Saturday 7 November 2015

Kepala Daerah sebagai Agen Antikorupsi

Penghargaan kepada Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo dan mantan wali kota Surabaya Tri Rismaharini dari Bung Hatta Anticorruption Award menegaskan perlawanan terhadap korupsi tidak akan mati. Kendati serangan, penggembosan, dan penggerogotan terhadap para penggerak antikorupsi pada berbagai sisi dan bentuk semakin ganas, Yoyok dan Risma menjadi teladan. Keduanya tidak gentar dan terus berjalan sesuai track di sektor birokrasi pemerintah dan layanan kepada publik.

Setidaknya dua sosok tersebut mengetengahkan ajaran bahwa anggaran negara bisa diterjemahkan secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat luas. Selama ini kita dipertontonkan secara masif lewat pemberitaan banyaknya elite pemerintahan bermain-main dalam penyusunan anggaran. Banyak kepala daerah tertangkap operasi tangkap tangan penegak hukum, terjerat sangkaan suap dan korupsi, hingga meringkuk di tahanan karena terbukti merampas duit rakyat.

Yoyok yang masih menjabat bupati hingga 1,5 tahun ke depan, bukannya tanpa tantangan ketika membuat kebijakan transparansi APBD Batang. Dia mendirikan Unit Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (UPKP2). Lembaga tersebut diposisikan sebagai tempat pengaduan terhadap berbagai keluhan layanan birokrasi. Ini langkah terobosan berani bupati, di tengah terstrukturnya gangguan terhadap kepala daerah. Tak pelak pembentukan lembaga tersebut pada awalnya mendapat tentangan dari internal birokrasi.

Transparansi pengelolaan dana publik juga dicetuskan lewat Festival Anggaran. Publik secara gamblang bisa memelototi rincian anggaran atau bukabukaan mengenai APBD Batang. Dirjen Pengembangan Keuangan Kementerian Keuangan menyebut hal itu sebagai ide gila karena baru Batang yang berani menjalankan. Jamaknya, buku APBD dijauhkan dari sorotan publik. Bahkan terdapat nomenklatur khusus yang dititipkan dalam berbagai pos SKPD, yang ’’pada saat tepat’’ akan ditagih oleh segelintir elite.

Begitu pula Risma yang lompatannya luar biasa dengan menerapkan sistem elektronik dalam e-procurement (pembelian), e-budgeting (penganggaran), dan e-government (pemerintahan). Keterbukaan dalam berbagai lini birokrasi sebagai upaya pencegahan praktik korupsi di instansi pemerintah. Hasilnya, sistem berbasis dalam jaringan (online) itu membuat Pemkot Surabaya menghemat Rp 800 miliar setiap tahun. Gamblangnya, sistem ini akan menghindarkan pertemuan tatap muka sehingga mengikis potensi kongkalikong.

Munculnya dua sosok pimpinan dari daerah patut dicatat sebagai agen struktural dalam pemberantasan praktik korupsi. Lompatan kebijakan itulah yang bisa ditularkan dan diadopsi oleh kepala daerah yang lain. Tidak perlu malu meniru kebijakan positif daripada mengikuti arus lalu terjerat kasus pada kemudian hari. Pengambil kebijakan di daerah bisa memberikan keteladanan perjuangan melawan praktik-praktik korupsi dan melakukan perubahan, dengan berbagai upaya pencegahan.


Tajuk Rencana Edisi Jum’at, 6 Nopember 2015

No comments:

Post a Comment