Thursday 9 October 2014

Negara Bayangan

Oleh : Vincent Didiek WA
WACANA Tim Transisi Jokowi-JK membentuk satgas antimafia sektor minyak dan gas (SM, 11/9/14) patut kita hargai bila benar-benar diwujudkan dan tidak terjebak demi politik pencitraan. Perbandingan antara korupsi APBN dan korupsi sektor perminyakan memang tidak seimbang, dalam arti nilai korupsi pada sektor perminyakan memang betul-betul mengerikan. Bahkan sejak 1969 tidak pernah tersentuh hukum karena semua pihak yang terkait merasakan enaknya emas hitam (minyak bumi).
Salah satu modus korupsi pada sektor migas dilakukan lewat cara mark-up tidak resmi, baik impor maupun ekspor, yang menurut sumber Kompolnas (28/9/14) sebesar 1-3 dolar AS. Bila tahun 2014 kita mengimpor BBM sekitar 741 ribu barel per hari maka tiap hari pula negara merugi hampir 1,5 juta dolar AS. Itu pun belum termasuk kerugian akibat mark-up transpor, penggelapan pajak, dan penyelundupan BBM bersubsidi ke luar negeri.
Kerugian lain adalah terhambatnya pengembangan industri pengilangan minyak di dalam negeri, terhambatnya pengembangan industri BBM alternatif nonfosil atau energi minyak terbarukan, dan terhambatnya konversi BBM minyak ke gas untuk alat transportasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk melanggengkan impor BBM, ada berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengambat pengembangan BBM alternatif.
Makin tinggi ketergantungan kita terhadap BBM impor berarti makin cepat besar pula pundi-pundi para mafia BBM. Keberadaan mafia tersebut sulit diberantas karena menguntungkan para penguasa (patron). Bahkan keberadaan mafia tersebut justru dipiara oleh penguasa atau pejabat yang mempunyai kewenangan. Akibatnya selama empat dekade lebih, praktik mafia migas makin menggurita di semua lini. Pola yang sama terjadi pada sektor lain, semisal pangan, industri, dan perdagangan sebagaimana kita lihat dari korupsi impor daging sapi.
Kemunculan mafia itu juga karena lembaga saling tumpang tindih. Misalnya di bawah Kementerian ESDM ada Pertamina, BPH Migas, SKK Migas, atau Petral (Pertamina Energy Trading Limited), yang sebenarnya anak BUMN Pertamina yang berlokasi di Singapura, dan kabarnya nanti dihapus oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Dalam situasi demikian, negara seolah-olah tidak hadir, dan sebagai gantinya muncul negara bayangan (shadow state), sebagaimana diteliti tahun 2008 oleh Gery van Klinken, peneliti Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Bahkan para mafia dan kroni-kroninya punya kekuatan untuk memilih, mengganti atau melengserkan pejabat yang tidak sejalan dengan kemauan mafia tersebut.
Ketidakhadiran negara yang autentik juga dimanfaatkan untuk korupsi dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat banyak.  Tahun 2014 indeks negara rapuh (index of fragile state) menempatkan Indonesia pada urutan high warning, yaitu peringkat ke-82 di bawah sesama negara Asia, yaitu Thailand dan India.
Akar masalahnya, di negara kita belum ada birokrasi rasional sebagaimana pernah diungkap Max Weber. Hubungan para penguasa adalah hubungan yang digambarkan antara patron dan klien, dan para klien itu sering juga disebut para kroni (Yoshihara;1972). Para penguasa bisa juga berperan ganda sebagai kroni melalui keluarga atau teman sehingga menimbulkan conflict of interest. Fakta ini makin memperjelas kenapa korupsi begitu sulit diberantas di Indonesia.
Birokrasi Rasional Pola hubungan tersebut tidak jauh berbeda, dan mempunyai kesamaaan sebagaimana dijelaskan oleh Weber atau Yoshihara. Richard Robinson (1982), peneliti Australia yang pernah menjadi peneliti tamu di LIPI, secara khusus menuangkan dalam disertasinya bahwa mafia migas sudah muncul sejak pemerintahan Orde Lama. Bahkan, secara sistemik melembaga untuk mendanai partai yang berkuasa dan para penguasa pada masa itu.
Bagaimana sekarang? Ternyata belum banyak berubah, bahkan makin melembaga menjadi negara bayangan yang merapuhkan sendi sendi berbangsa di Indonesia. Sebenarnya ada satu solusi, yakni mengembalikan fungsi birokrasi agar rasional dan berakuntabilitas, atau sering disebut good and clean governance.
Rantai perangkapan jabatan pimpinan parpol dengan top eksekutif harus diputus sebagaimana ditegaskan Jokowi. Strong leadership wajib hadir dan menjadi kepribadian inheren dilengkapi rekam jejak bersih pada sosok presiden-wapres, termasuk menteri di kabinet mendatang.
Kita berharap banyak pada pemerintahan mendatang untuk mewujudkan birokrasi yang rasional, yang tak dibebani conflict of interest karena ada politik utang budi. Utang budi justru membuat pemimpin tidak lagi bisa bertindak tegas mengatasi akar masalah yang menggurita sejak Orde Lama. Birokrasi yang rasional dan berakuntabilitas juga bisa mencegah kemunculan replikasi mafia di sektor-sektor lain, semisal perpajakan. Kita bisa belajar dari Korut yang dulu korup namun kini bisa mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih dan menghilangkan beragam praktik mafia.
— Vincent Didiek WA, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang

Sumber : epaper SM hal 6-7 edisi Rabu, 8 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment