Oleh Hari Santoso
Kini, televisi kita diserbu film-film dari Turki, setelah sebelumnya
”demam” film Korea dan India. Gejala ini merupakan pengulangan, yang sudah
berlangsung sejak lama ketika dulu telenovela dari negeri-negeri Latin menyeruak
di layar kaca kita. Apa yang jadi pertimbangan dan apa implikasinya bagi
perkembangan dunia sinema kita? Berikut perbincangan dengan Dr Agus Maladi
Irianto MA dari Fakultas Ilmu Budaya Undip.
Apa setahu Anda yang jadi pertimbangan stasiun televisi
menyajikan sinema Turki?
Ya, salah satunya pasti perolehan menaikkan rating pemirsa.
Makin banyak khalayak penonton tentu menambah pemasukan iklan. Pemilihan materi
juga tak mungkin dipisahkan dari upaya dan hasart meraup keuntungan. Dalam
bingkai semacam itu, penyiaran tak lepas dari keberadaan industri.
Bagaimana sambutan atau respons khalayak yang Anda lihat?
Penonton di negeri ini memang sulit memilih. Apalagi menghadapi
persoalan ketika mendapat suguhan tak berbayar. Mereka akhirnya seperti
menerima begitu saja tayangan yang ada. Kalau sudah seperti itu, materi
tersebut dinilai seakanakan mendapat respons.
Apa tolok ukur keberterimaan itu? Rating-kah? Jejalan iklankah?
Argumentasi bahwa saat pemirsa tak memindah tayangan televisi
selama 10 menit ke kanal lain dianggap tayangan itu menarik. Namun benarkah seperti
itu? Benarkah drama semacam itu benar-benar menghibur khalayak? Kalau kemudian
itu dijadikan dasar lembaga pemeringkat untuk menentukan keabsahan suatu tayangan,
bisa jadi pertanyaan tersebut telah terjawab. Namun saya jelas tak melihat
seperti itu.
Bagaimana mutu sinemasinema itu?
Tergantung pada sudut penglihatan kita. Bisa muncul kesan
negatif, tetapi juga dapat berbau positif. Ketika materi siaran menyuguhkan
penayangan yang menjurus pemujaan terhadap materialisme, itu yang saya anggap
membawa problematika.
Fakta itu sedemikian tercermin melalui berbagai serial drama
yang berkesan meninabobokkan. Vila mewah, mobil mahal, atau bahkan artis
pemeran yang bening-bening, misalnya. Kemudian juga alur cerita yang terkadang
dibuat tak masuk akal.
Apa yang membuat tayangan itu diterima atau ditolak?
Saya pikir itu juga karena alasan terpaan media. Bilamana televisi
selalu memberikan sajian ala mainstream(arus utama) penuh keseragaman, bagaimana
penonton menolak? Seperti sudah saya utarakan, khalayak sulit memilih tontonan yang
memberikan tuntunan. Sampai kapan kecenderungan untuk menayangkan sinema dari
berbagai negeri itu? Tergantung pada bangsa ini sendiri. Atau juga tergantung pada
political will pemodal, pemilik, dan pemrogram televisi. Sudahkah kita semua merasa
cukup dijejali tontonan seperti itu? Selebihnya, apakah seluruh pemangku
kepentingan, termasuk yang juga berwenang mengawasi materi siaran, melihat hal
itu sudah bagus? Kalau belum, bagaimana semua pihak itu peduli dan memberikan masukan
serta aksi nyata mencari format siaran televisi yang mengedukasi.
Apakah ini sebagai gejala latah atau semata-mata berorientasi
keuntungan?
Kalau melihat tren tayangan yang ada, muaranya memang bagaimana
mendapat laba. Jamaknya suatu stasiun televisi sukses menayangkan suatu mata acara,
pasti akan diikuti program serupa di saluran lain. Memang harus ada alternatif
tayangan di luar pengarusutamaan serial yang telah muncul.
Apa implikasi dan pengaruhnya bagi dunia sinematek kita?
Implikasinya tentu besar. Yang saya khawatirkan, industri kreatif
di negeri ini mengekor. Mereka bisa jadi makin terjebak untuk memproduksi
tayangan serupa. Mobil mewah, vila mahal, atau eksploitasi gender yang sedikit
dibumbui intrik.
Bagaimana perbandingan penggarapan sinema Turki dan sinetron
kita?
Saya pikir sineas Indonesia tak kalah hebat. Meski Turki sebenarnya
juga bagian dari Eropa yang kemungkinan memiliki metode sinematografi cukup
modern. Malah sebenarnya sineas di Tanah Air lebih produktif menghasilkan
karya.
Apa keunggulan sinema Turki?
Secara kebetulan saja sinema dari negara Kemal Ataturkh itu
sekarang menyerbu Indonesia melalui saluran televisi. Hampir sebagian besar masyarakat
menonton. Namun, dalam pandangan saya, sepertinya tak lebih unggul dari sinema
Indonesia. Kita punya banyak sineas, sebut saja Garin Nugroho, Hanung
Bramantyo, Riri Reza, Mira Lesmana. Mereka tentu bisa membuat karya yang tak
kalah hebat.
Apakah kelemahannya secara filmis?
Materi yang disajikan belum memberikan alternatif. Tayangan
yang disajikan hanya menggali aspek kebendaan dalam kehidupan manusia. Kurang
memberikan pencerahan dan sekadar hiburan. Film dan sinetron sebagai wujud kesenian
dan kebudayaan tetap diperbolehkan memberi ruang untuk pendidikan masyarakat.
Apa tantangan dan problem yang harus diatasi sineas kita menghadapi
kecenderungan penghadiran sinema asing?
Jika kehadiran mereka hanya seperti ini, tak ada salahnya
pelaku seni perfilman dan peran memberikan suguhan lebih berbobot. Ciptakan
banyak produksi yang tak kalah bagus dari mereka. Film dan sinetron di
Indonesia pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada era 1970 hingga awal
1990. Waktu itu banyak bermunculan karya yang juga menyedot perhatian khalayak.
Namun diakui pengawasan terhadap materi cerita sangat ketat. Tak sesuai dengan
keinginan penguasa bakal kena sensor.
Apa sikap dan respons para pemangku kepentingan (artis, pembuat
sinema, produser, penonton, dan lain-lain) terhadap kemembanjiran sinema asing,
terutama Turki dan India?
Ciptakan ruang untuk sinetron dan perfilman nasional yang
lebih bisa memberikan alternatif. Bagaimana membuat banyak film dan serial
independen. Itu akan menjadi oase di tengah kegelisahan atas serbuan karya yang
hanya menawarkan konsep itu-itu saja. Saya dorong perusahaan besar bahkan bisa memberikan
tanggung jawab sosial mereka untuk
mengucurkan dana segar bagi sineas Indonesia. Mungkin dengan konsep seperti itu
produksi yang dimunculkan tak lagi terjebak tren arus utama.
Sumber : Epaper SM edisi Minggu, 8 November 2015 Hal 6
No comments:
Post a Comment