Monday, 6 October 2014

Kemenangan Figur Transformatif

Oleh : Muchamad Yuliyanto*
KEMENANGANJokowi-Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014 dengan perolehan 53,15% suara sudah diprediksi sejak awal melalui berbagai survei. Deraan kampanye hitam secara masif tidak menggeser keyakinan pemilih (stabil voters) untuk memberikan mandat kepadanya. Pilpres kali ini lebih menonjolkan faktor individu pasangan calon yang melekat, di antaranya, pertama; indentifikasi diri. Jokowi merepresentasikan diri sebagai masyarakat biasa, berkarier dari bawah, sederhana, jujur, responsif, dan apa adanya sehingga menjadi simbol gerakan populisme.  
Kedua; sebagai capres bermodal keberhasilan dan prestasi kerja saat memimpin pemerintahan, ia mendapat liputan media secara kontinu sehingga menjadikannya sebagai figur yang digandrungi publik. Ketiga; gagasan yang ditawarkan amat taktis, mudah dipahami dan rasional, Selain itu, memberi harapan perubahan gaya kepemimpinan yang transformatif mengusung motivasi, moral, perubahan, dan kebijakan prorakyat.  
Keempat; ia didampingi JK, pekerja keras dengan gaya kepemimpinan taktis. Jusuf Kalla membukakan mata rakyat bahwa figur dari Indonesia Timur itu kapabel memimpin saat kapan pun, antara lain ketika ia berhasil memimpin Golkar dan memajukan PMI. Kelima; keberhasilan komunikasi interaksional melalui silaturahmi dengan opinion leaderdiikuti komunikasi di tengah rakyat, memperkuat keyakinan pemilih akan ketulusan dan keseriusannya memperbaiki masa depan bangsa. Mengubah ’’Mindset’’
Keenam; dukungan beragam latar belakang tokoh dengan argumen tertarik kepribadian dan gaya kepemimpinan Jokowi-JK menunjukkan akseptabilitas tinggi meskipun Jokowi orang biasa. Realitas ini memperkuat kegandrungan pemilih sehingga injury timepun tidak mampu mengubah orientasi pilihan meski ’’diterpa’’lima kali debat capres. Hal itu amat dirasakan di Bali, Jatim, dan Jateng. Ketujuh; koalisi ramping partai pengusung JokowiJK sejak awal berhasil mengubah mindsetpublik bahwa perilaku pragmatis transaksional yang lekat dalam perpolitikan ternyata dapat direduksi. Pernyataan Jokowi tentang koalisi tanpa syarat yang terus diopinikan makin menarik pemilih kelas menengah/atas yang rasional, kritis, mudah berubah pilihan dan sering dikategorikan swing voters, yang angkanya masih 12,5%.
Pemilih makin mantap ketika menyimak debat capres putaran terakhir. Lalu mereka bergerak diam-diam melalui media sosial atau berkomunikasi antarpersonal di lingkungan keluarga dan peer group. Merekalah sesungguhnya pendulang suara kemenangan Jokowi-JK.
Kedelapan; model komunikasi politik interaksional Jokowi-JK berhasil menciptakan kedekatan psikologis untuk memudahkan penetrasi harapan perubahan yang lebih baik. Diksi komunikasi yang sederhana, aplikatif, taktis, dan diaksentuasi niat pribadi yang menonjol telah menggerakkan sentimen figur yang terus menguat. Kesembilan; PDIP sebagai mesin utama pengusung cukup solid dan berhasil menggerakkan seluruh elemen partai, terutama di Jateng, Jatim, Bali, dan Sulawesi.  Gerakan pemenangan dibangun secara struktural dilengkapi figur Jokowi yang populis makin meyakinkan jaringan sukarelawan untuk bergerak habis-habisan sampai hari coblosan. Adapun PKB yang memiliki basis konstituen loyalis, kali ini lebih dominan pada gerakan elemen NU, terutama di Jatim, Jateng dan sebagian Jawa Barat. Hal ini karena representasi JK di jajaran PBNU.
Kesepuluh; komunikasi politik interaksional Jokowi berimplikasi terbentuknya homopili komunikasi dengan publik, ditandai simbol baju kotak-kotak, bahasa rakyat dan penampilan pribadi yang dapat mengubur jarak psikologis dengan rakyat awam di seluruh pelosok Nusantara.
Kesebelas; gerakan endorsementyang dilakukan para tokoh berkredibilitas tinggi di sekitar Jokowi-JK berimplikasi pada penguatan orientasi pilihan publik. Misal kehadiran Ahmad Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, Khofifah, Sarlito Wirawan, hingga grup Slank.
Keduabelas; kontribusi sukarelawan muda melek ICT yang bergerak melalui media sosial sebagai media komunikasi politik memperkuat kepastian bakal kemenangan Jokowi.
Pertarungan Ideologi Pilpres 2014 lebih terasa sebagai pertarungan ideologi antara populis-transformatif yang mengusung gerakan revolusi mental di satu sisi dan elitis-imperatif yang menjanjikan penguatan harga diri bangsa, kepemimpinan kuat, dan kebangkitan nasionalisme ekonomi di sisi lain. Adapun fenomena baru praktik demokrasi dan kepemimpinan hasil pilpres adalah, pertama; figur Jokowi mereduksi kekuatan plutokrasi dalam sirkulasi praktik demokrasi sebagai jalan memilih pemimpin.Tampilnya orang biasa dari bawah dengan keunggulan prestasi dan populistik jelas tak ada dalam plutokrasi.
Kedua; kemenangan Jokowi mempercepat regenerasi kepemimpinan tanpa beban masa lalu yang bersifat bottom updari keberhasilan aras lokal menuju nasional.Ketiga; proses politik pilpres terasa lebih orisinal dan menjadi antitesis politik pencitraan ataupun wacana koalisi besar yang sering gamang dan sarat transaksional-pragmatis.
Keempat; Jokowi memunculkan harapan terhadap kepemimpinan transformatif untuk memajukan bangsa dan rakyat. Apalagi ia terbebas dari transaksi yang bisa menyandera kepemimpinan lima tahun mendatang.
Selamat bekerja Pak Jokowi-Pak JK, rakyat menunggu janji kalian. (10).
*Muchamad Yuliyanto, dosen Komunikasi Politik FISIP Universitas Diponegoro, pengelola Lembaga Pengkajian Survei Indonesia (LPSI) Jawa

Sumber : epaper SM edisi Kamis, 24 Juli 2014

No comments:

Post a Comment