Oleh Triyanto Triwikromo
SIAPAKAH pahlawan? Penyair Goenawan Mohamad punya jawaban
yang mungkin bagi banyak orang terdengar aneh. ”Saya tidak mengharapkan
pahlawan. Orang tidak selalu baik, benar, berani. Tetapi saya mengagumi
tindakan yang baik, benar, berani, biapun sebentar.”
Siapa yang pernah berbuat baik, benar, dan berani? Mari kita
lihat Bung Tomo, Bung Karno, dan Munir. Sutomo jelas sudah ditetapkan sebagai
pahlawan oleh negara, Sukarno hanya disebut sebagai proklamator, sedangkan
Munir paling banter baru menjadi nama jalan di Belanda.
Bung Tomo, pendiri Radio Pemberontakan, sekalipun tidak
berada di Surabaya pada 10 November yang menggetarkan, tidak seorang pun yang
mengatakan dia sebagai pemuda yang penakut, menyimpang dari gairah perjuangan,
dan melakukan tindakan-tindakan busuk. Dia berpidato membakar semangat rakyat.
Dia berjuang tidak mengejar daulat keratuan atau sekadar jadi pemimpin sebuah
rezim. Sebelum wafat, ia bahkan berpesan agar tidak dimakamkan di taman makam
pahlawan. Dia dalam salah satu pidato bilang, ”...pengorbanan kita ini tidak
akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari,
insya Allah, pasti akan menikmati segala hasil perjuangan kita.”
Dan Sutomo? Sutomo memang berjuang untuk orang lain. Meskipun
diberi jabatan penting oleh Sukarno, antara lain Menteri Negara Urusan Bekas
Pejuang 1945, dia sendiri pada 1978 ditahan di Nirbaya, Kramat Jati, Jakarta,
oleh pemerintahan Soeharto. Yang juga tragis, dia juga berkonflik dengan
Sukarno. Karena itu di mata orang lain, Bung Tomo juga tak sepenuhnya bisa
disebut sebagai ”baik, berani, benar”. Akan tetapi dia telah pernah berindak
”baik, berani, benar” meski sebentar.
Sukarno juga tokoh yang tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai
hero. Dia bahkan pernah dikritik oleh Bung Tomo karena menikahi Hartini. Dia
disingkirkan oleh pemerintah Soeharto dan peran-peran kepahlawanannya
dikuburkan dengan berbagai cara.
Siapa pun tahu tanpa Sukarno bisa jadi negeri ini tidak akan
merdeka pada 17 Agustus 1945. Itu karena Sukarno, meskipun dipenjara, berani
menggalang persatuan untuk melawan penjajah Belanda maupun Jepang, bertindak
benar pada saat negeri ini membutuhkan sang penyuara kemerdekaan, dan menjadi
tokoh yang baik di antara tokoh-tokoh pengkhianat pada zamannya. Hanya, sekali
lagi, tidak sepenuhnya Sukarno hidup dalam kriteria-kriteria kepahlawanan.
Dalam ukuran Goenawan Mohamad, dia juga hanya melakukan tindakan yang ”baik,
benar, berani” sebentar.
Mari kita lihat tokoh lain. Namanya Munir. Dia telah berjuang
melawan tindakan-tindakan negara yang ”militeristik” dan menggelorakan penghormatan
kepada hak asasi manusia. Dalam ukuran waktu keberanian, kebenaran, dan
kebaikan Munir hanya berlangsung sebentar. Hanya sesaat, tetapi penuh manfaat.
Terbukti sekalipun di negara sendiri belum mendapatkan penghormatan yang agung,
Belanda telah memberi penghargaan besar. Ada Munir straat di salah satu sudut
Den Haag. Ada nilai-nilai kepahlawanan yang dicoba dihargai.
Sekarang muncul pertanyaan: apa yang kita perlukan untuk
menjadi pahlawan masa kini? Kriterianya tetap sama: berani, baik, benar. Akan
tetapi yang kita lawan berubah. Kita melawan para koruptor. Kita melawan
orang-orang yang tak jujur. Kita melawan orang-orang yang hendak menjadikan
Indonesia sebagai negeri keok. Kita harus melakukan tindakan-tindakan agung itu
meski tidak harus sepanjang kehidupan.
Persoalannya sekarang: apakah kita masih butuh pahlawan?
Goenawan tak mengharapkan, tetapi dia mengagumi tindakan kepahlawanan Kita?
Semoga masih membutuhkan.
No comments:
Post a Comment