Thursday 9 October 2014

Merembuk Lagi Pemekaran Cilacap

Oleh Fajar Randi Yogananda
Artikel berjudul ’’Pro-Kontra Pemekaran Cilacap’’ (SM, 22/9/14) menarik dicermati namun ada hal yang perlu diluruskan. Pertama; Gubernur Ganjar Pranowo melakukan pertemuan dengan Presidium Pemekaran Cilacap Barat pada 8 September 2014. Kedua; wikipedia menulis bahwa ’’idealnya’’ Kabupaten Cilacap yang terdiri atas 24 kecamatan dipecah tiga: pusat, barat, dan timur. Andai terbentuk Cilacap Barat dengan 10 kecamatan, berarti tinggal membentuk wilayah pusat dan timur dengan ’’sisa’’ 14 kecamatan. Tapi tidak bisa langsung berubah nama jadi Kabupaten Cilacap Timur, seperti halnya pemekaran Kabupaten Bandung Barat dari Kabupaten Bandung dan kabupaten asal (Kabupaten Bandung) tetap bernama Kabupaten Bandung.
Gairah usaha mewujudkan Cilacap Barat yang terdiri atas 10 kecamatan, yaitu Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karangpucung, Cipari, Patimuan, Kedungreja, Sidareja, dan Gandrungmangu ’’membeku’’ setelah terbit surat gubernur (semasa Bibit Waluyo) tanggal 18 Agustus 2010, yang menolak usulan itu. Namun pada 29 Mei 2014, Gubernur Ganjar Pranowo mecairkannya melalui janji kembali membuka ruang komunikasi atau rembukan (SM, 29/7/13).
Gerakan pemekaran yang diinisiasi Presidium Pemekaran kembali menggelora melalui Yayasan Alumni Pelajar Cilacap Barat (Yapaciba). Mereka juga memperbaiki kajian kelayakan pemekaran, yang kali pertama disusun FISIP Unsoed. Kajian itu belum menunjukan data kemampuan keuangan. Lokasi ibu kota yang diusulkan dalam kajian itu pun masih debatable. Pasalnya, yang diusulkan adalah Kecamatan Sidareja, bukan Majenang yang lebih representatif karena sudah memiliki 1 rumah sakit,, 2 puskesmas, dan 8. Adapun Sidareja baru memiliki 1 puskesmas dan 1 puskesmas pembantu (Kecamatan dalam Angka; 2012) .
Kemajuan Majenang juga sudah memperlihatkannya sebagai kawasan perkotaan, dengan melihat komposisi PDRB kecamatan yang tak didominasi komponen pertanian tapi sektor terbesar ada pada perdagangan, serta hotel dan restoran sebesar 32%, Adapun komposisi PDRB Sidareja masih didominasi sektor pertanian sebesar 35% (PDRB Kecamatan; 2012)
Untuk menyermpunakan, presidum menggandeng LPPM Unsoed yang kemudian bisa menunjukan data kemampuan keuangan. Selain itu, memilih Majenang sebagai ibu kota. Perubahan analisis itu berimplikasi pada dua hal, yakni keputusan bupati dan DPRD yang masih mendasarkan kajian pertama.
Kapasitas Ganjar
Sejatinya, gol akhir dari pemekaran berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2010 berada di Kemendagri dan DPR melalui kelahiran UU Pembentukan Daerah. Lalu, apa peran provinsi? Bila diibaratkan, provinsi saat ini adalah jembatan yang harus dilewati presidium. Hal itu sesuai dengan Pasal 17 Huruf e PP itu yang menyebut,’’ Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi kajian daerah.’’
Terkait pemekaran daerah, Gubernur Ganjar bukanlah sosok awam. Sebelumnya, Ganjar adalah Wakil Ketua Komisi II DPR yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri dan Otda. Hanya saat ini ia menjadi eksekutif. Terkait evaluasi kajian pemekaran pun, publik tidak perlu meragukan kapasitasnya, dan pertemuan dengan presidium pada 8 September 2014 menjadi salah satu bukti kekonsistenannya pada prinsip rembukan. Selain intens berkomunikasi dengan Gubernur, presidium harus memercayai integritas dan kapasitasnya mengevaluasi kajian kelayakan pemekaran.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 memang tidak mensyaratkan bagaimana roadmap dan strategi pengembangan wilayah ’’calon’’ daerah pemekaran.  Untuk itu pesidium pemekaran harus terus mengedukasi masyarakat bahwa pemekaran bisa lebih mendekatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukannya melahirkan elite dan penguasa baru. (10)
— Fajar Randi Yogananda, penerima Beasiswa Unggulan Dikti, mahasiwa Magister IESP Undip

Sumber : epaper SM hal 7 edisi 2 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment