Oleh Agus Riewanto
PRESIDEN SBY akhirnya menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perpu Pilkada) dan Perppu Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (SM, 3/10/14). Ia menempuh langkah itu setelah menerima protes dan
kecaman publik atas pengesahan RUU Pilkada yang mengubah mekanisme pemilihan,
dari langsung menjadi lewat perwakilan (DPRD).
Penerbitan perppu sesungguhnya
merupakan usaha konstitusional untuk menolak pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun
2014 tentang Pilkada dengan menyertakan 10 syarat perbaikan. Artinya, tanpa
mengubah mekanisme pilkada langsung dan menolak UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemda, guna mencabut dua pasal yang memberi kewenangan kepada DPRD untuk
memilih kepala daerah.
Berlakunya perppu bergantung
penilaian objektif DPR. Pranata konstitusi melalui Pasal 22 Ayat 1 memang
memberi mandat kepada presiden untuk mengeluarkan perppu dalam kondisi
”kegentingan yang memaksa”. Persoalannya, UUD 1945 tidak menerjemahkan secara
rinci makna kedaruratan tersebut sehingga ada kebebasan menerjemahkannya secara
subjektif.
Adapun objektivitas perlunya
perppu bergantung konstelasi politik di DPR, sebagaimana dinyatakan Pasal 22
Ayat 30 UUD 1945. Andai DPR menolak perppu tersebut berarti terjadi kekosongan
hukum penyelenggaraan pilkada. Sebaliknya, bila menerima perppu berarti UU
Nomor 22 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tidak lagi berlaku. Namun
parlemen masih harus bersidang membahas mekanisme perbaikan dan sinkronisasi
antarpasal berkait perppu tersebut pada sidang berikutnya.
Setelah final, barulah bisa
menjadi UU untuk guna mengantikan UU Pilkada yang lama. DPR akan menerima atau
menolak perppu tersebut? Marilah kita lihat realitas dukungan politik 10 fraksi
di DPR, dengan 560 ”wakil rakyat yang terhormat”. Bila membaca sikap kubu yang
mendukung pilkada langsung, yang digalang Koalisi Indonesia Hebat (KIB) yang
terdiri atas PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura, berarti ada 268 suara.
Di pihak lain, Koalisi Merah
Putih yang terdiri atas Golkar, PAN, PKS, PPP, Demokrat, dan Gerindra, yang
memotori gerakan pilkada lewat DPRD, memiliki 292 suara. Andai dilakukan
voting, dan tidak satu pun membelot, dipastikan Koalisi Merah Putih menang
dengan selisih 24 suara.
Bila fakta itu kita jadikan
rujukan maka mudah dibaca perppu yang dikeluarkan SBY sia-sia belaka, bahkan
bisa dikatakan basa-basi. Padahal, SBY dan Demokrat pasti telah membaca risiko
risiko penolakan DPR atas perppu tersebut. Makna terdalam dari penerbitan
perppu tersebut hanyalah upaya SBY mencari selamat, dengan kembali melemparkan
persoalan itu ke DPR.
Bukan Penentu
Ikhtiar yang ditempuh SBY, selain
memanfaatkan pranata UUD 1945 yang memberi otoritas untuk menerbitkan perppu juga
guna menjawab aneka tudingan dan kecaman terhadap dirinya. Pascasidang paripurna
DPR, dalam dua hari Presiden SBY menjadi trending topicTwitter, yang intinya
mengecamnya.
Bila tak ada situasi politik luar
biasa, besar kemungkinan DPR menolak perppu tersebut. Pembacaan logika itu bisa
dianalisis dari sikap Fraksi Partai Demokrat dalam pemilihan ketua DPR yang
justru merapat ke Koalisi Merah Putih hingga akhirnya mendapat jatah wakil
ketua DPR. Lebih dari itu, posisi Demokrat di DPR 2014-2019 tak lagi menjadi
penentu karena memiliki ”hanya” 61 kursi. Bandingkan dengan tahun 2009-2014
ketika Demokrat memiliki 128 kursi yang sangat menentukan ”hitam-putihnya” parlemen.
Sebenarnya, SBY bisa berjuang
menolak pilkada lewat DPRD sebelum RUU Pilkada itu disahkan jadi undang-undang.
Soalnya, Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 telah menyediakan pranata konstitusional bagi
presiden untuk menolak RUU menjadi UU pada saat pembahasannya di sidang
paripurna DPR pada 26 September 2014 lalu. Namun SBY dan Demokrat tak memanfaatkan
peluang dari pranata konstitusi tersebut. Alih-alih menolak RUU, Demokrat malah
memilih walk out dalam sidang paripurna. Padahal, waktu itu sangat mudah bagi SBY
menolak RUU Pilkada dengan memerintah mendagri sebagai wakil pemerintah, untuk
menarik RUU Pilkada yang lagi dibahas. Pranata konstitusi Pasal 20 Ayat 1
tersebut jauh lebih ampuh bila dimanfaatkan SBY untuk menolak mekanisme pilkada
lewat DPRD ketimbang menggunakan Pasal 22 Ayat 1 yang menerbitkan perppu untuk
menolak UU Pilkada.
Publik bisa menebak bahwa
penerbitan perppu oleh SBY bukan murni hendak menunaikan tugas menolak UU
Pilkada melainkan hanya memanfaatkan pranata UUD 1945 sambil berharap siapa
tahu DPR bersikap sama. Padahal publik pun tahu bahwa Koalisi Merah Putih sudah
menguasai kursi DPR. Andai dilakukan pembahasan dan berujung voting, koalisi
itu yang sedari awal menghendaki pilkada lewat DPRD, pasti menang. (10)
— Dr Agus Riewanto, dosen Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Sumber: epaper SM hal 6 edisi
Selasa, 6 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment