Tuesday, 21 October 2014

Jokowi adalah Harapan

Sudharto P Hadi
PASANGAN Joko Widodo-Jusuf Kalla resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Antusiasme warga menyambut pemimpin baru sungguh luar biasa. Tak berlebihan kalau dikatakan syukuran rakyat menyambut Jokowi-JK adalah yang terbesar sepanjang sejarah.
Mereka melakukan dengan spontan dan tulus. Para sukarelawan patungan untuk membiayai acara. Pedagang mi ayam yang biasanya menjual dagangan Rp 13.000 per porsi rela menurunkan harga menjadi Rp 10.000 untuk warga yang tengah syukuran.
Bahkan banyak pedagang makanan yang rela menggratiskan jualannya. Berbagai kelompok musik tampil di Monas tanpa bayaran. Sejak berkampanye sebagai presiden, Jokowi merintis keswadayaan dengan menghimpun dana kampanye melalui sumbangan masyarakat yang tanpa pamrih. Sebuah fenomena langka di tengah kecenderungan kehidupan berbangsa yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok.
Magnet apa yang mendorong warga rela melakukan semua itu? Jokowi bukan saja dipandang sebagai representasi wong cilik, karena sejak menjadi wali kota Solo sampai gubernur DKI program-programnya selalu menukik pada pengentasan kemiskinan, akses kesehatan dan pendidikan, serta penataan pedagang kaki lima.
Jokowi juga dipandang memanusiakan kelompok masyarakat kelas bawah karena mereka merasa diajak rembukan dalam program-program yang akan dilaksanakan. Mulai penataan PKL di Semanggi, Solo, penertiban pedagang di Tanah Abang, sampai pembenahan Waduk Pluit.
Dalam banyak kesempatan, Jokowi selalu mengatakan bahwa sekarang rakyat tidak hanya ingin dilayani, tetapi juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidupnya. Melalui blusukan, Jokowi mendengarkan kata hati rakyat dan menuangkan dalam bentuk program dan kegiatan yang konkret. Jokowi telah mampu melaksanakan peran sebagai barefoot mayordan barefoot governor(wali kota dan gubernur kaki telanjang), maksudnya pemimpin yang dekat dengan rakyat. Sebuah istilah yang diadopsi dari ilmu perencanaan, yakni perencana yang baik adalah yang tidak hanya duduk di belakang meja dan menetapkan penggunaan ruang dengan spidol berwarna.
Membaur
Perencana ideal adalah yang bersedia membaur dengan masyarakat, mendengarkan keluhan, kebutuhan, dan aspirasi serta menuangkan dalam bentuk program dan kegiatan. Model inilah yang disebut sebagai barefoot planneratau perencana kaki telanjang.
Syukuran rakyat di Ibu Kota dan berbagai belahan Tanah Air sebagai bentuk dukungan terhadap Jokowi tampaknya juga merupakan respons terhadap ulah para politikus di parlemen yang mempertontonkan kekuatan demi kepentingan kelompoknya.  Syukuran rakyat ini seakan ingin menegaskan bahwa jika para wakil rakyat di parlemen memboikot pelantikan Jokowi, mereka siap ‘’melantik’’ sendiri karena Jokowi adalah presiden pilihan rakyat.
Jika disimak dari nawacita Jokowi yang diilhami dari spirit Tri Sakti Bung Karno, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan, maka napas kerakyatan sangat kental sekaligus merupakan antitesis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Keinginan menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberi rasa aman kepada seluruh warga menjadi jawaban atas persoalan masyarakat yang sering termarginalkan oleh keputusan pembangunan dan kekuatan pemilik modal untuk menggusur.
Tekad membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan menegakkan hukum diharapkan mampu memotong mata rantai gurita korupsi yang menggerogoti kekayaan negara. Membangun Indonesia dari pinggiran bermakna ganda.  Pertama, memperkuat daerah perbatasan yang sering disebut sebagai daerah terluar dan terdepan yang rata-rata kondisinya lebih buruk dari negara tetangga. Daerah ini memerlukan penanganan serius agar rasa sebagai bangsa Indonesia masih tetap kuat berakar dalam sanubari mereka.
Kedua, daerah pinggiran dalam arti daerah hinterland yang selama ini sumber dayanya baik dalam bentuk tenaga kerja dan modal tersedot oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kota yang lebih besar. Hal ini karena hubungan hulu dan hilir (backward-forward linkage) tidak berjalan dengan baik.
Mewujudkan kemandirian dan meningkatkan produktivitas rakyat merupakan jawaban atas persoalan ekonomi kita yang tidak mandiri. Kita adalah bangsa maritim dan agraris tetapi menjadi importir komoditas pertanian dan perikanan seperti beras, kedelai, gula, terigu, garam, dan ikan.
Selama ini pembangunan ekonomi kita bertumpu pada industri manufaktur yang berorientasi ekspor tetapi tidak berbasis ekonomi lokal. Industri yang foot-loseini tidak memberikan nilai tambahan lokal, kecuali tenaga kerja dengan upah yang murah.
Kemandirian Pangan
Program ini akan difokuskan pada kemandirian pangan dan dalam jangka waktu tiga tahun tercapai swasembada. Kata kunci untuk mewujudkan program-program di atas tertuang dalam cita yang kedelapan, yakni melakukan revolusi karakter bangsa atau yang lebih dikenal dengan revolusi mental yang menghendaki perubahan paradigma, cara berpikir para penyelenggara negara untuk kembali kepada khitah Pancasila. Khitah itu yakni mengutamakan kepentingan umun di atas kepentingan pribadi dan golongan, jujur, dan bekerja untuk rakyat yang dilandasi sikap empati.
Dalam konteks pembangunan sektor lingkungan, revolusi mental harus dipahami sebagaiperubahan paradigma untuk kembali kepada prinsip pembangunan berkelanjutan yang memadukan aspek ekonomi (pertumbuhan), pemerataan, dan kelestarian lingkungan.
Sejauh ini pertumbuhan ekonomi yang menjadi panglima yang sesungguhnya mengorbankan aspek lingkungan dan sosial. Sebab, angka pertumbuhan yang terus dipacu mengandung rupiah yang harus dialokasikan untuk pemulihan lingkungan dan depresiasi atas deplesi (menipisnya) sumber daya alam. Sayang, kita semua gandrung dengan pertumbuhan semu yang menyedot modal sumber daya alam dan memorak-porandakan lingkungan tempat kita hidup.
Akankah Jokowi meneruskan kebiasaan blusukannya sehingga kelak kita nobatkan sebagai barefoot president? Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menyatakan bahwa blusukan yang ia akan lakukan sebagai presiden tentu berbeda dari ketika sebagai wali kota dan gubernur. Cakupan wilayah yang membentang demikian luas tidak memungkinkan bagi Jokowi untuk secara in person blusukan ke semua sudut negeri. Untuk segera bisa memahami persoalan dan mempercepat pengambilan keputusan, Jokowi akan menggunakan e-blusukan.
Namun, sifat dan sikap kerakyatannya rasanya masih terus melekat pada diri Jokowi. Gaya kepemimpinan yang demikian diharapkan mampu menginspirasi semua pemimpin di semua lini sehingga harapan Jokowi agar Indonesia menjadi negara yang kuat dan bermartabat segera terwujud. (59)
— Sudharto P Hadi,dosen Universitas Diponegoro

Sumber : epaper SM edisi SELASA, 21 OKTOBER 2014

No comments:

Post a Comment