Oleh Fitrotun Nisa
Wanita sering ditampilkan sebagai makhluk kontroversial.
Setiap gerak geriknya selalu menjadi sorotan publik. Kepemimpinan perempuan
termasuk yang seksi untuk diperdebatkan publik hingga sekarang.
Berbagai pendapat baik yang pro maupun kontra pun bergemuruh.
Bagi yang pro, wanita itu juga memiliki hak yang setara dengan laki-laki yakni
salah satunya menjadi pemimpin asalkan mereka mampu. Sedangkan yang kontra,
mereka berpendapat wanita itu tugasnya hanya mencukupi kebutuhan keluarga,
wilayah sumur, dapur dan kasur.
Keterwakilan perempuan dalam dunia politik terkesan masih
dipandang sebelah mata. Hal ini bisa kita lihat pada pemilihan umum legislatif
(pileg) 2014 lalu, kaum hawa hanya dipatok kuota angka sebesar 30 persen untuk
mengisi daftar nama calon yang ada dalam setiap parpol. Benarkah sebutan
perempuan ditakdirkan sebagai makhluk yang lemah?. Padahal sejatinya tidak.
Wanita atau perempuan pada dasarnya memiliki kekuatan yang sama dengan
laki-laki dan punya hak yang sama dalam berbagai hal termasuk menjadi pemimpin.
Menurut sebagian ulama, perempuan haram menjadi pemimpin.
Mereka beranggapan bahwa wanita itu kodratnya dipimpin, bukan yang memimpin.
Pendapat tersebut didasarkan pada salah satu firman Allah swt , ”Kaum lakilaki
adalah pemimpin bagi kaum wanitaî. (QS. An-Nisaa (4) : 34). Karena persepsi tersebut,
akhirnya sebagaian masyarakat beranggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi
pemimpin, apalagi menjadi pemimpin rakyat karena wanita itu lemah, jiwanya
labil, serta kurang cakap.
Faktor Budaya
Kepemimpinan perempuan sudah ada sejak zaman Nabi Sulaiman.
Yakni pemimpin di sebuah negeri ëarsyun ëadzim atau kerajaan super power,
negeri Sabaí. Ia merupakan pemimpin perempuan nan cantik jelita bernama Ratu
Bilqis. Dengan kecakapannya dalam memimpin negeri Sabaí, akhirnya negeri Sabaí
menjadi negeri yang makmur dan tentram. Bahkan pada akhirnya Nabi Sulaiman
tertarik pada Ratu Bilqis dan menyatukan kedua kerajaan tersebut tanpa
merendahkan Ratu Bilqis.
Di Indonesia sendiri, perempuan yang pertama kali memimpin
adalah Ratu Sima (674- 695 M). Meskipun perempuan, Ratu Sima dapat memerintah
kerajaan Kalingga (Jepara, Jawa Tengah) dengan sangat adil dan bijaksana,
sehingga tak mengherankan rakyatnya hidup dengan makmur dan sejahtera. Kedua
ratu tersebut merupakan bukti kalau perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang
berhasil.
Pada dasarnya, masih banyaknya penolakan kepemimpinan seorang
perempuan di negeri ini bukan disebabkan oleh sosok perempuan yang dianggap
tidak mampu mengemban amanah sebagai pemimpin, melainkan karena faktor budaya.
Yakni telah mengguritanya tonggak kepemimpinan dipegang dan dikendalikan oleh
laki-laki, sehingga keadaan tersebut pada akhirnya melahirkan suatu sikap yang
menghegemoni cara pandang masyarakat dan seolah mereka dibuat selalu
"mengamini" kepemimpinan lakilaki dibanding kepemimpinan perempuan.
Dalam konteks negara Indonesia, masalah kepemimpinan wanita
seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Apalagi dalam Pancasila dan Undang-Undang
1945 telah menjamin kedudukan setiap warga negara tak terkecuali seorang wanita,
serta hak-haknya dilindungi. Memilih maupun dipilih merupakan salah satu hak
bagi semua masyarakat tak terkecuali seorang wanita.
Harus diakui hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia
yang masih mempermasalahkan perempuan menjadi seorang pemimpin. Padahal di
Indonesia sendiri, banyak sekali pemimpin seorang wanita, mulai dari ranah
legislatif hingga eksekutif, bahkan yudikatif. Munculnya para pemimpin
perempuan menunjukkan kaum hawa juga bisa sukses memimpin masyarakat jika
mereka diberi kesempatan.
Jadi Pemimpin
Di Indonesia, saat ini pun terdapat pula beberapa Kabupaten
dan Kota serta Provinsi yang pemimpinya adalah seorang perempuan yang tergolong
sukses. Kota Surabaya misalnya, ada Wali Kota bernama Tri Risma Harini, Kota
Tangerang dipimpin Airin Rachmi Diany. Di Jawa Tengah sendiri beberapa
Kabupaten dipimpin oleh Bupati perempuan, Widya Kandi Susanti (Kendal), Rina
Iriani (Karanganyar).
Dan tidak terlupakan, perjuangan orang kedua di Jawa Tengah
beberapa waktu lalu, yakni Rustriningsih. Rustri sukses mendampingi Bibit
Waluyo memimpin Jawa Tengah periode 2008-2013. Sebelumnya, Rustri pernah
menjabat sebagai Bupati Kebumen dua periode. Keberhasilan perempuan-perempuan
itu sebagai pemimpin di daerahnya merupakan cermin dan bukti bahwa perempuan
juga dapat menjadi pemimpin yang berhasil asal mereka diberi kesempatan untuk
membuktikan diri..
Bung Karno pernah mencetuskan, ”Kita tidak bisa menyusun
suatu negara dan masyarakat, jika kita tidak mengerti soal perempuan. Sebab,
perempuan adalah sumber dari kebudayaan.”Atas dasar itulah seharusnya para kaum
hawa tergerak hati nuraninya untuk menjadi seorang pemimpin dan ikut mewarnai
dunia perpolitikan. Dengan adanya perempuan dalam dunia politik, diharapkan
mampu merubah wajah politik menjadi lebih manusiawi. Jadi, sudah selayaknya
masyarakat tidak lagi mempermasalahkan masalah kepemimpinan perempuan,
seharusnya masyarakat mendukung hal tersebut.
Untuk menjadi pemimpin perempuan yang sukses, maka perempuan
itu harus aktif, selektif, bebas, dinamis, kritis, bertanggung jawab dan
mandiri, namun tetap santun, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Serta aktif
dalam berbagai bidang kehidupan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik.
Selain itu menjadi pemimpin perempuan bukanlah hal tabu yang dilakukan. Akan
tetapi pemimpin perempuan adalah sosok pemimpin yang bisa mendobrak kesenjangan
dan mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia serta berani menyatakan kebenaran
walaupun maut tantangannya.
Selain itu perempuan harus menjadi pemimpin yang gemilang,
yakni pemimpin yang dapat memadukan antara keluarga dan jabatan menjadi satu.
Sebab, sejatinya dua hal tersebut sama pentingnya. Jika seorang pemimpin hanya
mementingkan keluarganya maka rakyatnya yang akan sengsara, begitu juga jika
seorang pemimpin hanya mementingkan kepentingan rakyat maka keluarganya
terutama anaknya yang akan menanggung kesengsaraan karena kurangnya kasih
sayang.
Agar pemimpin perempuan tidak dianggap sebelah mata, maka
sebagai generasi perempuan penerus bangsa, kita harus memulai belajar untuk
menjadi pemimpin, baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, organisasi, maupun
masyarakat. Selain itu, dengan penanam jiwa kepemimpinan sejak dini diharapkan
pemimpin perempuan dan perempuan berpendidikan semakin banyak di Indonesia
sehingga Indonesia menjadi negeri yang lebih sejahtera, tentram, makmur serta
jauh dari kata korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Wallahu aílam bi
al-shawab.(34)
Fitrotun nisa, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Walisongo Semarang
No comments:
Post a Comment