Saturday, 11 October 2014

Kehamilan Remaja dan Masalahnya

Oleh Andari Wuri Astuti
BADAN Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan terdapat 16 juta kehamilan pada remaja per tahun dan 95% dari jumlah tersebut terjadi di negara berkembang. Indonesia salah satu negara berkembang dengan angka kehamilan pada remaja yang relatif tinggi. Menurut data Riskesdas tahun 2013, sebanyak 24% dari total kehamilan terjadi pada usia 15-19 tahun sedangkan 0.02% terjadi di bawah usia 15.
Hampir semua penelitian mengenai kehamilan pada remaja menunjukkan dampak negatif bagi remaja dan bayi yang dikandungnya. Dampak negatif tersebut tidak hanya pada kesehatan fisik, melainkan juga psikologis dan sosial terutama jika kehamilan terjadi sebelum pernikahan. Hamil usia remaja merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kekurangan gizi yang meningkatkan risiko terjadinya anemia pada ibu dan bayi yang dilahirkan. Selain itu, kehamilan pada remaja juga meningkatkan kemungkinan faktor penyulit kelahiran seperti panggul sempit akibat belum siapnya panggul dan sistem reproduksi pada remaja. Kehamilan remaja juga berdampak pada kesehatan bayinya seperti kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah.
Dampak negatif yang lain adalah masalah psikologis. Remaja dengan kehamilan, diinginkan ataupun tidak diinginkan secara otomatis menjadi orang tua. Hal ini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya depresi karena ketidakmatangan psikologis dan ketidaksiapan menjadi orang tua. Terlebih lagi jika kehamilan terjadi sebelum pernikahahan maka remaja juga mengalami masalah sosial seperti ketidakmampuan finansial karena biasanya mereka dikeluarkan dari sekolah yang berlanjut pada tingkat pendidikan yang rendah.
Kebijakan Pemerintah
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan rendahnya penghasilan atau bahkan beberapa remaja menjadi pengangguran. Selain itu, remaja dianggap sebagai aib keluarga dan masyarakat karena melanggar norma agama dan masyarakat.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa kehamilan remaja merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.  Melihat fenomena tersebut, pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan jumlah ketersediaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi remaja seperti program edukasi kesehatan reproduksi pada usia dini secara komprehensif, pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja yang belum menikah, program edukasi lintas kesehatan, agama dan kultural secara masif dengan pengarusutamaan kesetaraan gender.
Kebijakan dan program perlu yang berfokus pada remaja putri tidak akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap penurunan kehamilan remaja tanpa adanya program edukasi pada remaja putra, orang tua dan juga masyarakat. Sehingga perlu adanya upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi remaja pada masyarakat luas. Karena itu keterlibatan stakeholders, pemuka agama dan masyarakat serta peningkatan partisipasi remaja sangat diperlukan untuk mendukung kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi remaja dan situasi yang kondusif untuk mencegah terjadinya kehamilan remaja.(11)
–– Andari Wuri Astuti SsiT MPH, dosen D III Kebidanan Stikes Aisyiyah Yogyakarta

Sumber : epaper SM hal 18 edisi Rabu, 8 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment