Ibadah Kurban termasuk salah satu
dari sekian ibadah mahdhah (ritual), yaitu yang sudah ditentukan oleh Allah
bentuk, kadar, dan waktunya. Tak boleh ditambahi atau dikurangi sebagaimana
ibadah mahdhah lain seperti shalat, zakat, dan haji. Kalau ada kreasi, itu
hanya terkait teknis sepanjang tidak
mengubah atau bertentangan dengan yang prinsip.
Kita patut mensyukuri gegap
gempita umat Islam merayakan Idul Adha. Dari tahun ke tahun, di berbagai masjid
dan mushala digelar penyembelihan, pengelolaan, hingga pendistribusian daging
kurban.
Hanya pada beberapa titik
tertentu, yakni proses tata kelola hewan kurban, banyak panitia menerabas rambu
syariat, dalam hal ini fikih kurban. Penyebabnya, karena ketidaktahuan (kurang
ilmu) ataupun pasrah terhadap tradisi yang sudah turun-temurun kendati tradisi
itu menyelisihi kaidah syar’i. Setidak-tidaknya ada tiga praktik keliru yang
kerap terjadi pada sejumlah kepanitiaan penyembelihan hewan kurban. Pertama;
panitia memberi upah jagal dari hasil sembelihan hewan, seperti daging, kaki,
atau kepala hewan kurban, yang sebenarnya menyelisihi syar’i.
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam Minhajul
Muslim menyatakan orang yang menyembelih hewan kurban tidak diberi upah (karena
kerjanya) dari hewan kurban, karena Ali bin Abi Thalib ra pun berkata,
”Rasulullah Saw menyuruhku mengurus untanya, bersedekah dengan daging, kulit,
dan kotorannya, serta tidak memberi penyembelihnya sedikit pun dari padanya. Ia
aku beri dari jatahku.” (HR At-Tirmidzi).
Imam Nawawi mengatakan, ”Tak boleh
memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan kurban sebagai upah. Inilah
pendapat ulama Syafi’iyyah, juga pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam
Ahmad, dan Ishaq.” (dalam Syarh Muslimsebagaimana dikutip Muhammad Abduh
Tuasikal; 2014: 87).
Yang tepat adalah pekurban (orang
yang berkurban) memberikan secukupnya biaya operasional kepada panitia, selain
menyerahkan hewan kurbannya. Jadi upah jagal diambil dari biaya operasional
itu, bukan dari hasil sembelihan. Andai tukang jagal mendapat bagian dari
sembelihan kurban, boleh saja namun bukan dalam kapasitas sebagai penjagal
(sebagai upah) melainkan penerima sedekah kurban seperti lainnya (seandainya
jagal itu miskin).
Sikap Kasar
Kedua; panitia menjual sesuatu dari
hewan kurban. Mayoritas ulama tidak membolehkan menjual sesuatu darinya (hewan
kurban), baik berupa kulit, tanduk, bulu, atau yang lain. (Al-MajmuĆ: 8/382
sebagaimana dikutip Abdul Karim; 2014).
Ketiga; berkait proses
penyembelihan, terutama saat merebahkan hewan kurban. Masih banyak dijumpai
sikap kasar terhadap hewan kurban, tidak memperhatikan situasi ’’batin’’dan
”psikologi” hewan kurban yang akan disembelih. Hewan sebagaimana juga manusia,
tidak nyaman bila diperlakukan dengan kasar.
Rasulullah Saw bersabda,’’
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap
sesuatu. Jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu
menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu dan
senangkanlah hewan sembelihanmu.” (HR Muslim).
Banyak terjadi, proses merebahkan
hewan kurban, terutama sapi, seringnya melibatkan banyak orang dan berlangsung ’’dramatis.’’
Hewan kurbannya bahkan merasakan kondisi itu sehingga menjadi resisten, bahkan
ada kasus sapi berontak dan mengamuk ketika akan disembelih.
Padahal bila tahu teknisnya,
merebahkan sapi besar sekalipun tak membutuhkan banyak orang tapi cukup 2-3 orang
sehingga ’’kenyamanan’’ sapi relatif lebih mudah dikondisikan. Edukasi dan
pelatihan tentang teknis penyembelihan hewan secara benar dan syar’i masih
perlu digiatkan demi kesempurnaan tata kelola penyelenggaraan ibadah kurban.
(10)
— Badiatul Muchlisin Asti, Ketua
Yayasan Mutiara Ilma Nafia Kabupaten Grobogan
Sumber : epaper SM hal 7 edisi 2
Oktober 2014
No comments:
Post a Comment