Friday 10 October 2014

Rambu Fikih Berkurban

Ibadah Kurban termasuk salah satu dari sekian ibadah mahdhah (ritual), yaitu yang sudah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar, dan waktunya. Tak boleh ditambahi atau dikurangi sebagaimana ibadah mahdhah lain seperti shalat, zakat, dan haji. Kalau ada kreasi, itu hanya terkait teknis  sepanjang tidak mengubah atau bertentangan dengan yang prinsip.


Kita patut mensyukuri gegap gempita umat Islam merayakan Idul Adha. Dari tahun ke tahun, di berbagai masjid dan mushala digelar penyembelihan, pengelolaan, hingga pendistribusian daging kurban.

Hanya pada beberapa titik tertentu, yakni proses tata kelola hewan kurban, banyak panitia menerabas rambu syariat, dalam hal ini fikih kurban. Penyebabnya, karena ketidaktahuan (kurang ilmu) ataupun pasrah terhadap tradisi yang sudah turun-temurun kendati tradisi itu menyelisihi kaidah syar’i. Setidak-tidaknya ada tiga praktik keliru yang kerap terjadi pada sejumlah kepanitiaan penyembelihan hewan kurban. Pertama; panitia memberi upah jagal dari hasil sembelihan hewan, seperti daging, kaki, atau kepala hewan kurban, yang sebenarnya menyelisihi syar’i.

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam Minhajul Muslim menyatakan orang yang menyembelih hewan kurban tidak diberi upah (karena kerjanya) dari hewan kurban, karena Ali bin Abi Thalib ra pun berkata, ”Rasulullah Saw menyuruhku mengurus untanya, bersedekah dengan daging, kulit, dan kotorannya, serta tidak memberi penyembelihnya sedikit pun dari padanya. Ia aku beri dari jatahku.” (HR At-Tirmidzi).

Imam Nawawi mengatakan, ”Tak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan kurban sebagai upah. Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah, juga pendapat Atha’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Ishaq.” (dalam Syarh Muslimsebagaimana dikutip Muhammad Abduh Tuasikal; 2014: 87).

Yang tepat adalah pekurban (orang yang berkurban) memberikan secukupnya biaya operasional kepada panitia, selain menyerahkan hewan kurbannya. Jadi upah jagal diambil dari biaya operasional itu, bukan dari hasil sembelihan. Andai tukang jagal mendapat bagian dari sembelihan kurban, boleh saja namun bukan dalam kapasitas sebagai penjagal (sebagai upah) melainkan penerima sedekah kurban seperti lainnya (seandainya jagal itu miskin).

Sikap Kasar

Kedua; panitia menjual sesuatu dari hewan kurban. Mayoritas ulama tidak membolehkan menjual sesuatu darinya (hewan kurban), baik berupa kulit, tanduk, bulu, atau yang lain. (Al-MajmuĆ­: 8/382 sebagaimana dikutip Abdul Karim; 2014).

Ketiga; berkait proses penyembelihan, terutama saat merebahkan hewan kurban. Masih banyak dijumpai sikap kasar terhadap hewan kurban, tidak memperhatikan situasi ’’batin’’dan ”psikologi” hewan kurban yang akan disembelih. Hewan sebagaimana juga manusia, tidak nyaman bila diperlakukan dengan kasar.

Rasulullah Saw bersabda,’’ Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu. Jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu dan senangkanlah hewan sembelihanmu.” (HR Muslim).

Banyak terjadi, proses merebahkan hewan kurban, terutama sapi, seringnya melibatkan banyak orang dan berlangsung ’’dramatis.’’ Hewan kurbannya bahkan merasakan kondisi itu sehingga menjadi resisten, bahkan ada kasus sapi berontak dan mengamuk ketika akan disembelih.

Padahal bila tahu teknisnya, merebahkan sapi besar sekalipun tak membutuhkan banyak orang tapi cukup 2-3 orang sehingga ’’kenyamanan’’ sapi relatif lebih mudah dikondisikan. Edukasi dan pelatihan tentang teknis penyembelihan hewan secara benar dan syar’i masih perlu digiatkan demi kesempurnaan tata kelola penyelenggaraan ibadah kurban. (10)

— Badiatul Muchlisin Asti, Ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia Kabupaten Grobogan

Sumber : epaper SM hal 7 edisi 2 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment