Tuesday 10 November 2015

Apakah Kita Masih Butuh Pahlawan

Oleh Triyanto Triwikromo

SIAPAKAH pahlawan? Penyair Goenawan Mohamad punya jawaban yang mungkin bagi banyak orang terdengar aneh. ”Saya tidak mengharapkan pahlawan. Orang tidak selalu baik, benar, berani. Tetapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biapun sebentar.”

Siapa yang pernah berbuat baik, benar, dan berani? Mari kita lihat Bung Tomo, Bung Karno, dan Munir. Sutomo jelas sudah ditetapkan sebagai pahlawan oleh negara, Sukarno hanya disebut sebagai proklamator, sedangkan Munir paling banter baru menjadi nama jalan di Belanda.

Bung Tomo, pendiri Radio Pemberontakan, sekalipun tidak berada di Surabaya pada 10 November yang menggetarkan, tidak seorang pun yang mengatakan dia sebagai pemuda yang penakut, menyimpang dari gairah perjuangan, dan melakukan tindakan-tindakan busuk. Dia berpidato membakar semangat rakyat. Dia berjuang tidak mengejar daulat keratuan atau sekadar jadi pemimpin sebuah rezim. Sebelum wafat, ia bahkan berpesan agar tidak dimakamkan di taman makam pahlawan. Dia dalam salah satu pidato bilang, ”...pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari, insya Allah, pasti akan menikmati segala hasil perjuangan kita.”

Dan Sutomo? Sutomo memang berjuang untuk orang lain. Meskipun diberi jabatan penting oleh Sukarno, antara lain Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang 1945, dia sendiri pada 1978 ditahan di Nirbaya, Kramat Jati, Jakarta, oleh pemerintahan Soeharto. Yang juga tragis, dia juga berkonflik dengan Sukarno. Karena itu di mata orang lain, Bung Tomo juga tak sepenuhnya bisa disebut sebagai ”baik, berani, benar”. Akan tetapi dia telah pernah berindak ”baik, berani, benar” meski sebentar.

Sukarno juga tokoh yang tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai hero. Dia bahkan pernah dikritik oleh Bung Tomo karena menikahi Hartini. Dia disingkirkan oleh pemerintah Soeharto dan peran-peran kepahlawanannya dikuburkan dengan berbagai cara.

Siapa pun tahu tanpa Sukarno bisa jadi negeri ini tidak akan merdeka pada 17 Agustus 1945. Itu karena Sukarno, meskipun dipenjara, berani menggalang persatuan untuk melawan penjajah Belanda maupun Jepang, bertindak benar pada saat negeri ini membutuhkan sang penyuara kemerdekaan, dan menjadi tokoh yang baik di antara tokoh-tokoh pengkhianat pada zamannya. Hanya, sekali lagi, tidak sepenuhnya Sukarno hidup dalam kriteria-kriteria kepahlawanan. Dalam ukuran Goenawan Mohamad, dia juga hanya melakukan tindakan yang ”baik, benar, berani” sebentar.

Mari kita lihat tokoh lain. Namanya Munir. Dia telah berjuang melawan tindakan-tindakan negara yang ”militeristik” dan menggelorakan penghormatan kepada hak asasi manusia. Dalam ukuran waktu keberanian, kebenaran, dan kebaikan Munir hanya berlangsung sebentar. Hanya sesaat, tetapi penuh manfaat. Terbukti sekalipun di negara sendiri belum mendapatkan penghormatan yang agung, Belanda telah memberi penghargaan besar. Ada Munir straat di salah satu sudut Den Haag. Ada nilai-nilai kepahlawanan yang dicoba dihargai.

Sekarang muncul pertanyaan: apa yang kita perlukan untuk menjadi pahlawan masa kini? Kriterianya tetap sama: berani, baik, benar. Akan tetapi yang kita lawan berubah. Kita melawan para koruptor. Kita melawan orang-orang yang tak jujur. Kita melawan orang-orang yang hendak menjadikan Indonesia sebagai negeri keok. Kita harus melakukan tindakan-tindakan agung itu meski tidak harus sepanjang kehidupan.


Persoalannya sekarang: apakah kita masih butuh pahlawan? Goenawan tak mengharapkan, tetapi dia mengagumi tindakan kepahlawanan Kita? Semoga masih membutuhkan.

No comments:

Post a Comment