Tuesday, 10 November 2015

Problema Klasik Menyeimbangkan APBN Problema Klasik Menyeimbangkan APBN

Jumlah penerimaan negara akan menentukan pengeluaran negara. Begitulah doktrin APBN. Sebenarnya jumlah penerimaan negara tidak harus benar-benar terpenuhi, karena sebenarnya APBN diperkenankan defisit. Tetapi, sudah diatur defisit keuangan pemerintah tidak boleh melebihi tiga persen produk domestik bruto (PDB). Ketentuan itu membuat penerimaan negara harus diutamakan tercapai.Pada sisi lain, pengeluaran juga sudah dianggarkan karena baik penerimaan dan pengeluaran dilakukan untuk tahun berjalan.

Kerepotan pemerintah menyeimbangkan penerimaan dengan pengeluaran merupakan masalah klasik. Dulu, saat subsidi BBM memberi porsi terbesar dalam APBN, pemerintah juga dibuat panik saat harga minyak dunia membubung. Untuk tidak memperbuuruk keuangan pemeritah atau tidak membuat subsidi membengkak, pemerintah lalu menaikkan harga BBM. Kini subsidi BBM sangat diminimalisasi, sehingga ancaman pembengkaan pengeluaran karena kenaikan harga minyak dunia telah diantisipasi.

Namun, sejauh ini penerimaan pajak masih jauh dari target. Hal itu lumrah saja, mengingat target pendapatan pajak dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,7 persen. Harga minyak dunia yang rendah ternyata juga diikuti dengan terus turunnya harga-harga komoditas tambang maupun sumber daya alam lainnya. Padahal, komoditas-komoditas tersebut menjadi andalan pertumbuhan ekonomi negeri ini. Rendahnya harga sejumlah komoditas di pasar ekspor bahkan membuat sejumah provinsi mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.

Realisasi pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di bawah lima persen. Prediksi itu didasarkan pada pencapaian sampai dengan kuartal ketiga tahun ini, yang angka year on year-nya hanya sebesar 4,73 persen. Dengan gambaran seperti itu, wajar bila penerimaan pajak berkurang. Padahal, estimasi penerimaan menentukan besarnya pengeluaran, dan hal itu sudah dianggarkan. Bahkan pengeluaran rutin seperti untuk gaji pegawai negeri tidak mungkin diutak-atik. Besaran gaji tetap harus dibayarkan sesuai rencana.

Biaya-biaya operasional pemerintah rasanya juga tidak mungkin untuk dikurangi, karena terkait pula dengan pelayanan kepada masyarakat. Padahal, dana untuk membiayai tak sebesar yang diduga karena penurunan penerimaan pemerintah hampir terjadi di semua sisi. Supaya defisit tidak melampaui tiga persen atau dalam bahasa awam agar APBN tidak jebol, maka perlu penundaan pada pengeluaran yang masih mungkin untuk tidak dilakukan pada tahun ini. Dalam sisa waktu bulan, evaluasi terhadap rencana pengeluaran diperlukan.

Belanja dalam bentuk proyekproyek perlu untuk dikurangi, apabila memang kebutuhannya tidak mendesak. Inilah salah satu solusi dalam upaya menyeimbangkan APBN kita, yang sebenarnya merupakan persoalan klasik dalam pengelolaan keuangan negara. Memang, ada kekhawatiran pengurangan belanja itu akan makin memperparah perlambatan ekonomi. Hal itu bisa saja terjadi. Tetapi, ancaman jebolnya APBN lebih berbahaya, karena berarti juga melanggar undang-undang.


Sumber : Epaper SM edisi Senin, 9 November 2015 Hal 4

No comments:

Post a Comment