Tuesday 14 October 2014

Akrobat Politik dan Kekuasaan



Oleh Didik G Suharto
SEJAK Pileg 2014 hingga detik ini publik tak henti-hentinya disuguhi akrobat politik para elite. Panggung politik sedemikian sesak oleh berbagai strategi, manuver, lobi, dan manipulasi para aktor itu dalam berebut kekuasaan. Publik tentu masih ingat karut-marut penyelenggaraan Pileg 2014. Selain panen gugatan sengketa, pileg juga memperlihatkan kompetisi antarcaleg dan antarparpol yang kental nuansa transaksional. Sengitnya perebutan kursi model wani pira menyebabkan kualitas demokrasi belum sepenuhnya terwujud. Semangat demokrasi dibengkokkan dan direduksi jadi  kepentingan politik pribadi atau kelompok.
Demikian pula saat Pilpres 2014, kelancaran proses pada tahap awal tidak diikuti manisnya pada tahap akhir penyelenggaraan. Kemunculan sikap kenegarawanan yang diharapkan dari semua pihak, masih jauh dari harapan. Sejumlah upaya mendelegitimasi hasil pilpres menunjukkan tiadanya keinginan untuk legawa sehingga memunculkan perseteruan tak berujung. Kompetisi antara koalisi pendukung Jokowi-JK (Koalisi Indonesia Hebat/KIH) dan koalisi pendukung Prabowo-Hatta (Koalisi Merah Putih/KMP) terus berkobar. Misal dalam pengesahan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Perubahan mekanisme pemilihan pimpinan dinilai sarat kepentingan politik. Manuver perebutan kursi pimpinan lembaga legislatif makin jelas sewaktu proses pemilihan ketua DPR. Aroma bagi-bagi kekuasaan antarparpol sudah bukan jadi rahasia lagi. Antarparpol saling rangkul dan saling jegal yang ujung-ujungnya persoalan kursi. Fenomena sejenis juga terlihat sewaktu pengesahan RUU Pilkada. Klausul pilkada tidak langsung atau melalui DPRD yang jadi isu kontroversial justru dipilih oleh mayoritas kekuatan politik di DPR. Pilihan yang melawan arus keinginan mayoritas publik tentu menimbulkan tanda tanya, kepentingan siapa yang diwakili elite politik? Benarkah pengem- balian model pemilihan perwakilan itu dalam rangka meningkatkan kualitas pemimpin lokal atau hanya rebutan jabatan kepala daerah? Harus diakui bahwa polarisasi antarparpol yang terbentuk sekarang ini ikut berkontribusi bagi persaingan politik yang cukup sengit. Masih relatif solidnya KMP dan KIH menyebabkan rivalitas antara kekuatan penguasa dan ”oposisi’ berjalan seru. Tapi ada sisi positif dari peta itu mengingat checks and balances akan lebih terjamin, yakni ada pihak yang mengontrol dan mengawasi pemerintahan dengan ketat.
Berbeda dari era sebelumnya, ketika kekuatan politik (baik penguasa maupun di luar kekuasaan) rela- tif cair sehingga checks and balances tak bekerja maksimal karena batas kekuatan antara politik penguasa dan ”oposisi” kurang jelas. Checks and balances akan bermakna positif bila dilandasi semangat mewujudkan kebaikan bersama sebagaimana filosofi dasar politik. Sebaliknya, checks and balances yang didasari semangat jegal-menjegal justru kontraproduktif bagi demokrasi. Kontrol yang bersifat destruktif akan merugikan bangsa secara keseluruhan. Rakyat teralienasi, terpinggirkan, dan jadi objek penderita dari demokrasi. Sementara, di pihak lain ada sebagian elite ”membajak” demokrasi yang ironisnya tak jarang mengatasnamakan rakyat.
Bulan-bulanan Bagi pemerintahan Jokowi-JK, kekuatan politik yang terbentuk saat ini bukanlah tanpa masalah. Risiko hambatan politik bagi pemerintahan Jokowi-JK di parlemen merupakan persoalan serius. Kebijakan Jokowi-JK sangat mungkin jadi bulan-bulanan di DPR yang didominasi kubu lawan politik. Apalagi komposisi pimpinan DPR juga dikuasai KMP. Pemerintahan Jokowi-JK harus bekerja keras untuk meyakinkan parlemen yang sangat mungkin akan terus mendelegitimasi dan menyerang pemerin- tahannya.
Selain perlu menyolidkan parpol pendukung, akan lebih efektif andai pemerintahannya menjalin ”koalisi”dengan rakyat. Selama ini, Jokowi dikenal merakyat, dan itu jadi modal penting pemerintahannya. Syaratnya, dia harus selalu memihak rakyat, kebijakannya pun wajib prorakyat. Dengan demikian rakyat siap berdiri di belakangnya, termasuk andai presiden berhadap-hadapan dengan lawan politik. Artinya, dalam politik sesungguhnya bakal terjadi kontestasi antarkekuatan untuk memperebutkan simpati publik.
Dalam kondisi publik yang makin dewasa, mereka bisa lebih cerdas menentukan pilihan. Andai politik hanya mengejar kekuasaan dan bukan dalam rangka mewujudkan kebaikan bersama maka elite politik harus bersiap-siap ditinggalkan publik. Rakyat sangat menginginkan politik yang bermakna dan beretika. Politik ”konvensional” yang mengedepankan perebutan kekuasaan, malah membuat publik antipati. Elite politik tak boleh menghalalkan secara cara dalam memperebutkan kekuasaan. Mereka tidak boleh melupakan etika dan moralitas dalam berpolitik. Mengutip pendapat Immanuel Kant, dalam berpolitik kecerdikan seperti ular merupakan faktor penting. Namun berpolitik juga memerlukan moral untuk membatasinya sebagaimana ketulusan seekor merpati. (10)
— Dr Didik G Suharto, dosen Magister Administrasi Publik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta


No comments:

Post a Comment