Oleh Surahmat
KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) mengeluarkan surat
edaran berisi petunjuk penanganan ujaran kebencian (hate speech). Melalui surat
yang berlaku bagi internal ini, Polri sekaligus memberi peringatan kepada
publik agar tidak mengumbar ujaran kebencian di mana pun. Mengumbar pendapat,
jika mengandung unsur kebencian, dapat dipidanakan.
Mengingat momentum kemunculan surat edaran ini berdekatan
dengan perbincangan tentang rekayasa foto presiden, secara ilokutif surat
edaran itu memiliki dua makna. Pertama, dari aspek legal, Kapolri menilai bahwa
ujaran kebencian merupakan fenomena sosial yang harus ditangani secara serius
karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Kedua, dari aspek politik,
Kapolri sedang menunjukkan loyalitas kepada pemerintah dan presiden.
Sayang, aturan ini tidak disertai penjelasan yang memuaskan
untuk memahami secara ontologis dua hal yang diatur, yakni ujaran dan
kebencian. Ini mengakibatkan aturan ini potensial menjadi alat politik yang
digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Bahkan, surat edaran ini bisa
menjadi alat legitimasi bagi penguasa untuk melindungi legitimasi politiknya.
Kontekstual dan Personal Melalui aturan ini polisi
mengasumsikan bahwa kata dan kebencian adalah objek yang eksis secara positif.
Dengan asumsi itu polisi memperkirakan bahwa menganalisis makna dan kebencian
dapat dilakukan dengan mudah. Padahal, sebagai sebuah lambang, kata merupakan
objek yang absurd. Bentuk, makna, dan fungsi kata tidak dapat dengan mudah
ditelaah karena hidup dalam semesta simbol, semesta konteks, dan semesta
persepsi.
Dalam Meaning of Meaning, misalnya, Ogden dan Richard (1923)
berpendapat, kata bukanlah objek otonom. Sebagai simbol, kata hanya dapat eksis
jika berelasi membentuk segitiga makna dengan konsep (thought) dan referensi
(reference). Hubungan segitiga ini bisa menjadi rumit karena konsep adalah
objek yang tak empiris, hanya eksis dalam pikiran manusia.
Adapun referensi sebuah kata sangat bergantung pada
pengalaman penutur bahasa. Pada praktiknya, penggunaan kata senantiasa
mengalami penyimpangan karena penutur bahasa adalah pribadi kreatif. Mereka
selalu berupaya menemukan bentuk-bentuk ungkapan baru yang sama sekali berbeda
dengan aturan yang ada.
Dalam penggunaan ironi, misalnya, makna kontekstual kata
justru bisa bertolak belakang dari makna leksikalnya. Sebuah pujian dapat
disampaikan dengan kasar, tetapi sebaliknya: penghinaan bisa disampaikan dengan
santun dan positif. Kata juga objek yang bergerak secara dinamis dalam ruang
sosial. Makna kata tidak pernah ajeg meskipun telah dijaga makna leksikalnya
melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Makna kata akan terus berubah
seiring pengalaman dan perkembangan intelektual masyarakat.
Pada saat yang sama, makna kata bisa sangat berbeda pada satu
komunitas dengan komunitas lain. Konotasi atau nilai rasa kata berubah dengan
sangat cair. Kerumitan demikian akan semakin bertambah karena makna kata selalu
dipengaruhi konteks. Kata selalu lahir dari rahim situasi yang unik dan
spesifik. Makna kata hanya dapat dipahami dengan sempurna pada saat kata itu
dihasilkan, yakni ketika elemen-elemen konteks berfungsi membentuk makna.
Rekonstruksi kata berpotensi menghilangkan sebagian makna.
Dalam analisis Hymes (1974) konteks berkaitan dengan situasi, relasi antara
penutur dengan mitra tutur, tujuan, sarana yang digunakan, juga maksud. Kata
‘’taek’’ di Semarang, bisa jadi merupakan umpatan yang sangat kasar. Jika
ditujukan kepada penutur di luar komunitas, kata ‘’taek’’ bisa bermakna
penghinaan bahwa orang bersangkutan seperti kotoran. Namun jika digunakan dalam
internal komunitas, ungkapan itu hanya ungkapan kekecewaan biasa. Pada
komunitas anak muda, kata ini bahkan kerap digunakan sebagai penanda keakraban,
sebuah ekspresi sayang. Dengan demikian, respon seseorang atas sebuah kata
sangat personal.
Kata yang sama dan diproduksi pada saat yang sama dapat
direspons berbeda oleh dua mitra tutur yang memiliki latar belakang dan
pengalaman berbeda. Seseorang bisa menanggapinya sebagai pujian dan mereponnya
secara positif, orang lain bisa menanggapinya sebagai penghinaan dan
meresponnya dengan negatif. Pada konteks ini, kebencian bukanlah objek empiris
yang layak dimasukkan dalam terminologi hukum. Sebagaimana perasaan lain,
kebencian hanyalah respon psikologis yang muncul sebagai ekses intepretasi
individu terhadap realitas di sekitarnya.
Kebencian tidak semata-mata diakibatkan oleh keberadaan
stimulus, melainkan oleh cara seseorang merespons situasi. Dibandingkan dengan
faktor ekspresif, kebencian lebih sering muncul akibat proses pragmatik
(pencerapan, pemahaman, dan intepretasi). Dari aspek lain, bukan pekerjaan
mudah bagi penyidik untuk mengategorikan kebencian dengan perasaan negatif
lain. Sebab, manusia dapat merasakan ribuan jenis perasaan negatif. Namun untuk
melambangkan variasi perasaan tersebut tidak tersedia cukup kata. Akibatnya,
penutur bahasa Indonesia cenderung mensimplifikasi dengan menggunakan lambang
bahasa seadanya, sesuai perbendaharaan kosakata mereka.
Dalam bahasa Jawa, perasaan semacam ’’benci’’ bisa
diungkapkan dengan variasi ungkap sengit, gething, jeleh, dan anyel. Meskipun
memiliki kedekatan makna, keempat kata tersebut bereferensi pada kondisi yang
berbeda. Dalam bahasa Inggris, perasaan benci juga dapat dilambangkan dengan
hate, dislike, dan aversion. Meskipun secara leksikal merujuk pada makna yang
sama, secara aktual ketiganya merupakan perasaan yang berbeda. Kerumitan
hubungan kata dan kebencian ini mestinya dipertimbangkan polisi dan pemerintah.
Surat edaran atau bahkan undang-undang sekalipun tidak bisa
mengatur kata dan kebencian dengan paripurna. Terlebih, secara instingtif
manusia terlatih untuk menyukai yang baik dan membenci yang buruk. Aturan yang
ketat tidak akan menghilangkan kebencian masyarakat pada objek atau situasi
yang buruk, termasuk misalnya pemerintah yang wanprestasi. (43)
Surahmat, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
No comments:
Post a Comment