Oleh Andari Wuri Astuti
BADAN Kesehatan Dunia (WHO),
menyatakan terdapat 16 juta kehamilan pada remaja per tahun dan 95% dari jumlah
tersebut terjadi di negara berkembang. Indonesia salah satu negara berkembang
dengan angka kehamilan pada remaja yang relatif tinggi. Menurut data Riskesdas tahun
2013, sebanyak 24% dari total kehamilan terjadi pada usia 15-19 tahun sedangkan
0.02% terjadi di bawah usia 15.
Hampir semua penelitian mengenai
kehamilan pada remaja menunjukkan dampak negatif bagi remaja dan bayi yang
dikandungnya. Dampak negatif tersebut tidak hanya pada kesehatan fisik,
melainkan juga psikologis dan sosial terutama jika kehamilan terjadi sebelum
pernikahan. Hamil usia remaja merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kekurangan
gizi yang meningkatkan risiko terjadinya anemia pada ibu dan bayi yang
dilahirkan. Selain itu, kehamilan pada remaja juga meningkatkan kemungkinan
faktor penyulit kelahiran seperti panggul sempit akibat belum siapnya panggul
dan sistem reproduksi pada remaja. Kehamilan remaja juga berdampak pada
kesehatan bayinya seperti kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah.
Dampak negatif yang lain adalah masalah
psikologis. Remaja dengan kehamilan, diinginkan ataupun tidak diinginkan secara
otomatis menjadi orang tua. Hal ini merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya depresi karena ketidakmatangan psikologis dan ketidaksiapan menjadi
orang tua. Terlebih lagi jika kehamilan terjadi sebelum pernikahahan maka
remaja juga mengalami masalah sosial seperti ketidakmampuan finansial karena biasanya
mereka dikeluarkan dari sekolah yang berlanjut pada tingkat pendidikan yang
rendah.
Kebijakan Pemerintah
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan
dengan rendahnya penghasilan atau bahkan beberapa remaja menjadi pengangguran.
Selain itu, remaja dianggap sebagai aib keluarga dan masyarakat karena
melanggar norma agama dan masyarakat.
Beberapa penelitian juga
menyebutkan bahwa kehamilan remaja merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Melihat fenomena tersebut, pemerintah dan
lembaga terkait perlu meningkatkan jumlah ketersediaan kebijakan dan program
untuk kesehatan reproduksi remaja seperti program edukasi kesehatan reproduksi pada
usia dini secara komprehensif, pelayanan kesehatan reproduksi pada remaja yang
belum menikah, program edukasi lintas kesehatan, agama dan kultural secara
masif dengan pengarusutamaan kesetaraan gender.
Kebijakan dan program perlu yang berfokus
pada remaja putri tidak akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap penurunan
kehamilan remaja tanpa adanya program edukasi pada remaja putra, orang tua dan
juga masyarakat. Sehingga perlu adanya upaya meningkatkan kesadaran akan
pentingnya kesehatan reproduksi remaja pada masyarakat luas. Karena itu
keterlibatan stakeholders, pemuka agama dan masyarakat serta peningkatan partisipasi
remaja sangat diperlukan untuk mendukung kemudahan akses terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi remaja dan situasi yang kondusif untuk mencegah terjadinya
kehamilan remaja.(11)
–– Andari Wuri Astuti SsiT MPH,
dosen D III Kebidanan Stikes Aisyiyah Yogyakarta
Sumber : epaper SM hal 18 edisi
Rabu, 8 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment