Tuesday 7 October 2014

Bijak Belajar dan Belajar Bijak

Oleh Thio Hok Lay*
JAGATpendidikan Tanah Air baru-baru ini kembali dihebohkan oleh ragam komentar di media sosial, mengomentari jawab atas disalahkannya jawaban PR Matematika murid kelas II SD oleh guru. Jawaban siswa 4 x 6 atas pertanyaan guru; 4+4+4+4+4+4 =...x... dianggap keliru oleh guru, yang mengharuskan murid menjawabnya dengan 6 x 4. Guru itu mengusung argumentasi ilmiah demi menanamkan pemahaman dasar mengenai perkalian.
Terlepas dari tepat tidaknya ragam komentar di media sosial, apakah jawaban atas pertanyaan guru tentang 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 ataukah 6 x 4, peristiwa itu setidak-tidaknya makin jelas memperlihatkan bahwa di masyarakat terdapat keberagaman cara (model) berpikir. Rasanya, keberagaman cara itu sulit atau bahkan tidak akan pernah bisa diseragamkan. Ada yang memiliki cara pandang dengan berorientasi pada proses (process oriented), ada pula yang lebih berorientasi pada hasil (result/ profit oriented).
Bagi yang mengedepankan pendekatan proses sebagai kerangka berpikirnya, berpendapat bahwa capaian atas suatu hasil tertentu ditentukan oleh rangkaian proses yang mendahului. Bila proses itu baik dan benar, secara otomatis hasilnya juga baik dan benar. Karena bagi mereka, hasil selalu mengikuti proses. Sebaliknya, mereka yang membangun dan mengembangkan kerangka berpikir secara praktis pragmatis, akan menempatkan diri dan berpendapat bahwa hasil akhir adalah di atas segala-galanya.
Hasil selalu ditempatkan di posisi yang dianggap lebih penting dari proses. Bagi mereka, sah-sah saja bila harus menomorsekiankan proses selama hasil akhirnya cocok, logis, dan sesuai dengan yang diharapkan. Karena itu, meskipun ’’kasus’’ dianggap salahnya jawaban siswa atas pertanyaan guru Matematika tadi mengusik tokoh/ahli pendidikan untuk ikut menjelaskan, meluruskan dan mengedukasi publik; faktanya pendapat mereka belum, atau tidak bisa diterima secara utuh oleh semua kalangan. (Kompas, 24/9/14).
Guna mempertemukan dan ’’mendamaikan’’ dua versi itu, kita perlu bijak dalam belajar (bijak belajar) sekaligus belajar untuk menjadi bijak (belajar bijak). Bijak belajar dapat dipahami bahwa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar (PBM), kehadiran nalar (akal) tidak bisa disangkal. Bahkan kehadiran nalar mutlak dibutuhkan guna membantu pelaku pendidikan (siswa dan guru) mengkaji dan memahami isi bahan ajar, mencari dan menemukan strategi (metode) belajar yang tepat, dan mengelola waktu.
Adapun belajar bijak, hakikatnya merupakan pengingat bahwa senyatanya kita hadir, hidup, dan tinggal dalam komunitas plural. Artinya, tiap entitas penyusunnya mempunyai nilai (value) tentang kebenaran masing-masing. Belajar bijak berarti belajar untuk mampu memahami bahwa kebenaran itu tidak bersifat tunggal.
Nalar dan Nurani Saya ingin mengajak publik membaca buku Bertambah Bijak Setiap Hari: 8x3=23! (Budi S Tanuwibowo; 2010), dengan kata sambutan yang ditulis Presiden SBY. Bila kita membacanya, lalu mendekatinya dengan nalar (akal) semata maka judul itu berkesan aneh, janggal, bahkan salah besar (setidak-tidaknya menurut perhitungan matematis).  Sebaliknya, bila selesai membaca kita mencoba merefleksikan menggunakan nurani dan mau belajar untuk bijak, rasanya kita bersetuju bahwa judul buku itu benar adanya, bahwa 8 x 3 = 23!. Mengapa? Berikut cuplikan dari buku itu, ’’Seorang guru bijak punya banyak murid dari berbagai latar belakang sosial, etnis, dan agama. Suatu saat, murid terpandai ditantang oleh murid terbodoh’’. Katanya, ”Bila engkau memang pandai, coba jawab pertanyaanku, berapakah 8 x 3?’’ Spontan si murid pandai menjawab,’’ 24.’’ ’’Salah, yang benar 23,’’ kata si bodoh.
Perbedaan jawaban itu memicu perdebatan berkepanjangan. Bahkan murid terbodoh rela menggorok batang lehernya sendiri. Singkat cerita, dua murid itu yang sebenarnya bersahabat menemui seoraang guru yang terkenal bijak. Setelah menyimak cerita keduanya, guru itu mengatakan bahwa 8 x 3 = 23!
Bagi si pandai, jawaban guru menyebabkan dirinya sedih, dan rasa hormatnya pun merosot sampai titik terendah. Namun bersegera, dalam kesempatan terpisah, secara personal guru itu ’’meralat’’ jawabannya kepada muridnya yang terpandai bahwa sesungguhnya 8 x 3 = 24. Jawaban itu disertai penjelasan ikutan bahwa andai tadi dijawab 24 maka murid yang pandai bisa menyesal seumur hidup karena ia akan merasa jadi ’’pembunuh’’ bagi teman dekatnya itu.
Kisah ini hendak bertutur bahwa dalam menciptakan kesetaraan antara nalar dan nurani, acap kita menjumpai kekurangsempurnaan (kekeliruan dan kesalahan) yang dilakukan siswa yang notabene masih mengenyam proses belajar. Seyogianya kekeliruan yang dilakukan peserta didik (siswa) bukanlah hal tabu, apalagi dosa tak terampuni.
Justru kekeliruan yang dijumpai dan dialami siswa selama proses belajar merupakan proses pencerahan dalam rangka menemukan mutiara kebijaksanaan (kebaikan dan kebenaran) melalui proses pendampingan belajar yang baik oleh guru; komunikatif, setara, dan sederajat. (10)
— Thio Hok Lay SSi, Plt Kepala SMA Kebon Dalem Semarang

Sumber : epaper SM hal 6 edisi 2 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment