Saturday 7 November 2015

Reserse Stres dan Penegakan Hukum

Oleh Herie Purwanto
MARKAS besar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengungkapkan, dari hasil penelitian terungkap bahwa 80 persen anggota reserse menderita stres. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charliyan di Jakarta, 2 November 2015, meminta kepada para pemimpin bagian untuk lebih peduli terhadap anak buah di lapangan, mendengarkan keluhan dan pemasalahan anggota. Pimpinan agar lebih open pada anak buah. Semua berkumpul mengemukakan unek-unek. Selain itu, ia juga meminta Divisi Profesi (Propam) dan dinas psikologis berupaya mempelajari hal tersebut dan melakukan langkah antisipasi agar tidak muncul peristiwa polisi bunuh diri.

Hasil penelitian tersebut dalam konteks penegakan hukum tentu sangat memprihatinkan. Mengapa? Logikanya adalah, bagaimana mungkin penegakan hukum (yang diemban oleh anggota reserse) ternyata dilaksanakan oleh personel (80%) yang mengalami stres? Bukankah dalam proses penegakan hukum, anggota reserse dibekali secara fisik peralatan yang identik dengan kekerasan seperti senjata api dan borgol? Sementara dari aspek yuridis, mereka diberi kewenangan untuk melakukan serangkaian upaya paksa.

Upaya paksa yang dilakukan dimulai dari pemanggilan, penangkapan, penyitaan, penggeledahan, penahanan hingga pemeriksaan terhadap surat-surat. Bukankah kewenangan ini sangat bersentuhan dengan hak asasi manusia? Potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) menjadi semakin terbuka.

Kondisi ini diperkuat adanya penelitian internal Polri yang menyebutkan bahwa hampir 70% klaim masyarakat atas pelayanan Polri ditujukan kepada jajaran reserse. 70% ketidakpuasan masyarakat ini menyangkut proses penyidikan yang masih kurang transparan, indikasi kekerasan, manipulasi pasal-pasal hingga penyelesaian perkara dengan tendensi kompensasi.

Penulis mengalami sendiri, betapa berat menjadi reserse. Ia harus penuh menyiagakan diri, karena sewaktu-waktu terjadi tindak pidana, yang tidak mengenal waktu, entah pagi, siang, tengah malam. Atau pada saat hari libur, hari sibuk atau hari perayaan nasional, harus dalam keadaan siap. Ia harus datang sejak kejadian perkara hingga proses berikutnya sampai berkas perkara tuntas dan dilimpahkan ke Penuntut Umum. Selama proses ini berjalan, ia harus berpacu dengan waktu, jangan sampai masa penahanan habis. Belum satu perkara tuntas, perkara lain sudah terjadi. Saling tumpuk menumpuk perkara.

Pada sisi lain, ketika berhadapan dengan pelaku kejahatan dengan kekerasan, ia harus bisa menjaga diri agar tidak mendapat serangan fisik. Sekali lengah, ia justru menjadi korban. Ketika salah prosedur dalam penangkapan, reserse akan menanggung risiko pra peradilan, pemeriksaan internal dari bidang Propam hingga bisa diajukan dalam sidang kode etik.

gga bisa diajukan dalam sidang kode etik. Ironisnya, kondisi ini tidak didukung dengan manajemen dukungan dana yang memadai. Tata kelola dan birokrasi pencairan anggaran, di hadapkan pada realitas kebutuhan pendukung tugas, belum sejalan. Sehingga sering terjadi, anggaran baru bisa cair apabila tugas sudah dilaksanakan dan berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa. Bentuk pertanggungjawaban oleh para reserse ini, sangat membuka peluang anggota di lapangan mencari uang di luar dinas untuk menutupi biaya operasional tadi.

Harus segera diambil langkah srategis guna mengembalikan kondisi kejiwaan para anggota reserse. Salah satunya adalah dengan pola human approach yaitu pendekatan oleh masing-masing level pimpinan, dengan memberikan suport dan tidak melakukan tindakan kontraproduktif dengan membebani mereka hal-hal yang tidak ada hubungan dengan kedinasan yang memerlukan extra cost.

Sangat membahayakan bagi proses penegakan hukum, bila membiarkan awak-awaknya terus dilanda stres. (43)


Herie Purwanto, mantan Kasat Reskrim Polres Magelang Kota, tugas baru di Bidang Humas Polda Jateng, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.

No comments:

Post a Comment