Nurkholis Mistari |
WACANA pembentukan Kementerian Pendidikan
Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemdiktiristek) terus menguat dan mendapat
sambutan positif dari berbagai kalangan. Forum Rektor Indonesia (FRI) yang dalam
setahun terakhir ini giat mendorong ide tersebut, kembali menegaskan arti
pentingnya pembentukan kementerian baru itu, penggabungan bidang dikti dan
ristek.
Adalah Ketua FRI 2014 Prof Ravik
Karsidi yang berpendapat pembentukan Kemdiktiristek dapat memperpendek
kesenjangan antara dunia usaha dan kampus (SM, 11/10/14). Kampus sudah
menelurkan banyak riset namun belum bisa menjawab kebutuhan dunia usaha. Hal
lain yang bisa menjadi alasan adalah Indonesia perlu menghindari keterpurukan akibat
fenomena jebakan negara berpenghasilan sedang.
Bila kementerian baru itu jadi
direalisasikan, seberapa jauh dan mampukah memberikan dampak positif sesuai
dengan ekspektasi publik? Berkaca pada kondisi kampus sebagai salah satu basis
riset di negara kita maka ada banyak pekerjaan rumah yang perlu segera
diselesaikan. Salah satunya menambah jumlah peneliti mengingat saat ini
Indonesia baru memiliki tak lebih dari 8.000 peneliti. Di samping itu, budaya
penelitian yang berujung pada pematenan produk juga masih rendah.
Kondisi itu berbeda 180 derajat
dari minat meneliti di negara tetangga, sama-sama anggota ASEAN seperti
Malaysia dan Singapura. Persoalan lain adalah belum semua kampus bersedia
menggiatkan budaya riset (suaramerdeka.com, 7/10/14).
Menurut Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof Dr
Armida Salsiah Alisjahbana SE MA, rasio peneliti di Indonesia masih rendah,
yaitu 205, artinya baru ada 205 peneliti per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan
Korsel yang memiliki rasio 4.627, Jepang 5.573, atau Singapura dengan rasio 6.088
(Tempo.com, 11/9/14). Tahun 2012 rasio peneliti di Tiongkok mencapai 1.000,
yakni ada 1.000 peneliti per 1 juta penduduk, Thailand (800) dan Malaysia
(1.500). Belum lagi jika berbicara anggaran yang dikucurkan negara untuk riset
di negara kita masih jauh dari harapan. Besar alokasi dana riset masih di bawah
1% dari APBN, bahkan 2000-2009 tidak ada kenaikan. Anggaran 1969 yang
disisihkan untuk riset 5% dari APBN, sementara tahun 2009 hanya 0,5% (Vivanews.com,
16/9/14).
Ada tiga permasalahan yang
melingkupi dunia riset kita. Pertama; minat meneliti masih rendah, kedua;
jumlah peneliti relatif masih sedikit, dan ketiga; masih rendahnya keberpihakan
dan komitmen mendorong tumbuhnya budaya meneliti, baik melalui kebijakan
sistemik maupun penganggaran.
Penulis teringat ketika Rektor
Unissula Anis Malik Thoha MA PhD beberapa waktu lalu menceritakan bagaimana ia
memimpin lembaga publikasi riset di tempat mengajarnya dulu di Malaysia. Sebuah
lembaga publikasi riset yang terdiri atas 30-an dosen berkualifikasi doktor dan
profesor yang secara spesifik dan serius bekerja hingga menghasilkan berbagai
riset dan publikasi ilmiah berkelas internasional.
Dikatakan pula, para peneliti
patuh pada etika riset. Para peneliti diberi penghargaan yang pantas. Bahkan
ada limit penelitian tertentu yang harus dipenuhi seorang staf pengajar
perguruan tinggi, dan jika tidak terpenuhi maka ada ’’sanksi’’ akademik sebagai
konsekuensi seorang pengajar yang sejatinya memang punya kewajiban meneliti.
Memanen Hasil
Pendidikan tinggi di Malaysia berhasil
membuat sistem yang bagus, termasuk dalam hal kebijakan riset sehingga tidak
mengherankan bila saat ini mereka mulai memanen hasil manisnya. Jika kita jujur
bertanya apakah sistem seperti itu telah dibudayakan di pendidikan tinggi
ataupun lembaga riset di negara kita?
Padahal amanah Pasal 20 Ayat 2 UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara tegas
mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Tri darma itu sebenarnya bisa menuntun lembaga
pendidikan tinggi bergerak ke sistem yang baik.
Karena itu, wacana pembentukan Kemdiktiristek
bisa dibaca secara cerdas sebagai terobosan positif. Pasalnya, negara dengan
ragam potensi riset ilmiah yang luar biasa ini sesungguhnya bisa menghasilkan
berbagai riset terapan berkualitas. Berbagai riset berkualitas dan tepat guna
itu diharapkan menopang dunia usaha dan memperkuat jangkar perekonomian Indonesia
menjadi lebih tangguh dalam percaturan global. Itu artinya hal yang tak kalah
penting adalah bukan sekadar penyatuan atau pengintegrasian satu, dua, atau
tiga lembaga melainkan sejauh mana membangun sistem yang bisa menjawab
tantangan masa mendatang sekaligus membentuk budaya unggul yang bisa mengakselerasi
langkah menuju kemajuan. (10)
— Nurkholis Mistari, Kepala Divisi
Humas Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
Sumber : epaper SM edisi RABU, 22
OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment