Sudharto P Hadi |
PASANGAN Joko Widodo-Jusuf Kalla
resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Antusiasme warga menyambut pemimpin
baru sungguh luar biasa. Tak berlebihan kalau dikatakan syukuran rakyat
menyambut Jokowi-JK adalah yang terbesar sepanjang sejarah.
Mereka melakukan dengan spontan
dan tulus. Para sukarelawan patungan untuk membiayai acara. Pedagang mi ayam yang
biasanya menjual dagangan Rp 13.000 per porsi rela menurunkan harga menjadi Rp
10.000 untuk warga yang tengah syukuran.
Bahkan banyak pedagang makanan
yang rela menggratiskan jualannya. Berbagai kelompok musik tampil di Monas
tanpa bayaran. Sejak berkampanye sebagai presiden, Jokowi merintis keswadayaan
dengan menghimpun dana kampanye melalui sumbangan masyarakat yang tanpa pamrih.
Sebuah fenomena langka di tengah kecenderungan kehidupan berbangsa yang
mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok.
Magnet apa yang mendorong warga
rela melakukan semua itu? Jokowi bukan saja dipandang sebagai representasi wong
cilik, karena sejak menjadi wali kota Solo sampai gubernur DKI program-programnya
selalu menukik pada pengentasan kemiskinan, akses kesehatan dan pendidikan,
serta penataan pedagang kaki lima.
Jokowi juga dipandang
memanusiakan kelompok masyarakat kelas bawah karena mereka merasa diajak
rembukan dalam program-program yang akan dilaksanakan. Mulai penataan PKL di
Semanggi, Solo, penertiban pedagang di Tanah Abang, sampai pembenahan Waduk
Pluit.
Dalam banyak kesempatan, Jokowi
selalu mengatakan bahwa sekarang rakyat tidak hanya ingin dilayani, tetapi juga
dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidupnya. Melalui
blusukan, Jokowi mendengarkan kata hati rakyat dan menuangkan dalam bentuk
program dan kegiatan yang konkret. Jokowi telah mampu melaksanakan peran
sebagai barefoot mayordan barefoot governor(wali kota dan gubernur kaki
telanjang), maksudnya pemimpin yang dekat dengan rakyat. Sebuah istilah yang
diadopsi dari ilmu perencanaan, yakni perencana yang baik adalah yang tidak
hanya duduk di belakang meja dan menetapkan penggunaan ruang dengan spidol
berwarna.
Membaur
Perencana ideal adalah yang bersedia
membaur dengan masyarakat, mendengarkan keluhan, kebutuhan, dan aspirasi serta
menuangkan dalam bentuk program dan kegiatan. Model inilah yang disebut sebagai
barefoot planneratau perencana kaki telanjang.
Syukuran rakyat di Ibu Kota dan
berbagai belahan Tanah Air sebagai bentuk dukungan terhadap Jokowi tampaknya
juga merupakan respons terhadap ulah para politikus di parlemen yang
mempertontonkan kekuatan demi kepentingan kelompoknya. Syukuran rakyat ini seakan ingin menegaskan
bahwa jika para wakil rakyat di parlemen memboikot pelantikan Jokowi, mereka
siap ‘’melantik’’ sendiri karena Jokowi adalah presiden pilihan rakyat.
Jika disimak dari nawacita Jokowi
yang diilhami dari spirit Tri Sakti Bung Karno, yakni berdaulat di bidang
politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan,
maka napas kerakyatan sangat kental sekaligus merupakan antitesis terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Keinginan menghadirkan kembali
negara untuk melindungi dan memberi rasa aman kepada seluruh warga menjadi
jawaban atas persoalan masyarakat yang sering termarginalkan oleh keputusan
pembangunan dan kekuatan pemilik modal untuk menggusur.
Tekad membangun tata kelola pemerintahan
yang baik dan menegakkan hukum diharapkan mampu memotong mata rantai gurita
korupsi yang menggerogoti kekayaan negara. Membangun Indonesia dari pinggiran bermakna
ganda. Pertama, memperkuat daerah
perbatasan yang sering disebut sebagai daerah terluar dan terdepan yang
rata-rata kondisinya lebih buruk dari negara tetangga. Daerah ini memerlukan
penanganan serius agar rasa sebagai bangsa Indonesia masih tetap kuat berakar
dalam sanubari mereka.
Kedua, daerah pinggiran dalam
arti daerah hinterland yang selama ini sumber dayanya baik dalam bentuk tenaga kerja
dan modal tersedot oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kota yang lebih besar.
Hal ini karena hubungan hulu dan hilir (backward-forward linkage) tidak
berjalan dengan baik.
Mewujudkan kemandirian dan
meningkatkan produktivitas rakyat merupakan jawaban atas persoalan ekonomi kita
yang tidak mandiri. Kita adalah bangsa maritim dan agraris tetapi menjadi
importir komoditas pertanian dan perikanan seperti beras, kedelai, gula,
terigu, garam, dan ikan.
Selama ini pembangunan ekonomi
kita bertumpu pada industri manufaktur yang berorientasi ekspor tetapi tidak berbasis
ekonomi lokal. Industri yang foot-loseini tidak memberikan nilai tambahan
lokal, kecuali tenaga kerja dengan upah yang murah.
Kemandirian Pangan
Program ini akan difokuskan pada
kemandirian pangan dan dalam jangka waktu tiga tahun tercapai swasembada. Kata kunci
untuk mewujudkan program-program di atas tertuang dalam cita yang kedelapan, yakni
melakukan revolusi karakter bangsa atau yang lebih dikenal dengan revolusi
mental yang menghendaki perubahan paradigma, cara berpikir para penyelenggara
negara untuk kembali kepada khitah Pancasila. Khitah itu yakni mengutamakan
kepentingan umun di atas kepentingan pribadi dan golongan, jujur, dan bekerja
untuk rakyat yang dilandasi sikap empati.
Dalam
konteks pembangunan sektor lingkungan, revolusi mental harus dipahami sebagaiperubahan
paradigma untuk kembali kepada prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan
aspek ekonomi (pertumbuhan), pemerataan, dan kelestarian lingkungan.
Sejauh ini pertumbuhan ekonomi
yang menjadi panglima yang sesungguhnya mengorbankan aspek lingkungan dan sosial.
Sebab, angka pertumbuhan yang terus dipacu mengandung rupiah yang harus
dialokasikan untuk pemulihan lingkungan dan depresiasi atas deplesi
(menipisnya) sumber daya alam. Sayang, kita semua gandrung dengan pertumbuhan semu
yang menyedot modal sumber daya alam dan memorak-porandakan lingkungan tempat
kita hidup.
Akankah Jokowi meneruskan kebiasaan
blusukannya sehingga kelak kita nobatkan sebagai barefoot president? Dalam berbagai
kesempatan, Jokowi menyatakan bahwa blusukan yang ia akan lakukan sebagai presiden
tentu berbeda dari ketika sebagai wali kota dan gubernur. Cakupan wilayah yang
membentang demikian luas tidak memungkinkan bagi Jokowi untuk secara in person
blusukan ke semua sudut negeri. Untuk segera bisa memahami persoalan dan mempercepat
pengambilan keputusan, Jokowi akan menggunakan e-blusukan.
Namun, sifat dan sikap
kerakyatannya rasanya masih terus melekat pada diri Jokowi. Gaya kepemimpinan
yang demikian diharapkan mampu menginspirasi semua pemimpin di semua lini sehingga
harapan Jokowi agar Indonesia menjadi negara yang kuat dan bermartabat segera
terwujud. (59)
— Sudharto P Hadi,dosen Universitas
Diponegoro
Sumber : epaper SM edisi SELASA,
21 OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment