Monday, 13 October 2014

Prospek Perppu Pilkada

Oleh Agus Riewanto
PRESIDEN SBY akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perpu Pilkada) dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (SM, 3/10/14). Ia menempuh langkah itu setelah menerima protes dan kecaman publik atas pengesahan RUU Pilkada yang mengubah mekanisme pemilihan, dari langsung menjadi lewat perwakilan (DPRD).
Penerbitan perppu sesungguhnya merupakan usaha konstitusional untuk menolak pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada dengan menyertakan 10 syarat perbaikan. Artinya, tanpa mengubah mekanisme pilkada langsung dan menolak UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, guna mencabut dua pasal yang memberi kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah.
Berlakunya perppu bergantung penilaian objektif DPR. Pranata konstitusi melalui Pasal 22 Ayat 1 memang memberi mandat kepada presiden untuk mengeluarkan perppu dalam kondisi ”kegentingan yang memaksa”. Persoalannya, UUD 1945 tidak menerjemahkan secara rinci makna kedaruratan tersebut sehingga ada kebebasan menerjemahkannya secara subjektif.
Adapun objektivitas perlunya perppu bergantung konstelasi politik di DPR, sebagaimana dinyatakan Pasal 22 Ayat 30 UUD 1945. Andai DPR menolak perppu tersebut berarti terjadi kekosongan hukum penyelenggaraan pilkada. Sebaliknya, bila menerima perppu berarti UU Nomor 22 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tidak lagi berlaku. Namun parlemen masih harus bersidang membahas mekanisme perbaikan dan sinkronisasi antarpasal berkait perppu tersebut pada sidang berikutnya.
Setelah final, barulah bisa menjadi UU untuk guna mengantikan UU Pilkada yang lama. DPR akan menerima atau menolak perppu tersebut? Marilah kita lihat realitas dukungan politik 10 fraksi di DPR, dengan 560 ”wakil rakyat yang terhormat”. Bila membaca sikap kubu yang mendukung pilkada langsung, yang digalang Koalisi Indonesia Hebat (KIB) yang terdiri atas PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura, berarti ada 268 suara.
Di pihak lain, Koalisi Merah Putih yang terdiri atas Golkar, PAN, PKS, PPP, Demokrat, dan Gerindra, yang memotori gerakan pilkada lewat DPRD, memiliki 292 suara. Andai dilakukan voting, dan tidak satu pun membelot, dipastikan Koalisi Merah Putih menang dengan selisih 24 suara.
Bila fakta itu kita jadikan rujukan maka mudah dibaca perppu yang dikeluarkan SBY sia-sia belaka, bahkan bisa dikatakan basa-basi. Padahal, SBY dan Demokrat pasti telah membaca risiko risiko penolakan DPR atas perppu tersebut. Makna terdalam dari penerbitan perppu tersebut hanyalah upaya SBY mencari selamat, dengan kembali melemparkan persoalan itu ke DPR.
Bukan Penentu
Ikhtiar yang ditempuh SBY, selain memanfaatkan pranata UUD 1945 yang memberi otoritas untuk menerbitkan perppu juga guna menjawab aneka tudingan dan kecaman terhadap dirinya. Pascasidang paripurna DPR, dalam dua hari Presiden SBY menjadi trending topicTwitter, yang intinya mengecamnya.
Bila tak ada situasi politik luar biasa, besar kemungkinan DPR menolak perppu tersebut. Pembacaan logika itu bisa dianalisis dari sikap Fraksi Partai Demokrat dalam pemilihan ketua DPR yang justru merapat ke Koalisi Merah Putih hingga akhirnya mendapat jatah wakil ketua DPR. Lebih dari itu, posisi Demokrat di DPR 2014-2019 tak lagi menjadi penentu karena memiliki ”hanya” 61 kursi. Bandingkan dengan tahun 2009-2014 ketika Demokrat memiliki 128 kursi yang sangat menentukan ”hitam-putihnya” parlemen.
Sebenarnya, SBY bisa berjuang menolak pilkada lewat DPRD sebelum RUU Pilkada itu disahkan jadi undang-undang. Soalnya, Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 telah menyediakan pranata konstitusional bagi presiden untuk menolak RUU menjadi UU pada saat pembahasannya di sidang paripurna DPR pada 26 September 2014 lalu.  Namun SBY dan Demokrat tak memanfaatkan peluang dari pranata konstitusi tersebut. Alih-alih menolak RUU, Demokrat malah memilih walk out dalam sidang paripurna. Padahal, waktu itu sangat mudah bagi SBY menolak RUU Pilkada dengan memerintah mendagri sebagai wakil pemerintah, untuk menarik RUU Pilkada yang lagi dibahas. Pranata konstitusi Pasal 20 Ayat 1 tersebut jauh lebih ampuh bila dimanfaatkan SBY untuk menolak mekanisme pilkada lewat DPRD ketimbang menggunakan Pasal 22 Ayat 1 yang menerbitkan perppu untuk menolak UU Pilkada.
Publik bisa menebak bahwa penerbitan perppu oleh SBY bukan murni hendak menunaikan tugas menolak UU Pilkada melainkan hanya memanfaatkan pranata UUD 1945 sambil berharap siapa tahu DPR bersikap sama. Padahal publik pun tahu bahwa Koalisi Merah Putih sudah menguasai kursi DPR. Andai dilakukan pembahasan dan berujung voting, koalisi itu yang sedari awal menghendaki pilkada lewat DPRD, pasti menang. (10)
— Dr Agus Riewanto, dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

Sumber: epaper SM hal 6 edisi Selasa, 6 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment