Oleh Thio Hok Lay*
JAGATpendidikan Tanah Air
baru-baru ini kembali dihebohkan oleh ragam komentar di media sosial, mengomentari
jawab atas disalahkannya jawaban PR Matematika murid kelas II SD oleh guru.
Jawaban siswa 4 x 6 atas pertanyaan guru; 4+4+4+4+4+4 =...x... dianggap keliru
oleh guru, yang mengharuskan murid menjawabnya dengan 6 x 4. Guru itu mengusung
argumentasi ilmiah demi menanamkan pemahaman dasar mengenai perkalian.
Terlepas dari tepat tidaknya
ragam komentar di media sosial, apakah jawaban atas pertanyaan guru tentang
4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 ataukah 6 x 4, peristiwa itu setidak-tidaknya makin jelas
memperlihatkan bahwa di masyarakat terdapat keberagaman cara (model) berpikir.
Rasanya, keberagaman cara itu sulit atau bahkan tidak akan pernah bisa
diseragamkan. Ada yang memiliki cara pandang dengan berorientasi pada proses
(process oriented), ada pula yang lebih berorientasi pada hasil (result/ profit
oriented).
Bagi yang mengedepankan
pendekatan proses sebagai kerangka berpikirnya, berpendapat bahwa capaian atas
suatu hasil tertentu ditentukan oleh rangkaian proses yang mendahului. Bila
proses itu baik dan benar, secara otomatis hasilnya juga baik dan benar. Karena
bagi mereka, hasil selalu mengikuti proses. Sebaliknya, mereka yang membangun
dan mengembangkan kerangka berpikir secara praktis pragmatis, akan menempatkan
diri dan berpendapat bahwa hasil akhir adalah di atas segala-galanya.
Hasil selalu ditempatkan di
posisi yang dianggap lebih penting dari proses. Bagi mereka, sah-sah saja bila
harus menomorsekiankan proses selama hasil akhirnya cocok, logis, dan sesuai
dengan yang diharapkan. Karena itu, meskipun ’’kasus’’ dianggap salahnya jawaban
siswa atas pertanyaan guru Matematika tadi mengusik tokoh/ahli pendidikan untuk
ikut menjelaskan, meluruskan dan mengedukasi publik; faktanya pendapat mereka
belum, atau tidak bisa diterima secara utuh oleh semua kalangan. (Kompas,
24/9/14).
Guna mempertemukan dan
’’mendamaikan’’ dua versi itu, kita perlu bijak dalam belajar (bijak belajar) sekaligus
belajar untuk menjadi bijak (belajar bijak). Bijak belajar dapat dipahami bahwa
dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar (PBM), kehadiran nalar (akal)
tidak bisa disangkal. Bahkan kehadiran nalar mutlak dibutuhkan guna membantu
pelaku pendidikan (siswa dan guru) mengkaji dan memahami isi bahan ajar,
mencari dan menemukan strategi (metode) belajar yang tepat, dan mengelola
waktu.
Adapun belajar bijak, hakikatnya
merupakan pengingat bahwa senyatanya kita hadir, hidup, dan tinggal dalam
komunitas plural. Artinya, tiap entitas penyusunnya mempunyai nilai (value)
tentang kebenaran masing-masing. Belajar bijak berarti belajar untuk mampu
memahami bahwa kebenaran itu tidak bersifat tunggal.
Nalar dan Nurani Saya ingin
mengajak publik membaca buku Bertambah Bijak Setiap Hari: 8x3=23! (Budi S Tanuwibowo;
2010), dengan kata sambutan yang ditulis Presiden SBY. Bila kita membacanya,
lalu mendekatinya dengan nalar (akal) semata maka judul itu berkesan aneh,
janggal, bahkan salah besar (setidak-tidaknya menurut perhitungan matematis). Sebaliknya, bila selesai membaca kita mencoba merefleksikan
menggunakan nurani dan mau belajar untuk bijak, rasanya kita bersetuju bahwa
judul buku itu benar adanya, bahwa 8 x 3 = 23!. Mengapa? Berikut cuplikan dari
buku itu, ’’Seorang guru bijak punya banyak murid dari berbagai latar belakang
sosial, etnis, dan agama. Suatu saat, murid terpandai ditantang oleh murid
terbodoh’’. Katanya, ”Bila engkau memang pandai, coba jawab pertanyaanku,
berapakah 8 x 3?’’ Spontan si murid pandai menjawab,’’ 24.’’ ’’Salah, yang
benar 23,’’ kata si bodoh.
Perbedaan jawaban itu memicu
perdebatan berkepanjangan. Bahkan murid terbodoh rela menggorok batang lehernya
sendiri. Singkat cerita, dua murid itu yang sebenarnya bersahabat menemui
seoraang guru yang terkenal bijak. Setelah menyimak cerita keduanya, guru itu
mengatakan bahwa 8 x 3 = 23!
Bagi si pandai, jawaban guru
menyebabkan dirinya sedih, dan rasa hormatnya pun merosot sampai titik
terendah. Namun bersegera, dalam kesempatan terpisah, secara personal guru itu
’’meralat’’ jawabannya kepada muridnya yang terpandai bahwa sesungguhnya 8 x 3
= 24. Jawaban itu disertai penjelasan ikutan bahwa andai tadi dijawab 24 maka
murid yang pandai bisa menyesal seumur hidup karena ia akan merasa jadi
’’pembunuh’’ bagi teman dekatnya itu.
Kisah ini hendak bertutur bahwa
dalam menciptakan kesetaraan antara nalar dan nurani, acap kita menjumpai
kekurangsempurnaan (kekeliruan dan kesalahan) yang dilakukan siswa yang
notabene masih mengenyam proses belajar. Seyogianya kekeliruan yang dilakukan
peserta didik (siswa) bukanlah hal tabu, apalagi dosa tak terampuni.
Justru kekeliruan yang dijumpai
dan dialami siswa selama proses belajar merupakan proses pencerahan dalam
rangka menemukan mutiara kebijaksanaan (kebaikan dan kebenaran) melalui proses
pendampingan belajar yang baik oleh guru; komunikatif, setara, dan sederajat.
(10)
— Thio Hok Lay SSi, Plt Kepala
SMA Kebon Dalem Semarang
Sumber : epaper SM hal 6 edisi 2
Oktober 2014
No comments:
Post a Comment