Oleh : Muchamad
Yuliyanto*
KEMENANGANJokowi-Jusuf Kalla
dalam Pilpres 2014 dengan perolehan 53,15% suara sudah diprediksi sejak awal
melalui berbagai survei. Deraan kampanye hitam secara masif tidak menggeser
keyakinan pemilih (stabil voters) untuk memberikan mandat kepadanya. Pilpres
kali ini lebih menonjolkan faktor individu pasangan calon yang melekat, di
antaranya, pertama; indentifikasi diri. Jokowi merepresentasikan diri sebagai
masyarakat biasa, berkarier dari bawah, sederhana, jujur, responsif, dan apa
adanya sehingga menjadi simbol gerakan populisme.
Kedua; sebagai capres bermodal
keberhasilan dan prestasi kerja saat memimpin pemerintahan, ia mendapat liputan
media secara kontinu sehingga menjadikannya sebagai figur yang digandrungi
publik. Ketiga; gagasan yang ditawarkan amat taktis, mudah dipahami dan rasional,
Selain itu, memberi harapan perubahan gaya kepemimpinan yang transformatif
mengusung motivasi, moral, perubahan, dan kebijakan prorakyat.
Keempat; ia didampingi JK,
pekerja keras dengan gaya kepemimpinan taktis. Jusuf Kalla membukakan mata
rakyat bahwa figur dari Indonesia Timur itu kapabel memimpin saat kapan pun,
antara lain ketika ia berhasil memimpin Golkar dan memajukan PMI. Kelima; keberhasilan
komunikasi interaksional melalui silaturahmi dengan opinion leaderdiikuti
komunikasi di tengah rakyat, memperkuat keyakinan pemilih akan ketulusan dan
keseriusannya memperbaiki masa depan bangsa. Mengubah ’’Mindset’’
Keenam; dukungan beragam latar
belakang tokoh dengan argumen tertarik kepribadian dan gaya kepemimpinan
Jokowi-JK menunjukkan akseptabilitas tinggi meskipun Jokowi orang biasa.
Realitas ini memperkuat kegandrungan pemilih sehingga injury timepun tidak
mampu mengubah orientasi pilihan meski ’’diterpa’’lima kali debat capres. Hal
itu amat dirasakan di Bali, Jatim, dan Jateng. Ketujuh; koalisi ramping partai
pengusung JokowiJK sejak awal berhasil mengubah mindsetpublik bahwa perilaku
pragmatis transaksional yang lekat dalam perpolitikan ternyata dapat direduksi.
Pernyataan Jokowi tentang koalisi tanpa syarat yang terus diopinikan makin menarik
pemilih kelas menengah/atas yang rasional, kritis, mudah berubah pilihan dan
sering dikategorikan swing voters, yang angkanya masih 12,5%.
Pemilih makin mantap ketika
menyimak debat capres putaran terakhir. Lalu mereka bergerak diam-diam melalui
media sosial atau berkomunikasi antarpersonal di lingkungan keluarga dan peer
group. Merekalah sesungguhnya pendulang suara kemenangan Jokowi-JK.
Kedelapan; model komunikasi
politik interaksional Jokowi-JK berhasil menciptakan kedekatan psikologis untuk
memudahkan penetrasi harapan perubahan yang lebih baik. Diksi komunikasi yang
sederhana, aplikatif, taktis, dan diaksentuasi niat pribadi yang menonjol telah
menggerakkan sentimen figur yang terus menguat. Kesembilan; PDIP sebagai mesin
utama pengusung cukup solid dan berhasil menggerakkan seluruh elemen partai,
terutama di Jateng, Jatim, Bali, dan Sulawesi. Gerakan pemenangan dibangun secara struktural dilengkapi
figur Jokowi yang populis makin meyakinkan jaringan sukarelawan untuk bergerak
habis-habisan sampai hari coblosan. Adapun PKB yang memiliki basis konstituen
loyalis, kali ini lebih dominan pada gerakan elemen NU, terutama di Jatim,
Jateng dan sebagian Jawa Barat. Hal ini karena representasi JK di jajaran PBNU.
Kesepuluh; komunikasi politik
interaksional Jokowi berimplikasi terbentuknya homopili komunikasi dengan publik,
ditandai simbol baju kotak-kotak, bahasa rakyat dan penampilan pribadi yang
dapat mengubur jarak psikologis dengan rakyat awam di seluruh pelosok Nusantara.
Kesebelas; gerakan
endorsementyang dilakukan para tokoh berkredibilitas tinggi di sekitar
Jokowi-JK berimplikasi pada penguatan orientasi pilihan publik. Misal kehadiran
Ahmad Syafii Maarif, Hasyim Muzadi, Khofifah, Sarlito Wirawan, hingga grup
Slank.
Keduabelas; kontribusi
sukarelawan muda melek ICT yang bergerak melalui media sosial sebagai media komunikasi
politik memperkuat kepastian bakal kemenangan Jokowi.
Pertarungan Ideologi Pilpres 2014
lebih terasa sebagai pertarungan ideologi antara populis-transformatif yang
mengusung gerakan revolusi mental di satu sisi dan elitis-imperatif yang menjanjikan
penguatan harga diri bangsa, kepemimpinan kuat, dan kebangkitan nasionalisme
ekonomi di sisi lain. Adapun fenomena baru praktik demokrasi dan kepemimpinan
hasil pilpres adalah, pertama; figur Jokowi mereduksi kekuatan plutokrasi dalam
sirkulasi praktik demokrasi sebagai jalan memilih pemimpin.Tampilnya orang
biasa dari bawah dengan keunggulan prestasi dan populistik jelas tak ada dalam
plutokrasi.
Kedua; kemenangan Jokowi
mempercepat regenerasi kepemimpinan tanpa beban masa lalu yang bersifat bottom
updari keberhasilan aras lokal menuju nasional.Ketiga; proses politik pilpres
terasa lebih orisinal dan menjadi antitesis politik pencitraan ataupun wacana koalisi
besar yang sering gamang dan sarat transaksional-pragmatis.
Keempat; Jokowi memunculkan
harapan terhadap kepemimpinan transformatif untuk memajukan bangsa dan rakyat.
Apalagi ia terbebas dari transaksi yang bisa menyandera kepemimpinan lima tahun
mendatang.
Selamat bekerja Pak Jokowi-Pak
JK, rakyat menunggu janji kalian. (10).
*Muchamad Yuliyanto, dosen
Komunikasi Politik FISIP Universitas Diponegoro, pengelola Lembaga Pengkajian
Survei Indonesia (LPSI) Jawa
Sumber : epaper SM edisi Kamis, 24 Juli 2014
No comments:
Post a Comment