Oleh Lilis Sugiharti
Tanggal 2 Oktober diperingati
sebagai Hari Batik Nasional. Hal ini berawal sejak tanggal 2 Oktober 2009, saat UNESCO menetapkan
batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non bendawi
(Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Kini, lima tahun sudah kekayaan batik
Nusantara lebih mendunia. Dan selama itu pulalah produksi batik di Indonesia
mulai meningkat dan berkembang. Kesenian batik dikenal di Indonesia sejak zaman
Kerajaan Majapahit dan terus berkembang pada kerajaan-kerajaan berikutnya. Dari
beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masamasa Kerajaan
Mataram, kemudian pada masa Kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik mulai meluas dan menjadi
milik rakyat Indonesia, khususnya suku Jawa, setelah akhir abad ke-18 atau awal
abad ke-19. Batik yang dihasilkan adalah batik tulis. Dan pada awal abad ke-20,
atau sekitar tahun 1920, masyarakat mulai mengenal batik cap.
Pada mulanya, membatik merupakan
tradisi yang turun temurun. Batik menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja
di Nusantara. Batik dikerjakan terbatas dalam keraton, dan hasilnya hanya untuk
pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Namun, seiring perkembangan zaman
dan para pengikut kerajaan banyak yang tinggal di luar keraton, maka seni batik
semakin berkembang di luar kerajaan dan menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Pada awalnya, motif ataupun pola batik
masih didominasi dengan motif binatang dan tanaman. Namun lambat laun beralih
pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan
sebagainya. Jenis dan corak batik tradisional amat banyak, sesuai dengan
filosofi dan budaya masingmasing daerah yang beragam.
Peran Perempuan
Sejarah perkembangan industri
batik tak bisa lepas dari peran serta kaum perempuan, baik dari segi produsen maupun
konsumen. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan
membatik sebagai mata pencaharian untuk mengisi waktu senggang. Membatik
merupakan pekerjaan eksklusif perempuan.
Awalnya batik yang dihasilkan hanya
batik tulis yang cara pembuatannya dengan menggunakan canting. Untuk membuat
batik tulis, perempuanlah yang piawai dalam mengerjakannya, karena sesuai
dengan pembawaan kaum perempuan yang luwes. Dari sisi pengguna pun, sejak zaman
dulu batik banyak dipakai oleh kaum perempuan. Perempuan Jawa mengenalnya
dengan sebutan ”jarit”.
Kain ini merupakan lambang
keanggunan perempuan Jawa. RA Kartini sebagai bangsawan, dalam kesehariannya
selalu memakai kain batik. Batik motif parang yang dipakai RA Kartini adalah
pola untuk para bangsawan.
Di era modern sekarang ini, batik
banyak dipakai perempuan, bukan lagi dalam bentuk kain jarit, melainkan dalam
berbagai model pakaian sesuai dengan perkembangan dunia fashion. Batik tak lagi
digunakan hanya untuk acara-acara resmi, tetapi di berbagai kesempatan kita
bisa memakai batik. Batik tak lagi hanya
dipakai oleh orang tua, remaja dan anak-anak pun banyak yang memakainya.
Di zaman sekarang ini, para
perempuan membatik bukan hanya untuk merepresentasikan diri sebagai seniman batik,
melainkan karena tuntutan ekonomi. Mereka bekerja sebagai buruh pada juragan
batik. Kini, di tengah perkembangan industri batik yang semakin pesat, peran
serta kaum perempuan sebagai buruh batik seakan-akan terlupakan. Sudah
sepatutnya kita memberikan apresiasi yang layak bagi mereka.
Hari Batik Nasional tak hanya diperingati
dengan ramairamai berbatik ria, namun memberikan penghargaan dan apresiasi yang
nyata bagi para pekerja batik adalah jauh lebih penting. (24)
—Lilis Sugiharti,pencinta batik, mahasiswi
STIKAP YMI Wonopringgo, Pekalongan
Sumber : epaper SM hal 7 edisi
Selasa, 7 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment