Oleh Herie Purwanto
MARKAS besar Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
mengungkapkan, dari hasil penelitian terungkap bahwa 80 persen anggota reserse
menderita stres. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Pol Anton
Charliyan di Jakarta, 2 November 2015, meminta kepada para pemimpin bagian
untuk lebih peduli terhadap anak buah di lapangan, mendengarkan keluhan dan
pemasalahan anggota. Pimpinan agar lebih open pada anak buah. Semua berkumpul
mengemukakan unek-unek. Selain itu, ia juga meminta Divisi Profesi (Propam) dan
dinas psikologis berupaya mempelajari hal tersebut dan melakukan langkah
antisipasi agar tidak muncul peristiwa polisi bunuh diri.
Hasil penelitian tersebut dalam konteks penegakan hukum tentu
sangat memprihatinkan. Mengapa? Logikanya adalah, bagaimana mungkin penegakan
hukum (yang diemban oleh anggota reserse) ternyata dilaksanakan oleh personel
(80%) yang mengalami stres? Bukankah dalam proses penegakan hukum, anggota
reserse dibekali secara fisik peralatan yang identik dengan kekerasan seperti
senjata api dan borgol? Sementara dari aspek yuridis, mereka diberi kewenangan
untuk melakukan serangkaian upaya paksa.
Upaya paksa yang dilakukan dimulai dari pemanggilan,
penangkapan, penyitaan, penggeledahan, penahanan hingga pemeriksaan terhadap
surat-surat. Bukankah kewenangan ini sangat bersentuhan dengan hak asasi
manusia? Potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) menjadi
semakin terbuka.
Kondisi ini diperkuat adanya penelitian internal Polri yang
menyebutkan bahwa hampir 70% klaim masyarakat atas pelayanan Polri ditujukan
kepada jajaran reserse. 70% ketidakpuasan masyarakat ini menyangkut proses
penyidikan yang masih kurang transparan, indikasi kekerasan, manipulasi
pasal-pasal hingga penyelesaian perkara dengan tendensi kompensasi.
Penulis mengalami sendiri, betapa berat menjadi reserse. Ia
harus penuh menyiagakan diri, karena sewaktu-waktu terjadi tindak pidana, yang
tidak mengenal waktu, entah pagi, siang, tengah malam. Atau pada saat hari
libur, hari sibuk atau hari perayaan nasional, harus dalam keadaan siap. Ia harus
datang sejak kejadian perkara hingga proses berikutnya sampai berkas perkara
tuntas dan dilimpahkan ke Penuntut Umum. Selama proses ini berjalan, ia harus
berpacu dengan waktu, jangan sampai masa penahanan habis. Belum satu perkara
tuntas, perkara lain sudah terjadi. Saling tumpuk menumpuk perkara.
Pada sisi lain, ketika berhadapan dengan pelaku kejahatan
dengan kekerasan, ia harus bisa menjaga diri agar tidak mendapat serangan
fisik. Sekali lengah, ia justru menjadi korban. Ketika salah prosedur dalam
penangkapan, reserse akan menanggung risiko pra peradilan, pemeriksaan internal
dari bidang Propam hingga bisa diajukan dalam sidang kode etik.
gga bisa diajukan dalam sidang kode etik. Ironisnya, kondisi
ini tidak didukung dengan manajemen dukungan dana yang memadai. Tata kelola dan
birokrasi pencairan anggaran, di hadapkan pada realitas kebutuhan pendukung
tugas, belum sejalan. Sehingga sering terjadi, anggaran baru bisa cair apabila
tugas sudah dilaksanakan dan berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa.
Bentuk pertanggungjawaban oleh para reserse ini, sangat membuka peluang anggota
di lapangan mencari uang di luar dinas untuk menutupi biaya operasional tadi.
Harus segera diambil langkah srategis guna mengembalikan
kondisi kejiwaan para anggota reserse. Salah satunya adalah dengan pola human
approach yaitu pendekatan oleh masing-masing level pimpinan, dengan memberikan
suport dan tidak melakukan tindakan kontraproduktif dengan membebani mereka
hal-hal yang tidak ada hubungan dengan kedinasan yang memerlukan extra cost.
Sangat membahayakan bagi proses penegakan hukum, bila
membiarkan awak-awaknya terus dilanda stres. (43)
Herie Purwanto, mantan Kasat Reskrim Polres Magelang Kota,
tugas baru di Bidang Humas Polda Jateng, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
No comments:
Post a Comment