Oleh Fajar Randi Yogananda
Artikel berjudul ’’Pro-Kontra
Pemekaran Cilacap’’ (SM, 22/9/14) menarik dicermati namun ada hal yang perlu
diluruskan. Pertama; Gubernur Ganjar Pranowo melakukan pertemuan dengan Presidium
Pemekaran Cilacap Barat pada 8 September 2014. Kedua; wikipedia menulis bahwa
’’idealnya’’ Kabupaten Cilacap yang terdiri atas 24 kecamatan dipecah tiga:
pusat, barat, dan timur. Andai terbentuk Cilacap Barat dengan 10 kecamatan, berarti
tinggal membentuk wilayah pusat dan timur dengan ’’sisa’’ 14 kecamatan. Tapi
tidak bisa langsung berubah nama jadi Kabupaten Cilacap Timur, seperti halnya pemekaran
Kabupaten Bandung Barat dari Kabupaten Bandung dan kabupaten asal (Kabupaten
Bandung) tetap bernama Kabupaten Bandung.
Gairah usaha mewujudkan Cilacap
Barat yang terdiri atas 10 kecamatan, yaitu Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang,
Cimanggu, Karangpucung, Cipari, Patimuan, Kedungreja, Sidareja, dan
Gandrungmangu ’’membeku’’ setelah terbit surat gubernur (semasa Bibit Waluyo)
tanggal 18 Agustus 2010, yang menolak usulan itu. Namun pada 29 Mei 2014,
Gubernur Ganjar Pranowo mecairkannya melalui janji kembali membuka ruang
komunikasi atau rembukan (SM, 29/7/13).
Gerakan pemekaran yang diinisiasi
Presidium Pemekaran kembali menggelora melalui Yayasan Alumni Pelajar Cilacap
Barat (Yapaciba). Mereka juga memperbaiki kajian kelayakan pemekaran, yang kali
pertama disusun FISIP Unsoed. Kajian itu belum menunjukan data kemampuan keuangan.
Lokasi ibu kota yang diusulkan dalam kajian itu pun masih debatable. Pasalnya,
yang diusulkan adalah Kecamatan Sidareja, bukan Majenang yang lebih
representatif karena sudah memiliki 1 rumah sakit,, 2 puskesmas, dan 8. Adapun
Sidareja baru memiliki 1 puskesmas dan 1 puskesmas pembantu (Kecamatan dalam
Angka; 2012) .
Kemajuan Majenang juga sudah
memperlihatkannya sebagai kawasan perkotaan, dengan melihat komposisi PDRB
kecamatan yang tak didominasi komponen pertanian tapi sektor terbesar ada pada
perdagangan, serta hotel dan restoran sebesar 32%, Adapun komposisi PDRB Sidareja
masih didominasi sektor pertanian sebesar 35% (PDRB Kecamatan; 2012)
Untuk menyermpunakan, presidum
menggandeng LPPM Unsoed yang kemudian bisa menunjukan data kemampuan keuangan.
Selain itu, memilih Majenang sebagai ibu kota. Perubahan analisis itu
berimplikasi pada dua hal, yakni keputusan bupati dan DPRD yang masih mendasarkan
kajian pertama.
Kapasitas Ganjar
Sejatinya, gol akhir dari
pemekaran berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2010 berada di Kemendagri dan DPR melalui
kelahiran UU Pembentukan Daerah. Lalu, apa peran provinsi? Bila diibaratkan,
provinsi saat ini adalah jembatan yang harus dilewati presidium. Hal itu sesuai
dengan Pasal 17 Huruf e PP itu yang menyebut,’’ Gubernur memutuskan untuk
menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi kajian
daerah.’’
Terkait pemekaran daerah,
Gubernur Ganjar bukanlah sosok awam. Sebelumnya, Ganjar adalah Wakil Ketua
Komisi II DPR yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri dan Otda. Hanya saat
ini ia menjadi eksekutif. Terkait evaluasi kajian pemekaran pun, publik tidak perlu
meragukan kapasitasnya, dan pertemuan dengan presidium pada 8 September 2014
menjadi salah satu bukti kekonsistenannya pada prinsip rembukan. Selain intens
berkomunikasi dengan Gubernur, presidium harus memercayai integritas dan
kapasitasnya mengevaluasi kajian kelayakan pemekaran.
Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2007 memang tidak mensyaratkan bagaimana roadmap dan strategi
pengembangan wilayah ’’calon’’ daerah pemekaran. Untuk itu pesidium pemekaran harus terus
mengedukasi masyarakat bahwa pemekaran bisa lebih mendekatkan pelayanan publik
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukannya melahirkan elite dan
penguasa baru. (10)
— Fajar Randi Yogananda, penerima
Beasiswa Unggulan Dikti, mahasiwa Magister IESP Undip
Sumber : epaper SM hal 7 edisi 2
Oktober 2014
No comments:
Post a Comment