Oleh Tri Marhaeni P Astuti
SULIT untuk menyebut Pemilihan
Umum 2014, pesta demokrasi rakyat Indonesia telah meninggalkan kegembiraan dan
kelegaan. Yang tersisa justru paradoks kejengkelan dan kegeraman masyarakat manakala
melihat tingkah polah anggota DPR yang berpredikat wakil rakyat.
Bagaimana tidak? Tontonan politik
yang kasar, cenderung menghalalkan segala cara, dan beraroma ”balas dendam”
disuguhkan tanpa malu-malu. Ketika ide, pikiran, dan sikap mereka diatasnamakan
kepentingan rakyat, kira-kira itu klaim untuk rakyat yang mana?
Kegalauan Politik
Dari kecenderungan yang saya
amati, betapa banyak anggota masyarakat galau, bahkan pesimistis melihat
perkembangan politik dan demokrasi kita. Rasa gelayang mengeram seusai pesta
demokrasi itu antara lain dipicu oleh realitas pengebirian hak-hak rakyat.
Ketika DPR mengubah pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi melalui
DPRD, apa yang sebenarnya melatari?
Proses penetapan undang-undang
tersebut diwarnai oleh nuansa kesengkarutan dan fragmen-fragmen ”sandiwara”.
Lewat percakapan di warung kopi dan diskusi ekspresif melalui media sosial,
tergambar tak sedikit masyarakat yang marah dan geram, namun sebatas hanya bisa
nyesek, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyalurkan aspirasi.
Bukankah dalam perjalanan
reformasi sejak 1998, rakyat diajari untuk melaksanakan hak memilih secara
langsung pemimpinnya, dari tingkat kabupaten/ kota, provinsi, sampai memilih
presiden? Ketika itu juga banyak tersuarakan pesimisme dan kegalauan, ”Apa
rakyat bisa?” Tapi pemerintah dan wakil rakyat dengan luar biasa keras
meyakinkan bahwa sistem pemilihan langsunglah yang terbaik. Maka akhirnya
rakyat belajar berpolitik secara bertahap, sedikit demi sedikit memahami, lalu
mulai menampakkan hasilnya pada kesadaran politik bahwa memilih pemimpin
berfokus itu pada sosok orang, bukan partai, bukan golongan, bukan pula kelompok.
Tetapi alangkah mengecewakan
manakala kegembiraan akan pengakuan hak yang baru berjalan dan memproses menuju
pendewasaan itu tiba-tiba —juga dengan cara luar biasa— dicerabut oleh DPR dengan
justifikasi yang mengada-ada. Apakah bisa dijamin pilihan melalui DPR akan meniadakan
politik uang? Apakah kecenderungan transaksi wani pira tidak justru makin
menggila?
Sebenarnya sangat mudah dipahami,
dalam rangka rakyat ”belajar berdemokrasi” tentu banyak kekurangan. Kita
tertatih di jalan demokrasi yang terjal, bahkan terjatuh, tetapi bukan berarti
kemudian tidak boleh belajar karena banyak kelemahan, dan apalagi kemudian
diklaim rakyat belum siap berdemokrasi.
Mestinya logika awam yang dipakai
adalah bagaimana para elite politik itu memintarkan rakyat dengan makin banyak
memberi keteladanan, dan menghilangkan rintangan jalan demokrasi tersebut. Yang
terjadi justru sebaliknya. Rakyat di-fait accompli mengakui ”belum siap
berdemokrasi”, sehingga untuk memilih pemimpin kembali harus diwakili oleh
DPRD. Logika politik apa lagi yang diusung oleh para wakil rakyat? Kesannya
justru ada kegalauan, bahkan kegusaran anggota DPR yang memunculkan aroma
politik balas dendam dan mindset ”pokoknya asal bukan dia.’’
Terimpit Pesimisme
Melihat perilaku para legislator
di Senayan, sangat tidak layak jika kemudian diklaim ”rakyat belum siap
berdemokrasi”. Siapa yang sebenarnya belum layak? Anggota DPR yang menguasai
mayoritas suara, atau rakyat yang dengan tulus ikhlas memberikan suaranya dalam
pemilu?
Setelah pemilu usai rakyat tentu
berharap untuk melihat hasil jerih payah memberikan suaranya, ternyata harapan
itu jauh panggang dari api. Kita pesimistis, dan akhirnya apatis. Jika ini
berkembang, tentu akan menimbulkan kebuntuan logika politik rakyat. Jangan
heran, di tengah pesimisme itu banyak yang mulai bergerak memberontak dengan
cara masingmasing.
Rakyat di berbagai segmen sudah
judheg dengan sengkarut politik. Maka kalangan akademisi yang diharapkan masih
memiliki kejernihan pikir menjadi harapan rakyat untuk menyuarakan kegundahan
dan kepesimisan. Sudah saatnya kita berjuang demi rakyat dengan memutus
kepesimisan, menyuarakan logika kebenaran, dan logika politik atas nama rakyat.
Sebenarnya para elite politik dan
anggota DPR mayoritas juga ”bersuara” seperti itu, namun ternyata itu hanya
ngeyem-ngeyemi karena yang terjadi adalah pembodohan rakyat. Menurut Arnold J
Toynbee dalam teori Challenge and Response (1961), respons manusia, komunitas, dan
masyarakat sangat dipengaruhi oleh tantangan yang dihadapi. Semakin besar
tantangan, makin besar respons masyarakat untuk bertahan.
Respons seperti apakah dalam
analog ke-nyesekan politik yang dihadapi masyarakat saat ini? Semua tentu tidak
mengingini terjadi perlawanan rakyat, namun jika elite politik terus
mempertontonkan kondisi seperti saat ini, bukan tidak mungkin tesis Toynbee
akan maujud dalam kehidupan masyarakat. (10)
— Tri Marhaeni Pudji Astuti, Guru
Besar Antropologi, Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang. Artikel ini menyongsong “Forum Profesor untuk Demokrasi”
di Unika Soegijapranata,
Sumber : epaper SM hal 6 edisi
Sabtu, 11 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment