Sunday 19 October 2014

Ketika Rakyat Dianggap Belum Siap

Oleh Tri Marhaeni P Astuti
SULIT untuk menyebut Pemilihan Umum 2014, pesta demokrasi rakyat Indonesia telah meninggalkan kegembiraan dan kelegaan. Yang tersisa justru paradoks kejengkelan dan kegeraman masyarakat manakala melihat tingkah polah anggota DPR yang berpredikat wakil rakyat.
Bagaimana tidak? Tontonan politik yang kasar, cenderung menghalalkan segala cara, dan beraroma ”balas dendam” disuguhkan tanpa malu-malu. Ketika ide, pikiran, dan sikap mereka diatasnamakan kepentingan rakyat, kira-kira itu klaim untuk rakyat yang mana?
Kegalauan Politik
Dari kecenderungan yang saya amati, betapa banyak anggota masyarakat galau, bahkan pesimistis melihat perkembangan politik dan demokrasi kita. Rasa gelayang mengeram seusai pesta demokrasi itu antara lain dipicu oleh realitas pengebirian hak-hak rakyat. Ketika DPR mengubah pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi melalui DPRD, apa yang sebenarnya melatari?
Proses penetapan undang-undang tersebut diwarnai oleh nuansa kesengkarutan dan fragmen-fragmen ”sandiwara”. Lewat percakapan di warung kopi dan diskusi ekspresif melalui media sosial, tergambar tak sedikit masyarakat yang marah dan geram, namun sebatas hanya bisa nyesek, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyalurkan aspirasi.
Bukankah dalam perjalanan reformasi sejak 1998, rakyat diajari untuk melaksanakan hak memilih secara langsung pemimpinnya, dari tingkat kabupaten/ kota, provinsi, sampai memilih presiden? Ketika itu juga banyak tersuarakan pesimisme dan kegalauan, ”Apa rakyat bisa?” Tapi pemerintah dan wakil rakyat dengan luar biasa keras meyakinkan bahwa sistem pemilihan langsunglah yang terbaik. Maka akhirnya rakyat belajar berpolitik secara bertahap, sedikit demi sedikit memahami, lalu mulai menampakkan hasilnya pada kesadaran politik bahwa memilih pemimpin berfokus itu pada sosok orang, bukan partai, bukan golongan, bukan pula kelompok.
Tetapi alangkah mengecewakan manakala kegembiraan akan pengakuan hak yang baru berjalan dan memproses menuju pendewasaan itu tiba-tiba —juga dengan cara luar biasa— dicerabut oleh DPR dengan justifikasi yang mengada-ada. Apakah bisa dijamin pilihan melalui DPR akan meniadakan politik uang? Apakah kecenderungan transaksi wani pira tidak justru makin menggila?
Sebenarnya sangat mudah dipahami, dalam rangka rakyat ”belajar berdemokrasi” tentu banyak kekurangan. Kita tertatih di jalan demokrasi yang terjal, bahkan terjatuh, tetapi bukan berarti kemudian tidak boleh belajar karena banyak kelemahan, dan apalagi kemudian diklaim rakyat belum siap berdemokrasi.
Mestinya logika awam yang dipakai adalah bagaimana para elite politik itu memintarkan rakyat dengan makin banyak memberi keteladanan, dan menghilangkan rintangan jalan demokrasi tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat di-fait accompli mengakui ”belum siap berdemokrasi”, sehingga untuk memilih pemimpin kembali harus diwakili oleh DPRD. Logika politik apa lagi yang diusung oleh para wakil rakyat? Kesannya justru ada kegalauan, bahkan kegusaran anggota DPR yang memunculkan aroma politik balas dendam dan mindset ”pokoknya asal bukan dia.’’
Terimpit Pesimisme
Melihat perilaku para legislator di Senayan, sangat tidak layak jika kemudian diklaim ”rakyat belum siap berdemokrasi”. Siapa yang sebenarnya belum layak? Anggota DPR yang menguasai mayoritas suara, atau rakyat yang dengan tulus ikhlas memberikan suaranya dalam pemilu?
Setelah pemilu usai rakyat tentu berharap untuk melihat hasil jerih payah memberikan suaranya, ternyata harapan itu jauh panggang dari api. Kita pesimistis, dan akhirnya apatis. Jika ini berkembang, tentu akan menimbulkan kebuntuan logika politik rakyat. Jangan heran, di tengah pesimisme itu banyak yang mulai bergerak memberontak dengan cara masingmasing.
Rakyat di berbagai segmen sudah judheg dengan sengkarut politik. Maka kalangan akademisi yang diharapkan masih memiliki kejernihan pikir menjadi harapan rakyat untuk menyuarakan kegundahan dan kepesimisan. Sudah saatnya kita berjuang demi rakyat dengan memutus kepesimisan, menyuarakan logika kebenaran, dan logika politik atas nama rakyat.
Sebenarnya para elite politik dan anggota DPR mayoritas juga ”bersuara” seperti itu, namun ternyata itu hanya ngeyem-ngeyemi karena yang terjadi adalah pembodohan rakyat. Menurut Arnold J Toynbee dalam teori Challenge and Response (1961), respons manusia, komunitas, dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh tantangan yang dihadapi. Semakin besar tantangan, makin besar respons masyarakat untuk bertahan.
Respons seperti apakah dalam analog ke-nyesekan politik yang dihadapi masyarakat saat ini? Semua tentu tidak mengingini terjadi perlawanan rakyat, namun jika elite politik terus mempertontonkan kondisi seperti saat ini, bukan tidak mungkin tesis Toynbee akan maujud dalam kehidupan masyarakat. (10)
— Tri Marhaeni Pudji Astuti, Guru Besar Antropologi, Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Artikel ini menyongsong “Forum Profesor untuk Demokrasi” di Unika Soegijapranata,

Sumber : epaper SM hal 6 edisi Sabtu, 11 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment