Saturday, 7 November 2015

Menalar Aturan Ujaran Kebencian

Oleh Surahmat
KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) mengeluarkan surat edaran berisi petunjuk penanganan ujaran kebencian (hate speech). Melalui surat yang berlaku bagi internal ini, Polri sekaligus memberi peringatan kepada publik agar tidak mengumbar ujaran kebencian di mana pun. Mengumbar pendapat, jika mengandung unsur kebencian, dapat dipidanakan.
Mengingat momentum kemunculan surat edaran ini berdekatan dengan perbincangan tentang rekayasa foto presiden, secara ilokutif surat edaran itu memiliki dua makna. Pertama, dari aspek legal, Kapolri menilai bahwa ujaran kebencian merupakan fenomena sosial yang harus ditangani secara serius karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Kedua, dari aspek politik, Kapolri sedang menunjukkan loyalitas kepada pemerintah dan presiden.
Sayang, aturan ini tidak disertai penjelasan yang memuaskan untuk memahami secara ontologis dua hal yang diatur, yakni ujaran dan kebencian. Ini mengakibatkan aturan ini potensial menjadi alat politik yang digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Bahkan, surat edaran ini bisa menjadi alat legitimasi bagi penguasa untuk melindungi legitimasi politiknya.
Kontekstual dan Personal Melalui aturan ini polisi mengasumsikan bahwa kata dan kebencian adalah objek yang eksis secara positif. Dengan asumsi itu polisi memperkirakan bahwa menganalisis makna dan kebencian dapat dilakukan dengan mudah. Padahal, sebagai sebuah lambang, kata merupakan objek yang absurd. Bentuk, makna, dan fungsi kata tidak dapat dengan mudah ditelaah karena hidup dalam semesta simbol, semesta konteks, dan semesta persepsi.
Dalam Meaning of Meaning, misalnya, Ogden dan Richard (1923) berpendapat, kata bukanlah objek otonom. Sebagai simbol, kata hanya dapat eksis jika berelasi membentuk segitiga makna dengan konsep (thought) dan referensi (reference). Hubungan segitiga ini bisa menjadi rumit karena konsep adalah objek yang tak empiris, hanya eksis dalam pikiran manusia.
Adapun referensi sebuah kata sangat bergantung pada pengalaman penutur bahasa. Pada praktiknya, penggunaan kata senantiasa mengalami penyimpangan karena penutur bahasa adalah pribadi kreatif. Mereka selalu berupaya menemukan bentuk-bentuk ungkapan baru yang sama sekali berbeda dengan aturan yang ada.
Dalam penggunaan ironi, misalnya, makna kontekstual kata justru bisa bertolak belakang dari makna leksikalnya. Sebuah pujian dapat disampaikan dengan kasar, tetapi sebaliknya: penghinaan bisa disampaikan dengan santun dan positif. Kata juga objek yang bergerak secara dinamis dalam ruang sosial. Makna kata tidak pernah ajeg meskipun telah dijaga makna leksikalnya melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Makna kata akan terus berubah seiring pengalaman dan perkembangan intelektual masyarakat.
Pada saat yang sama, makna kata bisa sangat berbeda pada satu komunitas dengan komunitas lain. Konotasi atau nilai rasa kata berubah dengan sangat cair. Kerumitan demikian akan semakin bertambah karena makna kata selalu dipengaruhi konteks. Kata selalu lahir dari rahim situasi yang unik dan spesifik. Makna kata hanya dapat dipahami dengan sempurna pada saat kata itu dihasilkan, yakni ketika elemen-elemen konteks berfungsi membentuk makna.
Rekonstruksi kata berpotensi menghilangkan sebagian makna. Dalam analisis Hymes (1974) konteks berkaitan dengan situasi, relasi antara penutur dengan mitra tutur, tujuan, sarana yang digunakan, juga maksud. Kata ‘’taek’’ di Semarang, bisa jadi merupakan umpatan yang sangat kasar. Jika ditujukan kepada penutur di luar komunitas, kata ‘’taek’’ bisa bermakna penghinaan bahwa orang bersangkutan seperti kotoran. Namun jika digunakan dalam internal komunitas, ungkapan itu hanya ungkapan kekecewaan biasa. Pada komunitas anak muda, kata ini bahkan kerap digunakan sebagai penanda keakraban, sebuah ekspresi sayang. Dengan demikian, respon seseorang atas sebuah kata sangat personal.
Kata yang sama dan diproduksi pada saat yang sama dapat direspons berbeda oleh dua mitra tutur yang memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda. Seseorang bisa menanggapinya sebagai pujian dan mereponnya secara positif, orang lain bisa menanggapinya sebagai penghinaan dan meresponnya dengan negatif. Pada konteks ini, kebencian bukanlah objek empiris yang layak dimasukkan dalam terminologi hukum. Sebagaimana perasaan lain, kebencian hanyalah respon psikologis yang muncul sebagai ekses intepretasi individu terhadap realitas di sekitarnya.
Kebencian tidak semata-mata diakibatkan oleh keberadaan stimulus, melainkan oleh cara seseorang merespons situasi. Dibandingkan dengan faktor ekspresif, kebencian lebih sering muncul akibat proses pragmatik (pencerapan, pemahaman, dan intepretasi). Dari aspek lain, bukan pekerjaan mudah bagi penyidik untuk mengategorikan kebencian dengan perasaan negatif lain. Sebab, manusia dapat merasakan ribuan jenis perasaan negatif. Namun untuk melambangkan variasi perasaan tersebut tidak tersedia cukup kata. Akibatnya, penutur bahasa Indonesia cenderung mensimplifikasi dengan menggunakan lambang bahasa seadanya, sesuai perbendaharaan kosakata mereka.
Dalam bahasa Jawa, perasaan semacam ’’benci’’ bisa diungkapkan dengan variasi ungkap sengit, gething, jeleh, dan anyel. Meskipun memiliki kedekatan makna, keempat kata tersebut bereferensi pada kondisi yang berbeda. Dalam bahasa Inggris, perasaan benci juga dapat dilambangkan dengan hate, dislike, dan aversion. Meskipun secara leksikal merujuk pada makna yang sama, secara aktual ketiganya merupakan perasaan yang berbeda. Kerumitan hubungan kata dan kebencian ini mestinya dipertimbangkan polisi dan pemerintah.
Surat edaran atau bahkan undang-undang sekalipun tidak bisa mengatur kata dan kebencian dengan paripurna. Terlebih, secara instingtif manusia terlatih untuk menyukai yang baik dan membenci yang buruk. Aturan yang ketat tidak akan menghilangkan kebencian masyarakat pada objek atau situasi yang buruk, termasuk misalnya pemerintah yang wanprestasi. (43)

Surahmat, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

No comments:

Post a Comment