Tuesday 10 November 2015

Sineas di Tanah Air Tidak Kalah Hebat

Oleh Hari Santoso

Kini, televisi kita diserbu film-film dari Turki, setelah sebelumnya ”demam” film Korea dan India. Gejala ini merupakan pengulangan, yang sudah berlangsung sejak lama ketika dulu telenovela dari negeri-negeri Latin menyeruak di layar kaca kita. Apa yang jadi pertimbangan dan apa implikasinya bagi perkembangan dunia sinema kita? Berikut perbincangan dengan Dr Agus Maladi Irianto MA dari Fakultas Ilmu Budaya Undip.

Apa setahu Anda yang jadi pertimbangan stasiun televisi menyajikan sinema Turki?

Ya, salah satunya pasti perolehan menaikkan rating pemirsa. Makin banyak khalayak penonton tentu menambah pemasukan iklan. Pemilihan materi juga tak mungkin dipisahkan dari upaya dan hasart meraup keuntungan. Dalam bingkai semacam itu, penyiaran tak lepas dari keberadaan industri.

Bagaimana sambutan atau respons khalayak yang Anda lihat?

Penonton di negeri ini memang sulit memilih. Apalagi menghadapi persoalan ketika mendapat suguhan tak berbayar. Mereka akhirnya seperti menerima begitu saja tayangan yang ada. Kalau sudah seperti itu, materi tersebut dinilai seakanakan mendapat respons.

Apa tolok ukur keberterimaan itu? Rating-kah? Jejalan iklankah?

Argumentasi bahwa saat pemirsa tak memindah tayangan televisi selama 10 menit ke kanal lain dianggap tayangan itu menarik. Namun benarkah seperti itu? Benarkah drama semacam itu benar-benar menghibur khalayak? Kalau kemudian itu dijadikan dasar lembaga pemeringkat untuk menentukan keabsahan suatu tayangan, bisa jadi pertanyaan tersebut telah terjawab. Namun saya jelas tak melihat seperti itu.

Bagaimana mutu sinemasinema itu?

Tergantung pada sudut penglihatan kita. Bisa muncul kesan negatif, tetapi juga dapat berbau positif. Ketika materi siaran menyuguhkan penayangan yang menjurus pemujaan terhadap materialisme, itu yang saya anggap membawa problematika.

Fakta itu sedemikian tercermin melalui berbagai serial drama yang berkesan meninabobokkan. Vila mewah, mobil mahal, atau bahkan artis pemeran yang bening-bening, misalnya. Kemudian juga alur cerita yang terkadang dibuat tak masuk akal.

Apa yang membuat tayangan itu diterima atau ditolak?

Saya pikir itu juga karena alasan terpaan media. Bilamana televisi selalu memberikan sajian ala mainstream(arus utama) penuh keseragaman, bagaimana penonton menolak? Seperti sudah saya utarakan, khalayak sulit memilih tontonan yang memberikan tuntunan. Sampai kapan kecenderungan untuk menayangkan sinema dari berbagai negeri itu? Tergantung pada bangsa ini sendiri. Atau juga tergantung pada political will pemodal, pemilik, dan pemrogram televisi. Sudahkah kita semua merasa cukup dijejali tontonan seperti itu? Selebihnya, apakah seluruh pemangku kepentingan, termasuk yang juga berwenang mengawasi materi siaran, melihat hal itu sudah bagus? Kalau belum, bagaimana semua pihak itu peduli dan memberikan masukan serta aksi nyata mencari format siaran televisi yang mengedukasi.

Apakah ini sebagai gejala latah atau semata-mata berorientasi keuntungan?

Kalau melihat tren tayangan yang ada, muaranya memang bagaimana mendapat laba. Jamaknya suatu stasiun televisi sukses menayangkan suatu mata acara, pasti akan diikuti program serupa di saluran lain. Memang harus ada alternatif tayangan di luar pengarusutamaan serial yang telah muncul.

Apa implikasi dan pengaruhnya bagi dunia sinematek kita?

Implikasinya tentu besar. Yang saya khawatirkan, industri kreatif di negeri ini mengekor. Mereka bisa jadi makin terjebak untuk memproduksi tayangan serupa. Mobil mewah, vila mahal, atau eksploitasi gender yang sedikit dibumbui intrik.

Bagaimana perbandingan penggarapan sinema Turki dan sinetron kita?

Saya pikir sineas Indonesia tak kalah hebat. Meski Turki sebenarnya juga bagian dari Eropa yang kemungkinan memiliki metode sinematografi cukup modern. Malah sebenarnya sineas di Tanah Air lebih produktif menghasilkan karya.

Apa keunggulan sinema Turki?

Secara kebetulan saja sinema dari negara Kemal Ataturkh itu sekarang menyerbu Indonesia melalui saluran televisi. Hampir sebagian besar masyarakat menonton. Namun, dalam pandangan saya, sepertinya tak lebih unggul dari sinema Indonesia. Kita punya banyak sineas, sebut saja Garin Nugroho, Hanung Bramantyo, Riri Reza, Mira Lesmana. Mereka tentu bisa membuat karya yang tak kalah hebat.

Apakah kelemahannya secara filmis?

Materi yang disajikan belum memberikan alternatif. Tayangan yang disajikan hanya menggali aspek kebendaan dalam kehidupan manusia. Kurang memberikan pencerahan dan sekadar hiburan. Film dan sinetron sebagai wujud kesenian dan kebudayaan tetap diperbolehkan memberi ruang untuk pendidikan masyarakat.

Apa tantangan dan problem yang harus diatasi sineas kita menghadapi kecenderungan penghadiran sinema asing?

Jika kehadiran mereka hanya seperti ini, tak ada salahnya pelaku seni perfilman dan peran memberikan suguhan lebih berbobot. Ciptakan banyak produksi yang tak kalah bagus dari mereka. Film dan sinetron di Indonesia pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada era 1970 hingga awal 1990. Waktu itu banyak bermunculan karya yang juga menyedot perhatian khalayak. Namun diakui pengawasan terhadap materi cerita sangat ketat. Tak sesuai dengan keinginan penguasa bakal kena sensor.

Apa sikap dan respons para pemangku kepentingan (artis, pembuat sinema, produser, penonton, dan lain-lain) terhadap kemembanjiran sinema asing, terutama Turki dan India?

Ciptakan ruang untuk sinetron dan perfilman nasional yang lebih bisa memberikan alternatif. Bagaimana membuat banyak film dan serial independen. Itu akan menjadi oase di tengah kegelisahan atas serbuan karya yang hanya menawarkan konsep itu-itu saja. Saya dorong perusahaan besar bahkan bisa memberikan tanggung jawab  sosial mereka untuk mengucurkan dana segar bagi sineas Indonesia. Mungkin dengan konsep seperti itu produksi yang dimunculkan tak lagi terjebak tren arus utama.


Sumber : Epaper SM edisi Minggu, 8 November 2015 Hal 6

No comments:

Post a Comment