Oleh A Zaini Bisri
DRAMA Senayan memosisikan Jokowi
sebagai presiden terpilih yang kalah koalisi dalam pertarungan politik di parlemen
dengan skor akhir 0-5. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) kalah dalam voting
pengesahan UU Pilkada dan UU MD3, paket pimpinan DPR dan alat-alat kelengkapannya,
peraturan tata tertib, serta paket pimpinan MPR.
Setelah penguasaan parlemen oleh Koalisi
Merah Putih (KMP), Jokowi menyadari tidak ada peluang mengubah komposisi
dukungan bagi pemerintahannya. Tidak ada lagi tawaran bagi KMP untuk mengisi
kabinetnya nanti.
Sejak awal, kegagalan memecah kekuatan
KMP, sekaligus menciptakan keseimbangan koalisi, ternyata disebabkan oleh
faktor yang ’’sepele’’: keinginan SBY untuk ditelepon langsung oleh Megawati
tidak kesampaian. Komunikasi politik antara pimpinan tertinggi Partai Demokrat
dan PDIP itu bumpet.
Di media sosial, netizen menanggapi
kejadian itu secara kocak. Terhadap keluhan Puan Maharani yang tidak ditemui
SBY setelah menunggu berjam-jam, ada netizen berkomentar: ’’Mending setengah
hari, SBY menunggu ketemu Bu Mega sudah 10 tahun!’’
Di mata sejumlah pengamat,
kegagalan itu patut disayangkan. Kebuntuan lobi dan negosiasi PDIP disebabkan
partai pemenang Pileg 2014 ini tidak menempatkan dirinya sejajar dengan partai
lain, dalam hal ini Demokrat, yang ingin digaet ke dalam koalisi Jokowi- JK.
Bagaimanapun, Demokrat masih berkuasa dan punya posisi tawar.
Akibatnya, PDIP bersama
koalisinya (Nasdem dan PKB) harus menelan kekalahan beruntun di Senayan. Ada yang
menilai, mindset PDIP masih sebagai partai oposisi, bukan partai pemenang pileg
dan pilpres yang semestinya memiliki bargaining position terhadap partai-partai
lain.
Mengingat kembali pidato Megawati
dalam Rakernas IV PDIP di Semarang, akhir drama di Senayan itulah yang dimakudkanya
sebagai ujian. Ujian bagi PDIP sebagai partai penguasa yang selama ini berada
di luar pemerintahan. Benar, reorientasi politik partai tidak semudah membalik
telapak tangan.
Pelantikan Presiden
Dalam perebutan kursi pimpinan MPR,
koalisi PDIP sebenarnya berpeluang menang setelah PPP bergabung. Di atas
kertas, paket pimpinan MPR yang diusulkan PDIP didukung 529 suara melawan 313
suara pendukung paket pimpinan MPR yang diusung KMP.
Namun, paket KMP dengan
mencantumkan Oesman Sapta (DPD) sebagai salah satu wakil ketua, rupanya
berhasil memecah 132 suara DPD. Jangan lupa, banyak anggota DPD yang juga
berasal dari partai-partai KMP. Senioritas dan pengalaman tokoh dalam paket KMP
juga tampaknya menarik perhatian anggota MPR.
Satu hal yang melegakan adalah
pernyataan Zulkifli Hasan sebagai ketua MPR yang baru. Dia menyatakan, MPR siap
melantik presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober nanti. Dia
membantah tudingan-tudingan bahwa pihaknya akan menjegal dan mengganggu
pemerintahan Jokowi-JK dengan mengatakan, ”Itu pikiran yang aneh, kami siap
sukseskan pemerintahan dan pembangunan Indonesia dari pusat sampai daerah.”
Pihak PDIP dan Jokowi juga sudah memberi
ucapan selamat kepada pimpinan MPR yang baru. Hal ini menandai tradisi demokrasi
yang baik dalam awal tugas lembaga yang secara ideologis penting itu.
Dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia setelah amendemen UUD 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. MPR
hanya salah satu dari lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Kendati demikian,
peran MPR dalam proses legitimasi kenegaraan tetap penting.
Sistem Presidensial
Salah satu dari lima kesepakatan dalam
amendemen UUD 1945 adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
Penguatan sistem presidensialisme bertujuan untuk menghadirkan sistem
pemerintahan yang kuat berdasarkan prinsip saling mengoreksi dan mengimbangi
(checks and balances).
Pembagian kekuasaan (separation
of power) pada masing-masing lembaga negara berpedoman pada prinsip tersebut. Akibatnya,
tidak ada satu pun lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga lainnya.
Lembaga tertinggi negara dihapuskan karena konsep kedaulatan tidak lagi
memberikan kewenangan luar biasa pada lembaga tertentu.
Kekuasaan tertinggi tetap berada
di tangan rakyat dan dijalankan menurut UUD. Karena itu, presiden bertanggung jawab
kepada konstitusi (prinsip supremasi konstitusi). Lembaga presiden dan DPR
sederajat dan saling terpisah, tidak bisa saling intervensi. Presiden tidak
bisa membubarkan parlemen dan sebaliknya.
Praktik presidensialisme di
Indonesia tampaknya lebih dekat pada konsep pemisahan kekuasaan dari
Montesquieu (Soehino, 2000). Sistem
pemerintahan terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan dan
kepala negara. Posisi presiden sentral dan signifikan dibandingkan dengan
aktor-aktor dan lembaga politik lainnya.
Dalam konsep Montesquieu,
kekuasaan eksekutif terpisah dari kekuasaan legislatif, dan eksekutif tidak
bertanggung jawab kepada legislatif. Kendati demikian, rentang kekuasaan
presiden tidak hanya menyentuh wilayah eksekutif, tetapi juga sedikit banyak
melingkupi proses legislasi dan kewenangan di yudikatif. Dari konsep itu, Jokowi
tidak perlu khawatir dengan kekuatan KMP di legislatif. Dengan legitimasi yang
tinggi dan rentang kekuasaan yang besar, dia tinggal mengemas komunikasi
politik agar lembaga kepresidenan menjadi leading sector bagi lembaga-lembaga
negara lainnya.
— A Zaini Bisri, wartawan Suara
Merdeka, mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Sumber : epaper SM hal 6 edisi
Kamis, 09 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment