pahlawan dan jauh dari sosok kepahlawanan.
Di kalangan tokoh masyarakat masih ada yang mengambil manfaat
dari keawaman umat. Agama pun lantas dijadikan semacam pigura. Dipasang di
dinding untuk diamati, tidak untuk dijalani. Kecenderungannya lebih memilih
melahirkan seribu "prajurit" daripada melahirkan seorang calon
perwira. Prajurit yang taat dan patuh kepada apa yang dikatakan, kendatipun
berlawanan dengan dalil yang dikumandangkan dengan lantang.
Ketika sedang melatih kader, misalnya, menyaringkan ungkapan,
"Idza wusidal amru bighoiri ahliha, fantadziril sa'ah." Namun ketika yang
bersangkutan berhajatan, nasib dalil itu seperti getar iklan: nyaris tak
terdengar. Lantas, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari peringatan Hari
Pahlawan? Yang penting kita lakukan adalah melepaskan helm di kepala, biar
orang lain melihat wajah kita yang sebenarnya: kita sedang berbuat apa dengan cara
dan motivasi apa. Yang penting kita lakukan adalah melepaskan topeng karena tidak
sedang bermain sandiwara. Itulah bekal awal jika kita ingin berbincang
memperbaiki negeri ini ke depan.
Sumber : Epaper SM edisi Minggu, 8 November 2015 Hal 6
No comments:
Post a Comment