Wednesday 8 October 2014

Belajar Lewat Kepedulian Sosial

Oleh : Suryandaru
Kesempatan menempuh pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, masih merupakan barang mewah di negeri ini. Apalagi bagi disabilitas, terutama tunanetra. Tingkat perekonomian kebanyakan keluarga yang mempunyai anak tunanetra relatif masih rendah, padahal biaya pendidikan tinggi sangat mahal. Di samping itu, inklusivitas pendidikan masih belum memadai.
Hal itu mengakibatkan secara sadar atau tidak, di masyarakat berkembang anggapan disabilitas tidak perlu berpendidikan tinggi karena susah menggapainya. Karena itu, DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jawa Tengah berupaya menerobos kesulitan tersebut.  Pertuni sebagai organisasi kemasyarakatan tunanetra menggunakan jalur kemitraan supaya peluang berkuliah bagi tunanetra bisa terbuka. Perjuangan lewat cara ini memang lambat karena mendasarkan sisi kemanusiaan.
Terlebih sebagai organisasi nirlaba, Pertuni tak mempunyai kemampuan keuangan memadai, apalagi untuk memberikan beasiswa bagi tunanetra. Satu-satunya jalan adalah mengetuk hati melalui silaturahmi dengan berbagai pihak.  Saat ini di Jawa Tengah terdapat dua mitra PTS yang bersedia menerima dan memberi fasilitas kuliah gratis bagi tunanetra atas rekomendasi Pertuni, yakni Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) dan Universitas Stikubank (Unisbank). Keduanya berlokasi di Semarang tapi mengingat cakupan kerja organisasi meliputi Jawa Tengah maka pelajar tunanetra di provinsi ini dapat mengakses peluang ini.  Perjalanan kerja sama antara Pertuni Jateng dan Udinus sudah berlangsung sangat lama, berawal pelatihan komputer bicara bagi tunanetra. Waktu itu lembaga yang mengajarkan komputer bicara di Indonesia hanya dua, yaitu Yayasan Mitra Netra di Jakarta dan Yayasan Dria Manunggal di Yogyakarta.
Ketua DPD Pertuni Jawa Tengah periode itu berharap tunanetra Jateng mampu mengoperasikan komputer. Untuk itu, ia mulai mencari mitra untuk melatih. Mengingat belum banyak yang paham perihal komputer bicara, banyak lembaga menolak. Satu-satunya yang bersedia adalah Udinus, yang waktu itu bernama STMIK Dian Nuswantoro.
Walaupun sama-sama tidak tahu perihal komputer bicara dan cara mengajarkan kepada tunanetra, Undinus dan Pertuni bertekad bekerja sama menyerap ilmu komputer bicara dan menyebarkan ke tunanetra di provinsi ini. Efek positifnya adalah saat ini komputer bicara telah banyak berkembang, walaupun tahap selanjutnya tidak hanya Pertuni Jateng dan Udinus yang menyelenggarakan pelatihan.
Kerja sama terus meningkat dan salah satunya pemberian beasiswa untuk kuliah gratis bagi dua tunanetra tiap tahun atas rekomendasi Pertuni Jawa Tengah. Hingga 2014, ada dua sarjana tunanetra dan lima mahasiswa yang masih aktif kuliah.
Universitas swasta kedua yang bersedia memberi beasiswa untuk kuliah gratis bagi tunanetra adalah Unisbank. Program ini baru dimulai 2014 melalui advokasi ketika PTS itu akan meluncurkan program peduli sosial bagi penghuni panti asuhan yatim piatu. Program tersebut meluas bagi tunanetra atas rekomendasi Pertuni Jawa Tengah.
Apabila tunanetra hanya bersedia kuliah setelah segala sesuatunya aksesibel maka hingga saat ini tidak ada tunanetra yang memperoleh gelar sarjana, bahkan doktor. Di Indonesia ada sekurang-kurangnya tiga doktor buta, padahal kondisi perkuliahan mereka jauh sebelum adanya kemajuan teknologi seperti komputer bicara dan isu inklusif.
Hanya niat baiklah yang menentukan tindakan pemenuhan kebutuhan para disabilitas, khususnya tunanetra. Ternyata dengan sedikit menyisihkan keuntungan melalui program peduli sosial atau sejenisnya, membuka peluang tunanetra menempuh pendidikan. khususnya pedidikan tinggi. Pola yang sederhana tersebut mampu memberi harapan untuk lebih maju. (10)
—Suryandaru SH SS,Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jawa Tengah, lulus Australia Leadership Awards Fellowship tahun 2012 dari sNossal Institute University of Melbourne

Sumber : epaper SM hal 7 edisi Sabtu, 4 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment