Wednesday 15 October 2014

Berebut Kuasa di Rimba Libya

Oleh Ibnu Burdah
SETELAH diktaktor Gaddafi tumbang tiga tahun lalu, Libia terjerumus ke dalam konflik dan kekacauan. Kini, negara itu tak ubahnya rimba belantara. Siapa memegang senjata maka dialah yang berkuasa. Siapa memegang senjata maka dia berhak atas sumber-sumber ekonomi yang seharusnya dikelola negara demi kepentingan banyak orang. Siapa memegang senjata maka dia merasa berhak untuk dihormati sebab realitas itu adalah simbol peran historik mereka dalam menjatuhkan Gaddafi.
Sekarang Libia bisa dikatakan negara milisi. Kelompok milisi itu berasal dari gerakan-gerakan rakyat yang dulu mengangkat senjata melawan Gaddafi. Dalam perjalanannya, milisi-milisi itu gagal disatukan dalam satu atap Tentara Nasional Libia. Masing-masing kelompok berjalan sendiri dan berupaya memegang kontrol atas keamanan dan mengatur pemerintahan. Bahkan mengontrol sumber-sumber kekayaan seperti ladang atau jalur pipa minyak mentah.
Lebih celaka lagi, ada ratusan kelompok milisi, dan masing-masing memiliki agenda untuk menjalankan ”pemerintahan” di wilayah kekuasaannya. Karena itu, Libia tak ubahnya negara tanpa kesatuan hukum dan pemerintahan. Dari sejumlah milisi, saat ini ada dua yang paling menonjol. Yang pertama menyebut diri al-Jaisy al-Wathaniy al-Libiya (Tentara Nasional Libia) di bawah pimpinan Jenderal Khalifa Haftar.
Yang kedua menyebut diri Quwwatu Hifz Amn Wastiqrar Libiya (Tentara Penjaga Keamanan dan Stabilitas Libia), koalisi Islamis di bawah pimpinan kelompok Fajr Libiya. Kelompok pertama berideologi nasionalis dan berpusat di Zintan, barat Tripoli sehingga kerap disebut kelompok Zintan. Kelompok kedua berideologi Islamis berpusat di Misrata, timur Tripoli, sehingga sering disebut kelompok Misrata.
Dua kekuatan utama itu saat ini berebut pusat kekuasaan inti. Mereka bertempur di berbagai wilayah, terutama memperebutkan tempat-tempat strategis pemerintahan dan perekonomian. Perebutan bandara internasional Tripoli yang dimenangi kelompok Islamis di bawah pimpinan Fajr Libiya, merupakan salah satu pertempuran yang menentukan. Kini, de facto kelompok Islamis berkuasa di Tripoli.
Di luar dua kelompok besar itu, ada ratusan milisi dengan orientasi beragam, termasuk kelompok yang bersifat lokal serta dengan kepentingan sangat sempit dan pragmatis. Ada pula kelompok garis keras Anshar al-Syariah yang kemudian berafiliasi dengan Daisy (IS) di Irak-Suriah, yang berkembang pesat selama tiga tahun kekacauan di Libia.
Dengan situasi semacam itu maka tak ada satu pun kekuatan yang bisa mengontrol keamanan di Libia. Realitasnya, tak ada pemerintah yang mengendalikan roda pemerintahan. Yang menguasai semua sektor adalah milisi atau koalisi antar mereka, sambil sibuk berebut daerah kekuasaan masing-masing.
Pemerintahan Baru
Kemenangan kelompok Islamis di Tripoli memperoleh sambutan luas dari pendukungnya. Mereka
berdemonstrasi di berbagai daerah untuk mengelu-elukan kemenangan tersebut. Kelompok bersenjata itu kembali mengaktifkan Majlis al-Nuwab (Lembaga Perwakilan) yang merupakan parlemen lama, dan didominasi kaum Islamis.
Parlemen itu kemudian membentuk pemerintahan baru yang mereka sebut Hukumah al-Inqadz alWathani (Pemerintah Penyelamatan Nasional) sekaligus memberi mandat kepada Omar al-Hasi untuk membentuk pemerintahan baru. Secara de facto, parlemen dan pemerintahan itulah yang saat ini berjalan di Tripoli dan daerah-daerah yang dikuasai milisi koalisi Islamis/Misrata.
Adapun milisi nasionalis Zintan semakin terdesak. Mereka gagal mengamankan parlemen baru, hasil pemilu 25 Juni 2014. Mereka kemudian memindahkan parlemen itu ke Tobruk, daerah yang berbatasan dengan Mesir. Koalisi ini memang memperoleh dukungan kuat dari negara-negara yang anti Ikhwan di Timur Tengah, terutama Mesir dan UEA.
Sulit dibantah keterlibatan kekuatan udara dua negara tersebut dalam membantu milisi Zintan melawan kelompok Misrata beberapa waktu. Pemindahan parlemen di ujung timur negeri itu sebenarnya ganjil mengingat secara tradisional pusat Libia adalah Tripoli atau Benghazi. Namun mereka mengambil opsi itu mengingat mustahil bertahan di Tripoli, Benghazi, atau daerah yang berdekatan dengan wilayah kekuasaan kelompok Islamis.
Parlemen kelompok yang terdesak di lapangan kemungkinan juga membentuk pemerintahan baru setelah pengunduran diri pemerintahan Abdullah alThani. Bahkan parlemen ini telah memutuskan meminta intervensi internasional guna ”menyelamatkan” Libia. Seruan itu memperoleh kecaman keras dari kelompok Islamis dan kelompok lain di Libia, serta memicu demonstrasi.
Qatar dan Turki melalui presiden Erdogan yang mendukung kelompok Islamis, juga mengecam keras permintaan campur tangan asing tersebut. Keduanya berpendapat langkah itu justru memperburuk situasi yang sudah buruk di Libia. Menguatnya dimensi kawasan inilah yang paling dikhawatirkan banyak pihak. Ketika Libia jadi panggung adu kuat aktor-aktor kawasan, hal itu bisa menjerumuskan negara itu pada perang saudara yang sangat destruktif, sebagaimana di Irak, atau bahkan Suriah di Arab Timur. (10)
— Dr Ibnu Burdah MA, pemerhati masalah Timur Tengah dan dunia Islam, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang

Sumber: epaper SM hal 6 edisi Selasa, 6 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment