Monday 13 October 2014

Kekuatan Presidensialisme

Oleh A Zaini Bisri
DRAMA Senayan memosisikan Jokowi sebagai presiden terpilih yang kalah koalisi dalam pertarungan politik di parlemen dengan skor akhir 0-5. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) kalah dalam voting pengesahan UU Pilkada dan UU MD3, paket pimpinan DPR dan alat-alat kelengkapannya, peraturan tata tertib, serta paket pimpinan MPR.
Setelah penguasaan parlemen oleh Koalisi Merah Putih (KMP), Jokowi menyadari tidak ada peluang mengubah komposisi dukungan bagi pemerintahannya. Tidak ada lagi tawaran bagi KMP untuk mengisi kabinetnya nanti.
Sejak awal, kegagalan memecah kekuatan KMP, sekaligus menciptakan keseimbangan koalisi, ternyata disebabkan oleh faktor yang ’’sepele’’: keinginan SBY untuk ditelepon langsung oleh Megawati tidak kesampaian. Komunikasi politik antara pimpinan tertinggi Partai Demokrat dan PDIP itu bumpet.
Di media sosial, netizen menanggapi kejadian itu secara kocak. Terhadap keluhan Puan Maharani yang tidak ditemui SBY setelah menunggu berjam-jam, ada netizen berkomentar: ’’Mending setengah hari, SBY menunggu ketemu Bu Mega sudah 10 tahun!’’
Di mata sejumlah pengamat, kegagalan itu patut disayangkan. Kebuntuan lobi dan negosiasi PDIP disebabkan partai pemenang Pileg 2014 ini tidak menempatkan dirinya sejajar dengan partai lain, dalam hal ini Demokrat, yang ingin digaet ke dalam koalisi Jokowi- JK. Bagaimanapun, Demokrat masih berkuasa dan punya posisi tawar.
Akibatnya, PDIP bersama koalisinya (Nasdem dan PKB) harus menelan kekalahan beruntun di Senayan. Ada yang menilai, mindset PDIP masih sebagai partai oposisi, bukan partai pemenang pileg dan pilpres yang semestinya memiliki bargaining position terhadap partai-partai lain.
Mengingat kembali pidato Megawati dalam Rakernas IV PDIP di Semarang, akhir drama di Senayan itulah yang dimakudkanya sebagai ujian. Ujian bagi PDIP sebagai partai penguasa yang selama ini berada di luar pemerintahan. Benar, reorientasi politik partai tidak semudah membalik telapak tangan.
Pelantikan Presiden
Dalam perebutan kursi pimpinan MPR, koalisi PDIP sebenarnya berpeluang menang setelah PPP bergabung. Di atas kertas, paket pimpinan MPR yang diusulkan PDIP didukung 529 suara melawan 313 suara pendukung paket pimpinan MPR yang diusung KMP.
Namun, paket KMP dengan mencantumkan Oesman Sapta (DPD) sebagai salah satu wakil ketua, rupanya berhasil memecah 132 suara DPD. Jangan lupa, banyak anggota DPD yang juga berasal dari partai-partai KMP. Senioritas dan pengalaman tokoh dalam paket KMP juga tampaknya menarik perhatian anggota MPR.
Satu hal yang melegakan adalah pernyataan Zulkifli Hasan sebagai ketua MPR yang baru. Dia menyatakan, MPR siap melantik presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober nanti. Dia membantah tudingan-tudingan bahwa pihaknya akan menjegal dan mengganggu pemerintahan Jokowi-JK dengan mengatakan, ”Itu pikiran yang aneh, kami siap sukseskan pemerintahan dan pembangunan Indonesia dari pusat sampai daerah.”
Pihak PDIP dan Jokowi juga sudah memberi ucapan selamat kepada pimpinan MPR yang baru. Hal ini menandai tradisi demokrasi yang baik dalam awal tugas lembaga yang secara ideologis penting itu.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah amendemen UUD 1945, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. MPR hanya salah satu dari lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Kendati demikian, peran MPR dalam proses legitimasi kenegaraan tetap penting.
Sistem Presidensial
Salah satu dari lima kesepakatan dalam amendemen UUD 1945 adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Penguatan sistem presidensialisme bertujuan untuk menghadirkan sistem pemerintahan yang kuat berdasarkan prinsip saling mengoreksi dan mengimbangi (checks and balances).
Pembagian kekuasaan (separation of power) pada masing-masing lembaga negara berpedoman pada prinsip tersebut. Akibatnya, tidak ada satu pun lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga lainnya. Lembaga tertinggi negara dihapuskan karena konsep kedaulatan tidak lagi memberikan kewenangan luar biasa pada lembaga tertentu.
Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan rakyat dan dijalankan menurut UUD. Karena itu, presiden bertanggung jawab kepada konstitusi (prinsip supremasi konstitusi). Lembaga presiden dan DPR sederajat dan saling terpisah, tidak bisa saling intervensi. Presiden tidak bisa membubarkan parlemen dan sebaliknya.
Praktik presidensialisme di Indonesia tampaknya lebih dekat pada konsep pemisahan kekuasaan dari Montesquieu (Soehino, 2000).  Sistem pemerintahan terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Posisi presiden sentral dan signifikan dibandingkan dengan aktor-aktor dan lembaga politik lainnya.
Dalam konsep Montesquieu, kekuasaan eksekutif terpisah dari kekuasaan legislatif, dan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada legislatif. Kendati demikian, rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh wilayah eksekutif, tetapi juga sedikit banyak melingkupi proses legislasi dan kewenangan di yudikatif. Dari konsep itu, Jokowi tidak perlu khawatir dengan kekuatan KMP di legislatif. Dengan legitimasi yang tinggi dan rentang kekuasaan yang besar, dia tinggal mengemas komunikasi politik agar lembaga kepresidenan menjadi leading sector bagi lembaga-lembaga negara lainnya.
— A Zaini Bisri, wartawan Suara Merdeka, mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Diponegoro

Sumber : epaper SM hal 6 edisi Kamis, 09 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment