Oleh Ibnu Burdah
SETELAH diktaktor Gaddafi tumbang
tiga tahun lalu, Libia terjerumus ke dalam konflik dan kekacauan. Kini, negara
itu tak ubahnya rimba belantara. Siapa memegang senjata maka dialah yang
berkuasa. Siapa memegang senjata maka dia berhak atas sumber-sumber ekonomi
yang seharusnya dikelola negara demi kepentingan banyak orang. Siapa memegang senjata
maka dia merasa berhak untuk dihormati sebab realitas itu adalah simbol peran
historik mereka dalam menjatuhkan Gaddafi.
Sekarang Libia bisa dikatakan
negara milisi. Kelompok milisi itu berasal dari gerakan-gerakan rakyat yang
dulu mengangkat senjata melawan Gaddafi. Dalam perjalanannya, milisi-milisi itu
gagal disatukan dalam satu atap Tentara Nasional Libia. Masing-masing kelompok
berjalan sendiri dan berupaya memegang kontrol atas keamanan dan mengatur pemerintahan.
Bahkan mengontrol sumber-sumber kekayaan seperti ladang atau jalur pipa minyak
mentah.
Lebih celaka lagi, ada ratusan
kelompok milisi, dan masing-masing memiliki agenda untuk menjalankan
”pemerintahan” di wilayah kekuasaannya. Karena itu, Libia tak ubahnya negara
tanpa kesatuan hukum dan pemerintahan. Dari sejumlah milisi, saat ini ada dua
yang paling menonjol. Yang pertama menyebut diri al-Jaisy al-Wathaniy al-Libiya
(Tentara Nasional Libia) di bawah pimpinan Jenderal Khalifa Haftar.
Yang kedua menyebut diri Quwwatu
Hifz Amn Wastiqrar Libiya (Tentara Penjaga Keamanan dan Stabilitas Libia),
koalisi Islamis di bawah pimpinan kelompok Fajr Libiya. Kelompok pertama
berideologi nasionalis dan berpusat di Zintan, barat Tripoli sehingga kerap
disebut kelompok Zintan. Kelompok kedua berideologi Islamis berpusat di
Misrata, timur Tripoli, sehingga sering disebut kelompok Misrata.
Dua kekuatan utama itu saat ini
berebut pusat kekuasaan inti. Mereka bertempur di berbagai wilayah, terutama
memperebutkan tempat-tempat strategis pemerintahan dan perekonomian. Perebutan
bandara internasional Tripoli yang dimenangi kelompok Islamis di bawah pimpinan
Fajr Libiya, merupakan salah satu pertempuran yang menentukan. Kini, de facto kelompok
Islamis berkuasa di Tripoli.
Di luar dua kelompok besar itu,
ada ratusan milisi dengan orientasi beragam, termasuk kelompok yang bersifat
lokal serta dengan kepentingan sangat sempit dan pragmatis. Ada pula kelompok
garis keras Anshar al-Syariah yang kemudian berafiliasi dengan Daisy (IS) di
Irak-Suriah, yang berkembang pesat selama tiga tahun kekacauan di Libia.
Dengan situasi semacam itu maka
tak ada satu pun kekuatan yang bisa mengontrol keamanan di Libia. Realitasnya,
tak ada pemerintah yang mengendalikan roda pemerintahan. Yang menguasai semua
sektor adalah milisi atau koalisi antar mereka, sambil sibuk berebut daerah
kekuasaan masing-masing.
Pemerintahan Baru
Kemenangan kelompok Islamis di
Tripoli memperoleh sambutan luas dari pendukungnya. Mereka
berdemonstrasi di berbagai daerah
untuk mengelu-elukan kemenangan tersebut. Kelompok bersenjata itu kembali
mengaktifkan Majlis al-Nuwab (Lembaga Perwakilan) yang merupakan parlemen lama,
dan didominasi kaum Islamis.
Parlemen itu kemudian membentuk
pemerintahan baru yang mereka sebut Hukumah al-Inqadz alWathani (Pemerintah
Penyelamatan Nasional) sekaligus memberi mandat kepada Omar al-Hasi untuk membentuk
pemerintahan baru. Secara de facto, parlemen dan pemerintahan itulah yang saat
ini berjalan di Tripoli dan daerah-daerah yang dikuasai milisi koalisi Islamis/Misrata.
Adapun milisi nasionalis Zintan
semakin terdesak. Mereka gagal mengamankan parlemen baru, hasil pemilu 25 Juni
2014. Mereka kemudian memindahkan parlemen itu ke Tobruk, daerah yang berbatasan
dengan Mesir. Koalisi ini memang memperoleh dukungan kuat dari negara-negara
yang anti Ikhwan di Timur Tengah, terutama Mesir dan UEA.
Sulit dibantah keterlibatan
kekuatan udara dua negara tersebut dalam membantu milisi Zintan melawan
kelompok Misrata beberapa waktu. Pemindahan parlemen di ujung timur negeri itu
sebenarnya ganjil mengingat secara tradisional pusat Libia adalah Tripoli atau
Benghazi. Namun mereka mengambil opsi itu mengingat mustahil bertahan di
Tripoli, Benghazi, atau daerah yang berdekatan dengan wilayah kekuasaan
kelompok Islamis.
Parlemen kelompok yang terdesak
di lapangan kemungkinan juga membentuk pemerintahan baru setelah pengunduran
diri pemerintahan Abdullah alThani. Bahkan parlemen ini telah memutuskan meminta
intervensi internasional guna ”menyelamatkan” Libia. Seruan itu memperoleh
kecaman keras dari kelompok Islamis dan kelompok lain di Libia, serta memicu
demonstrasi.
Qatar dan Turki melalui presiden
Erdogan yang mendukung kelompok Islamis, juga mengecam keras permintaan campur
tangan asing tersebut. Keduanya berpendapat langkah itu justru memperburuk
situasi yang sudah buruk di Libia. Menguatnya dimensi kawasan inilah yang
paling dikhawatirkan banyak pihak. Ketika Libia jadi panggung adu kuat
aktor-aktor kawasan, hal itu bisa menjerumuskan negara itu pada perang saudara
yang sangat destruktif, sebagaimana di Irak, atau bahkan Suriah di Arab Timur.
(10)
— Dr Ibnu Burdah MA, pemerhati
masalah Timur Tengah dan dunia Islam, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
Sumber: epaper SM hal 6 edisi Selasa,
6 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment