Jumlah penerimaan negara akan menentukan pengeluaran negara.
Begitulah doktrin APBN. Sebenarnya jumlah penerimaan negara tidak harus
benar-benar terpenuhi, karena sebenarnya APBN diperkenankan defisit. Tetapi,
sudah diatur defisit keuangan pemerintah tidak boleh melebihi tiga persen
produk domestik bruto (PDB). Ketentuan itu membuat penerimaan negara harus
diutamakan tercapai.Pada sisi lain, pengeluaran juga sudah dianggarkan karena
baik penerimaan dan pengeluaran dilakukan untuk tahun berjalan.
Kerepotan pemerintah menyeimbangkan penerimaan dengan
pengeluaran merupakan masalah klasik. Dulu, saat subsidi BBM memberi porsi
terbesar dalam APBN, pemerintah juga dibuat panik saat harga minyak dunia
membubung. Untuk tidak memperbuuruk keuangan pemeritah atau tidak membuat
subsidi membengkak, pemerintah lalu menaikkan harga BBM. Kini subsidi BBM
sangat diminimalisasi, sehingga ancaman pembengkaan pengeluaran karena kenaikan
harga minyak dunia telah diantisipasi.
Namun, sejauh ini penerimaan pajak masih jauh dari target.
Hal itu lumrah saja, mengingat target pendapatan pajak dibuat dengan asumsi
pertumbuhan ekonomi 5,7 persen. Harga minyak dunia yang rendah ternyata juga
diikuti dengan terus turunnya harga-harga komoditas tambang maupun sumber daya
alam lainnya. Padahal, komoditas-komoditas tersebut menjadi andalan pertumbuhan
ekonomi negeri ini. Rendahnya harga sejumlah komoditas di pasar ekspor bahkan
membuat sejumah provinsi mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Realisasi pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di bawah
lima persen. Prediksi itu didasarkan pada pencapaian sampai dengan kuartal
ketiga tahun ini, yang angka year on year-nya hanya sebesar 4,73 persen. Dengan
gambaran seperti itu, wajar bila penerimaan pajak berkurang. Padahal, estimasi
penerimaan menentukan besarnya pengeluaran, dan hal itu sudah dianggarkan.
Bahkan pengeluaran rutin seperti untuk gaji pegawai negeri tidak mungkin
diutak-atik. Besaran gaji tetap harus dibayarkan sesuai rencana.
Biaya-biaya operasional pemerintah rasanya juga tidak mungkin
untuk dikurangi, karena terkait pula dengan pelayanan kepada masyarakat.
Padahal, dana untuk membiayai tak sebesar yang diduga karena penurunan
penerimaan pemerintah hampir terjadi di semua sisi. Supaya defisit tidak
melampaui tiga persen atau dalam bahasa awam agar APBN tidak jebol, maka perlu
penundaan pada pengeluaran yang masih mungkin untuk tidak dilakukan pada tahun
ini. Dalam sisa waktu bulan, evaluasi terhadap rencana pengeluaran diperlukan.
Belanja dalam bentuk proyekproyek perlu untuk dikurangi,
apabila memang kebutuhannya tidak mendesak. Inilah salah satu solusi dalam
upaya menyeimbangkan APBN kita, yang sebenarnya merupakan persoalan klasik
dalam pengelolaan keuangan negara. Memang, ada kekhawatiran pengurangan belanja
itu akan makin memperparah perlambatan ekonomi. Hal itu bisa saja terjadi.
Tetapi, ancaman jebolnya APBN lebih berbahaya, karena berarti juga melanggar
undang-undang.
Sumber : Epaper SM edisi Senin, 9 November 2015 Hal 4
No comments:
Post a Comment