Sunday, 19 October 2014

Warisan Bali Democracy Forum

Oleh Chusnan Maghribi
PENYELENGGARAAN pertemuan ke-7 Bali Democracy Forum (BDF) terhitung dua bulan lebih awal dari kebiasaan sidang-sidang sebelumnya. Enam sidang/pertemuan tahunan sebelumnya selalu digelar tiap tanggal 10-11 Desember, sementara pertemuan ke-7 digelar pada 10-11 Oktober 2014.
Pemajuan pelaksanaan pertemuan tersebut tentu tidak terlepas dari alih tongkat estafet kepemimpinan nasional republik ini, dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang akan resmi menjabat sebagai presiden ke-7 negara ini pada 20 Oktober 2014. Andai tanggal dan bulan penyelenggaraan pertemuan ke-7 BDF sama seperti pertemuan-pertemuan tahunan sebelumnya, pastilah SBY sudah pensiun dan tak lagi bisa menjadi tuan rumah sekaligus memimpin pertemuan BDF tahun ini. Sementara Presiden SBY terlihat masih sangat ingin menjadi tuan rumah dan memimpin pertemuan ke-7 BDF ini.
Pertanyaannya, mengapa Presiden SBY tampak masih menggebu-gebu menjadi tuan rumah sekaligus memimpin pertemuan ke-7 forum itu sehingga pelaksanaan pertemuan dimajukan dua bulan lebih awal dari kebiasaan pertemuan-pertemuan sebelumnya?
Presiden SBY memandang BDF sebagai sebuah forum diplomasi yang sangat bersejarah, fenomenal, dan strategis dalam diplomasi politik di tingkat regional ataupun internasional. Fakta itu terutama terkait dengan upaya mempromosikan kerja sama antarnegara dalam pengembangan kelembagaan poliitik dan sosial bagi kepemerintahan yang demokratis.
Pandangan SBY tentu mudah dipahami karena dialah inisiator (penggagas) pembentukan forum itu enam tahun lalu. Gagasan SBY membentuk BDF dilatari realitas politik tingkat global yang kerap diwarnai ’’pemaksaan’’ oleh pihak (negara) tertentu terhadap negara lain dalam upaya pelaksanaan pemerintahan demokratik, yang acap menimbulkan kegaduhan, bahkan distabilitas politik, khususnya di negara yang coba dipaksa. Myanmar menjadi salah satu contoh kasus nyata pada menjelang akhir abad ke-20 hingga dasa warsa pertama abad ke-21.
Republik Sosialis Myanmar yang kala itu dikuasai junta militer terus-menerus ditekan secara politik dan ekonomi oleh negara-negara Barat agar rezim junta yang berkuasa di Yangoon mengakhiri represivitas pemerintahannya serta beralih mempraktikkan pemerintahan demokratik. Tekanan Barat tersebut kerap menimbulkan ketegangan politik bukan saja antara Myanmar dan Barat, melainkan juga antara Barat dan ASEAN ataupun antar sesama anggota ASEAN, organisasi regional di mana Myanmar ikut bergabung di dalamnya.
Sebagian anggota ASEAN seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Laos tidak cukup tertarik untuk ikut menekan Yangoon agar mempraktikkan kepemerintahan demokratik ala Barat. Anggota lainnya semisal Filipina getol mengkritik keras junta militer dan memperkuat tekanan Barat atas Yangoon.
Di tengah keterbelahan ASEAN itulah Presiden SBY bersikap elegan dengan mendorong ASEAN membuat road map to democracy yang mesti dijalani junta militer Myanmar. Faktanya, road map to democracy itu pun diterima dengan baik sekaligus dijalani oleh junta hingga tercipta iklim pemerintahan yang cukup demokratis di Myanmar. Demokrasi sudah menggeliat di negara tersebut sejak 2010.
Kontribusi Positif
Pembentukan BDF enam tahun lalu ditengarai ikut memberi kontribusi bagi penciptaan iklim pemerintahan Myanmar yang kini cukup demokratis. Pemerintah Myanmar selalu mengirim delegasinya pada enam pertemuan BDF sebelumnya yang konsisten membahas isu-isu terkait upaya pengembangan pelaksanaan demokrasi. Hal itu selaras dengan tujuan BDF, yakni mempromosikan kerja sama antarnegara dalam pengembangan kelembagaan politik dan sosial untuk kepemerintahan yang demokratis.
Ketika memberi sambutan pada acara pembukaan pertemuan ke-1 BDF Desember 2008 SBY mengatakan negara peserta BDF mencakup semua negara yang mempunyai keinginan mengembangkan demokrasi, peserta BDF tidak terkosentrasi pada negara dengan sistem politik tertentu. Pasalnya, BDF tidak bermaksud memaksakan model (demokrasi) tertentu dalam berdemokrasi. BDF tidak pula membahas definisi bersama mengenai demokrasi.
Forum itu selalu konsisten berbagi pengalaman, pemikiran dan ide untuk bekerja sama meningkatkan kualitas pelaksanaan demokrasi masing-masing, tak peduli sistem politik apa yang dipraktikkan negaranegara peserta. Presiden SBY menyadari tak ada model demokrasi yang sempurna, demokrasi tak pernah berakhir dan terus berkembang.  
Sebab itulah SBY ingin BDF menjelma menjadi forum kerja sama yang efektif bagi rangkaian proses pengembangan pelaksanaan demokrasi di segenap negara peserta. Ke depan, SBY tampak bermaksud mewariskan BDF kepada presiden terpilih Jokowi ataupun segenap masyarakat Indonesia umumnya, teriring harapan pertemuan tahunan BDF terus konsisten digelar tiap tahun.
Ihwal diplomasi, semasa Orde Lama Presiden Soekarno mewariskan Gerakan Non-Blok (GNB) lantaran Bung Karno termasuk penggagas dan pendiri GNB. Era Orde Baru Presiden Soeharto mewariskan ASEAN ia beliau juga termasuk penggagas dan pendirinya. Kini Presiden SBY mencoba mewariskan Bali Democracy Forum kepada kita, dan juga segenap peserta forum itu. (10)
— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Sumber : epaper SM hal 6 edisi Jum’at, 10 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment