Oleh : Suryandaru
Kesempatan menempuh pendidikan,
khususnya pendidikan tinggi, masih merupakan barang mewah di negeri ini.
Apalagi bagi disabilitas, terutama tunanetra. Tingkat perekonomian kebanyakan
keluarga yang mempunyai anak tunanetra relatif masih rendah, padahal biaya
pendidikan tinggi sangat mahal. Di samping itu, inklusivitas pendidikan masih belum
memadai.
Hal itu mengakibatkan secara
sadar atau tidak, di masyarakat berkembang anggapan disabilitas tidak perlu berpendidikan
tinggi karena susah menggapainya. Karena itu, DPD Persatuan Tunanetra Indonesia
(Pertuni) Jawa Tengah berupaya menerobos kesulitan tersebut. Pertuni sebagai organisasi kemasyarakatan
tunanetra menggunakan jalur kemitraan supaya peluang berkuliah bagi tunanetra
bisa terbuka. Perjuangan lewat cara ini memang lambat karena mendasarkan sisi
kemanusiaan.
Terlebih sebagai organisasi
nirlaba, Pertuni tak mempunyai kemampuan keuangan memadai, apalagi untuk memberikan
beasiswa bagi tunanetra. Satu-satunya jalan adalah mengetuk hati melalui
silaturahmi dengan berbagai pihak. Saat
ini di Jawa Tengah terdapat dua mitra PTS yang bersedia menerima dan memberi
fasilitas kuliah gratis bagi tunanetra atas rekomendasi Pertuni, yakni
Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) dan Universitas Stikubank (Unisbank).
Keduanya berlokasi di Semarang tapi mengingat cakupan kerja organisasi meliputi
Jawa Tengah maka pelajar tunanetra di provinsi ini dapat mengakses peluang ini.
Perjalanan kerja sama antara Pertuni
Jateng dan Udinus sudah berlangsung sangat lama, berawal pelatihan komputer
bicara bagi tunanetra. Waktu itu lembaga yang mengajarkan komputer bicara di
Indonesia hanya dua, yaitu Yayasan Mitra Netra di Jakarta dan Yayasan Dria
Manunggal di Yogyakarta.
Ketua DPD Pertuni Jawa Tengah
periode itu berharap tunanetra Jateng mampu mengoperasikan komputer. Untuk itu,
ia mulai mencari mitra untuk melatih. Mengingat belum banyak yang paham perihal
komputer bicara, banyak lembaga menolak. Satu-satunya yang bersedia adalah Udinus,
yang waktu itu bernama STMIK Dian Nuswantoro.
Walaupun sama-sama tidak tahu
perihal komputer bicara dan cara mengajarkan kepada tunanetra, Undinus dan
Pertuni bertekad bekerja sama menyerap ilmu komputer bicara dan menyebarkan ke
tunanetra di provinsi ini. Efek positifnya adalah saat ini komputer bicara
telah banyak berkembang, walaupun tahap selanjutnya tidak hanya Pertuni Jateng
dan Udinus yang menyelenggarakan pelatihan.
Kerja sama terus meningkat dan
salah satunya pemberian beasiswa untuk kuliah gratis bagi dua tunanetra tiap tahun
atas rekomendasi Pertuni Jawa Tengah. Hingga 2014, ada dua sarjana tunanetra
dan lima mahasiswa yang masih aktif kuliah.
Universitas swasta kedua yang
bersedia memberi beasiswa untuk kuliah gratis bagi tunanetra adalah Unisbank.
Program ini baru dimulai 2014 melalui advokasi ketika PTS itu akan meluncurkan
program peduli sosial bagi penghuni panti asuhan yatim piatu. Program tersebut meluas
bagi tunanetra atas rekomendasi Pertuni Jawa Tengah.
Apabila tunanetra hanya bersedia
kuliah setelah segala sesuatunya aksesibel maka hingga saat ini tidak ada tunanetra
yang memperoleh gelar sarjana, bahkan doktor. Di Indonesia ada
sekurang-kurangnya tiga doktor buta, padahal kondisi perkuliahan mereka jauh
sebelum adanya kemajuan teknologi seperti komputer bicara dan isu inklusif.
Hanya niat baiklah yang
menentukan tindakan pemenuhan kebutuhan para disabilitas, khususnya tunanetra.
Ternyata dengan sedikit menyisihkan keuntungan melalui program peduli sosial
atau sejenisnya, membuka peluang tunanetra menempuh pendidikan. khususnya
pedidikan tinggi. Pola yang sederhana tersebut mampu memberi harapan untuk
lebih maju. (10)
—Suryandaru SH SS,Ketua DPD
Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jawa Tengah, lulus Australia Leadership
Awards Fellowship tahun 2012 dari sNossal Institute University of Melbourne
Sumber : epaper SM hal 7 edisi
Sabtu, 4 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment