Oleh : Vincent Didiek WA
WACANA Tim Transisi Jokowi-JK membentuk
satgas antimafia sektor minyak dan gas (SM, 11/9/14) patut kita hargai bila
benar-benar diwujudkan dan tidak terjebak demi politik pencitraan. Perbandingan
antara korupsi APBN dan korupsi sektor perminyakan memang tidak seimbang, dalam
arti nilai korupsi pada sektor perminyakan memang betul-betul mengerikan.
Bahkan sejak 1969 tidak pernah tersentuh hukum karena semua pihak yang terkait
merasakan enaknya emas hitam (minyak bumi).
Salah satu modus korupsi pada
sektor migas dilakukan lewat cara mark-up tidak resmi, baik impor maupun
ekspor, yang menurut sumber Kompolnas (28/9/14) sebesar 1-3 dolar AS. Bila
tahun 2014 kita mengimpor BBM sekitar 741 ribu barel per hari maka tiap hari
pula negara merugi hampir 1,5 juta dolar AS. Itu pun belum termasuk kerugian
akibat mark-up transpor, penggelapan pajak, dan penyelundupan BBM bersubsidi ke
luar negeri.
Kerugian lain adalah terhambatnya
pengembangan industri pengilangan minyak di dalam negeri, terhambatnya pengembangan
industri BBM alternatif nonfosil atau energi minyak terbarukan, dan
terhambatnya konversi BBM minyak ke gas untuk alat transportasi. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa untuk melanggengkan impor BBM, ada berbagai upaya yang
dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengambat pengembangan BBM alternatif.
Makin tinggi ketergantungan kita
terhadap BBM impor berarti makin cepat besar pula pundi-pundi para mafia BBM. Keberadaan
mafia tersebut sulit diberantas karena menguntungkan para penguasa (patron).
Bahkan keberadaan mafia tersebut justru dipiara oleh penguasa atau pejabat yang
mempunyai kewenangan. Akibatnya selama empat dekade lebih, praktik mafia migas
makin menggurita di semua lini. Pola yang sama terjadi pada sektor lain, semisal
pangan, industri, dan perdagangan sebagaimana kita lihat dari korupsi impor
daging sapi.
Kemunculan mafia itu juga karena lembaga
saling tumpang tindih. Misalnya di bawah Kementerian ESDM ada Pertamina, BPH
Migas, SKK Migas, atau Petral (Pertamina Energy Trading Limited), yang
sebenarnya anak BUMN Pertamina yang berlokasi di Singapura, dan kabarnya nanti
dihapus oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Dalam situasi demikian, negara seolah-olah
tidak hadir, dan sebagai gantinya muncul negara bayangan (shadow state),
sebagaimana diteliti tahun 2008 oleh Gery van Klinken, peneliti Belanda yang
pernah tinggal di Indonesia. Bahkan para mafia dan kroni-kroninya punya kekuatan
untuk memilih, mengganti atau melengserkan pejabat yang tidak sejalan dengan
kemauan mafia tersebut.
Ketidakhadiran negara yang
autentik juga dimanfaatkan untuk korupsi dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang
tidak memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Tahun 2014 indeks negara rapuh (index of
fragile state) menempatkan Indonesia pada urutan high warning, yaitu peringkat
ke-82 di bawah sesama negara Asia, yaitu Thailand dan India.
Akar masalahnya, di negara kita belum
ada birokrasi rasional sebagaimana pernah diungkap Max Weber. Hubungan para
penguasa adalah hubungan yang digambarkan antara patron dan klien, dan para klien
itu sering juga disebut para kroni (Yoshihara;1972). Para penguasa bisa juga
berperan ganda sebagai kroni melalui keluarga atau teman sehingga menimbulkan
conflict of interest. Fakta ini makin memperjelas kenapa korupsi begitu sulit
diberantas di Indonesia.
Birokrasi Rasional Pola hubungan
tersebut tidak jauh berbeda, dan mempunyai kesamaaan sebagaimana dijelaskan oleh
Weber atau Yoshihara. Richard Robinson (1982), peneliti Australia yang pernah
menjadi peneliti tamu di LIPI, secara khusus menuangkan dalam disertasinya
bahwa mafia migas sudah muncul sejak pemerintahan Orde Lama. Bahkan, secara sistemik
melembaga untuk mendanai partai yang berkuasa dan para penguasa pada masa itu.
Bagaimana sekarang? Ternyata belum
banyak berubah, bahkan makin melembaga menjadi negara bayangan yang merapuhkan
sendi sendi berbangsa di Indonesia. Sebenarnya ada satu solusi, yakni mengembalikan
fungsi birokrasi agar rasional dan berakuntabilitas, atau sering disebut good
and clean governance.
Rantai perangkapan jabatan pimpinan
parpol dengan top eksekutif harus diputus sebagaimana ditegaskan Jokowi. Strong
leadership wajib hadir dan menjadi kepribadian inheren dilengkapi rekam jejak bersih
pada sosok presiden-wapres, termasuk menteri di kabinet mendatang.
Kita berharap banyak pada pemerintahan
mendatang untuk mewujudkan birokrasi yang rasional, yang tak dibebani conflict
of interest karena ada politik utang budi. Utang budi justru membuat pemimpin
tidak lagi bisa bertindak tegas mengatasi akar masalah yang menggurita sejak
Orde Lama. Birokrasi yang rasional dan berakuntabilitas juga bisa mencegah kemunculan
replikasi mafia di sektor-sektor lain, semisal perpajakan. Kita bisa belajar
dari Korut yang dulu korup namun kini bisa mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih
dan menghilangkan beragam praktik mafia.
— Vincent Didiek WA, Guru Besar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang
Sumber : epaper SM hal 6-7 edisi
Rabu, 8 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment