Oleh Chusnan Maghribi
PENYELENGGARAAN pertemuan ke-7
Bali Democracy Forum (BDF) terhitung dua bulan lebih awal dari kebiasaan
sidang-sidang sebelumnya. Enam sidang/pertemuan tahunan sebelumnya selalu
digelar tiap tanggal 10-11 Desember, sementara pertemuan ke-7 digelar pada
10-11 Oktober 2014.
Pemajuan pelaksanaan pertemuan
tersebut tentu tidak terlepas dari alih tongkat estafet kepemimpinan nasional
republik ini, dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada presiden terpilih
Joko Widodo (Jokowi) yang akan resmi menjabat sebagai presiden ke-7 negara ini
pada 20 Oktober 2014. Andai tanggal dan bulan penyelenggaraan pertemuan ke-7 BDF
sama seperti pertemuan-pertemuan tahunan sebelumnya, pastilah SBY sudah pensiun
dan tak lagi bisa menjadi tuan rumah sekaligus memimpin pertemuan BDF tahun
ini. Sementara Presiden SBY terlihat masih sangat ingin menjadi tuan rumah dan
memimpin pertemuan ke-7 BDF ini.
Pertanyaannya, mengapa Presiden
SBY tampak masih menggebu-gebu menjadi tuan rumah sekaligus memimpin pertemuan
ke-7 forum itu sehingga pelaksanaan pertemuan dimajukan dua bulan lebih awal
dari kebiasaan pertemuan-pertemuan sebelumnya?
Presiden SBY memandang BDF
sebagai sebuah forum diplomasi yang sangat bersejarah, fenomenal, dan strategis
dalam diplomasi politik di tingkat regional ataupun internasional. Fakta itu
terutama terkait dengan upaya mempromosikan kerja sama antarnegara dalam
pengembangan kelembagaan poliitik dan sosial bagi kepemerintahan yang
demokratis.
Pandangan SBY tentu mudah
dipahami karena dialah inisiator (penggagas) pembentukan forum itu enam tahun
lalu. Gagasan SBY membentuk BDF dilatari realitas politik tingkat global yang
kerap diwarnai ’’pemaksaan’’ oleh pihak (negara) tertentu terhadap negara lain
dalam upaya pelaksanaan pemerintahan demokratik, yang acap menimbulkan
kegaduhan, bahkan distabilitas politik, khususnya di negara yang coba dipaksa.
Myanmar menjadi salah satu contoh kasus nyata pada menjelang akhir abad ke-20
hingga dasa warsa pertama abad ke-21.
Republik Sosialis Myanmar yang
kala itu dikuasai junta militer terus-menerus ditekan secara politik dan ekonomi
oleh negara-negara Barat agar rezim junta yang berkuasa di Yangoon mengakhiri
represivitas pemerintahannya serta beralih mempraktikkan pemerintahan
demokratik. Tekanan Barat tersebut kerap menimbulkan ketegangan politik bukan
saja antara Myanmar dan Barat, melainkan juga antara Barat dan ASEAN ataupun
antar sesama anggota ASEAN, organisasi regional di mana Myanmar ikut bergabung
di dalamnya.
Sebagian anggota ASEAN seperti
Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Laos tidak cukup tertarik untuk ikut menekan
Yangoon agar mempraktikkan kepemerintahan demokratik ala Barat. Anggota lainnya
semisal Filipina getol mengkritik keras junta militer dan memperkuat tekanan
Barat atas Yangoon.
Di tengah keterbelahan ASEAN
itulah Presiden SBY bersikap elegan dengan mendorong ASEAN membuat road map to
democracy yang mesti dijalani junta militer Myanmar. Faktanya, road map to
democracy itu pun diterima dengan baik sekaligus dijalani oleh junta hingga
tercipta iklim pemerintahan yang cukup demokratis di Myanmar. Demokrasi sudah menggeliat
di negara tersebut sejak 2010.
Kontribusi Positif
Pembentukan BDF enam tahun lalu
ditengarai ikut memberi kontribusi bagi penciptaan iklim pemerintahan Myanmar
yang kini cukup demokratis. Pemerintah Myanmar selalu mengirim delegasinya pada
enam pertemuan BDF sebelumnya yang konsisten membahas isu-isu terkait upaya
pengembangan pelaksanaan demokrasi. Hal itu selaras dengan tujuan BDF, yakni mempromosikan
kerja sama antarnegara dalam pengembangan kelembagaan politik dan sosial untuk kepemerintahan
yang demokratis.
Ketika memberi sambutan pada
acara pembukaan pertemuan ke-1 BDF Desember 2008 SBY mengatakan negara peserta
BDF mencakup semua negara yang mempunyai keinginan mengembangkan demokrasi, peserta
BDF tidak terkosentrasi pada negara dengan sistem politik tertentu. Pasalnya,
BDF tidak bermaksud memaksakan model (demokrasi) tertentu dalam berdemokrasi.
BDF tidak pula membahas definisi bersama mengenai demokrasi.
Forum itu selalu konsisten
berbagi pengalaman, pemikiran dan ide untuk bekerja sama meningkatkan kualitas
pelaksanaan demokrasi masing-masing, tak peduli sistem politik apa yang
dipraktikkan negaranegara peserta. Presiden SBY menyadari tak ada model demokrasi
yang sempurna, demokrasi tak pernah berakhir dan terus berkembang.
Sebab itulah SBY ingin BDF
menjelma menjadi forum kerja sama yang efektif bagi rangkaian proses pengembangan
pelaksanaan demokrasi di segenap negara peserta. Ke depan, SBY tampak bermaksud
mewariskan BDF kepada presiden terpilih Jokowi ataupun segenap masyarakat
Indonesia umumnya, teriring harapan pertemuan tahunan BDF terus konsisten
digelar tiap tahun.
Ihwal diplomasi, semasa Orde Lama
Presiden Soekarno mewariskan Gerakan Non-Blok (GNB) lantaran Bung Karno
termasuk penggagas dan pendiri GNB. Era Orde Baru Presiden Soeharto mewariskan ASEAN
ia beliau juga termasuk penggagas dan pendirinya. Kini Presiden SBY mencoba
mewariskan Bali Democracy Forum kepada kita, dan juga segenap peserta forum
itu. (10)
— Chusnan Maghribi, alumnus
Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
Sumber : epaper SM hal 6 edisi
Jum’at, 10 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment