Saturday, 7 November 2015

Dari Dapur, Sumur, dan Kasur

Oleh Fitrotun Nisa

Wanita sering ditampilkan sebagai makhluk kontroversial. Setiap gerak geriknya selalu menjadi sorotan publik. Kepemimpinan perempuan termasuk yang seksi untuk diperdebatkan publik hingga sekarang.

Berbagai pendapat baik yang pro maupun kontra pun bergemuruh. Bagi yang pro, wanita itu juga memiliki hak yang setara dengan laki-laki yakni salah satunya menjadi pemimpin asalkan mereka mampu. Sedangkan yang kontra, mereka berpendapat wanita itu tugasnya hanya mencukupi kebutuhan keluarga, wilayah sumur, dapur dan kasur.

Keterwakilan perempuan dalam dunia politik terkesan masih dipandang sebelah mata. Hal ini bisa kita lihat pada pemilihan umum legislatif (pileg) 2014 lalu, kaum hawa hanya dipatok kuota angka sebesar 30 persen untuk mengisi daftar nama calon yang ada dalam setiap parpol. Benarkah sebutan perempuan ditakdirkan sebagai makhluk yang lemah?. Padahal sejatinya tidak. Wanita atau perempuan pada dasarnya memiliki kekuatan yang sama dengan laki-laki dan punya hak yang sama dalam berbagai hal termasuk menjadi pemimpin.

Menurut sebagian ulama, perempuan haram menjadi pemimpin. Mereka beranggapan bahwa wanita itu kodratnya dipimpin, bukan yang memimpin. Pendapat tersebut didasarkan pada salah satu firman Allah swt , ”Kaum lakilaki adalah pemimpin bagi kaum wanitaî. (QS. An-Nisaa (4) : 34). Karena persepsi tersebut, akhirnya sebagaian masyarakat beranggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin, apalagi menjadi pemimpin rakyat karena wanita itu lemah, jiwanya labil, serta kurang cakap.

Faktor Budaya
Kepemimpinan perempuan sudah ada sejak zaman Nabi Sulaiman. Yakni pemimpin di sebuah negeri ëarsyun ëadzim atau kerajaan super power, negeri Sabaí. Ia merupakan pemimpin perempuan nan cantik jelita bernama Ratu Bilqis. Dengan kecakapannya dalam memimpin negeri Sabaí, akhirnya negeri Sabaí menjadi negeri yang makmur dan tentram. Bahkan pada akhirnya Nabi Sulaiman tertarik pada Ratu Bilqis dan menyatukan kedua kerajaan tersebut tanpa merendahkan Ratu Bilqis.

Di Indonesia sendiri, perempuan yang pertama kali memimpin adalah Ratu Sima (674- 695 M). Meskipun perempuan, Ratu Sima dapat memerintah kerajaan Kalingga (Jepara, Jawa Tengah) dengan sangat adil dan bijaksana, sehingga tak mengherankan rakyatnya hidup dengan makmur dan sejahtera. Kedua ratu tersebut merupakan bukti kalau perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang berhasil.

Pada dasarnya, masih banyaknya penolakan kepemimpinan seorang perempuan di negeri ini bukan disebabkan oleh sosok perempuan yang dianggap tidak mampu mengemban amanah sebagai pemimpin, melainkan karena faktor budaya. Yakni telah mengguritanya tonggak kepemimpinan dipegang dan dikendalikan oleh laki-laki, sehingga keadaan tersebut pada akhirnya melahirkan suatu sikap yang menghegemoni cara pandang masyarakat dan seolah mereka dibuat selalu "mengamini" kepemimpinan lakilaki dibanding kepemimpinan perempuan.

Dalam konteks negara Indonesia, masalah kepemimpinan wanita seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Apalagi dalam Pancasila dan Undang-Undang 1945 telah menjamin kedudukan setiap warga negara tak terkecuali seorang wanita, serta hak-haknya dilindungi. Memilih maupun dipilih merupakan salah satu hak bagi semua masyarakat tak terkecuali seorang wanita.

Harus diakui hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang masih mempermasalahkan perempuan menjadi seorang pemimpin. Padahal di Indonesia sendiri, banyak sekali pemimpin seorang wanita, mulai dari ranah legislatif hingga eksekutif, bahkan yudikatif. Munculnya para pemimpin perempuan menunjukkan kaum hawa juga bisa sukses memimpin masyarakat jika mereka diberi kesempatan.

Jadi Pemimpin
Di Indonesia, saat ini pun terdapat pula beberapa Kabupaten dan Kota serta Provinsi yang pemimpinya adalah seorang perempuan yang tergolong sukses. Kota Surabaya misalnya, ada Wali Kota bernama Tri Risma Harini, Kota Tangerang dipimpin Airin Rachmi Diany. Di Jawa Tengah sendiri beberapa Kabupaten dipimpin oleh Bupati perempuan, Widya Kandi Susanti (Kendal), Rina Iriani (Karanganyar).

Dan tidak terlupakan, perjuangan orang kedua di Jawa Tengah beberapa waktu lalu, yakni Rustriningsih. Rustri sukses mendampingi Bibit Waluyo memimpin Jawa Tengah periode 2008-2013. Sebelumnya, Rustri pernah menjabat sebagai Bupati Kebumen dua periode. Keberhasilan perempuan-perempuan itu sebagai pemimpin di daerahnya merupakan cermin dan bukti bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin yang berhasil asal mereka diberi kesempatan untuk membuktikan diri..

Bung Karno pernah mencetuskan, ”Kita tidak bisa menyusun suatu negara dan masyarakat, jika kita tidak mengerti soal perempuan. Sebab, perempuan adalah sumber dari kebudayaan.”Atas dasar itulah seharusnya para kaum hawa tergerak hati nuraninya untuk menjadi seorang pemimpin dan ikut mewarnai dunia perpolitikan. Dengan adanya perempuan dalam dunia politik, diharapkan mampu merubah wajah politik menjadi lebih manusiawi. Jadi, sudah selayaknya masyarakat tidak lagi mempermasalahkan masalah kepemimpinan perempuan, seharusnya masyarakat mendukung hal tersebut.

Untuk menjadi pemimpin perempuan yang sukses, maka perempuan itu harus aktif, selektif, bebas, dinamis, kritis, bertanggung jawab dan mandiri, namun tetap santun, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Serta aktif dalam berbagai bidang kehidupan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik. Selain itu menjadi pemimpin perempuan bukanlah hal tabu yang dilakukan. Akan tetapi pemimpin perempuan adalah sosok pemimpin yang bisa mendobrak kesenjangan dan mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia serta berani menyatakan kebenaran walaupun maut tantangannya.

Selain itu perempuan harus menjadi pemimpin yang gemilang, yakni pemimpin yang dapat memadukan antara keluarga dan jabatan menjadi satu. Sebab, sejatinya dua hal tersebut sama pentingnya. Jika seorang pemimpin hanya mementingkan keluarganya maka rakyatnya yang akan sengsara, begitu juga jika seorang pemimpin hanya mementingkan kepentingan rakyat maka keluarganya terutama anaknya yang akan menanggung kesengsaraan karena kurangnya kasih sayang.

Agar pemimpin perempuan tidak dianggap sebelah mata, maka sebagai generasi perempuan penerus bangsa, kita harus memulai belajar untuk menjadi pemimpin, baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, organisasi, maupun masyarakat. Selain itu, dengan penanam jiwa kepemimpinan sejak dini diharapkan pemimpin perempuan dan perempuan berpendidikan semakin banyak di Indonesia sehingga Indonesia menjadi negeri yang lebih sejahtera, tentram, makmur serta jauh dari kata korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Wallahu aílam bi al-shawab.(34)

Fitrotun nisa, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment