Oleh Didik G Suharto
SEJAK Pileg 2014 hingga detik ini publik tak henti-hentinya
disuguhi akrobat politik para elite. Panggung politik sedemikian sesak oleh
berbagai strategi, manuver, lobi, dan manipulasi para aktor itu dalam berebut
kekuasaan. Publik tentu masih ingat karut-marut penyelenggaraan Pileg 2014.
Selain panen gugatan sengketa, pileg juga memperlihatkan kompetisi antarcaleg
dan antarparpol yang kental nuansa transaksional. Sengitnya perebutan kursi
model wani pira menyebabkan kualitas demokrasi belum sepenuhnya terwujud.
Semangat demokrasi dibengkokkan dan direduksi jadi kepentingan politik
pribadi atau kelompok.
Demikian pula saat Pilpres 2014, kelancaran proses pada tahap awal
tidak diikuti manisnya pada tahap akhir penyelenggaraan. Kemunculan sikap
kenegarawanan yang diharapkan dari semua pihak, masih jauh dari harapan.
Sejumlah upaya mendelegitimasi hasil pilpres menunjukkan tiadanya keinginan
untuk legawa sehingga memunculkan perseteruan tak berujung. Kompetisi antara
koalisi pendukung Jokowi-JK (Koalisi Indonesia Hebat/KIH) dan koalisi pendukung
Prabowo-Hatta (Koalisi Merah Putih/KMP) terus berkobar. Misal dalam pengesahan
RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Perubahan mekanisme pemilihan pimpinan dinilai sarat kepentingan
politik. Manuver perebutan kursi pimpinan lembaga legislatif makin jelas
sewaktu proses pemilihan ketua DPR. Aroma bagi-bagi kekuasaan antarparpol sudah
bukan jadi rahasia lagi. Antarparpol saling rangkul dan saling jegal yang
ujung-ujungnya persoalan kursi. Fenomena sejenis juga terlihat sewaktu
pengesahan RUU Pilkada. Klausul pilkada tidak langsung atau melalui DPRD yang
jadi isu kontroversial justru dipilih oleh mayoritas kekuatan politik di DPR.
Pilihan yang melawan arus keinginan mayoritas publik tentu menimbulkan tanda
tanya, kepentingan siapa yang diwakili elite politik? Benarkah pengem- balian
model pemilihan perwakilan itu dalam rangka meningkatkan kualitas pemimpin
lokal atau hanya rebutan jabatan kepala daerah? Harus diakui bahwa polarisasi
antarparpol yang terbentuk sekarang ini ikut berkontribusi bagi persaingan
politik yang cukup sengit. Masih relatif solidnya KMP dan KIH menyebabkan
rivalitas antara kekuatan penguasa dan ”oposisi’ berjalan seru. Tapi ada sisi
positif dari peta itu mengingat checks and balances akan lebih terjamin, yakni
ada pihak yang mengontrol dan mengawasi pemerintahan dengan ketat.
Berbeda dari era sebelumnya, ketika kekuatan politik (baik
penguasa maupun di luar kekuasaan) rela- tif cair sehingga checks and balances
tak bekerja maksimal karena batas kekuatan antara politik penguasa dan
”oposisi” kurang jelas. Checks and balances akan bermakna positif bila
dilandasi semangat mewujudkan kebaikan bersama sebagaimana filosofi dasar
politik. Sebaliknya, checks and balances yang didasari semangat jegal-menjegal
justru kontraproduktif bagi demokrasi. Kontrol yang bersifat destruktif akan
merugikan bangsa secara keseluruhan. Rakyat teralienasi, terpinggirkan, dan
jadi objek penderita dari demokrasi. Sementara, di pihak lain ada sebagian
elite ”membajak” demokrasi yang ironisnya tak jarang mengatasnamakan rakyat.
Bulan-bulanan Bagi pemerintahan Jokowi-JK, kekuatan politik yang
terbentuk saat ini bukanlah tanpa masalah. Risiko hambatan politik bagi
pemerintahan Jokowi-JK di parlemen merupakan persoalan serius. Kebijakan Jokowi-JK
sangat mungkin jadi bulan-bulanan di DPR yang didominasi kubu lawan politik.
Apalagi komposisi pimpinan DPR juga dikuasai KMP. Pemerintahan Jokowi-JK harus
bekerja keras untuk meyakinkan parlemen yang sangat mungkin akan terus
mendelegitimasi dan menyerang pemerin- tahannya.
Selain perlu menyolidkan parpol pendukung, akan lebih efektif
andai pemerintahannya menjalin ”koalisi”dengan rakyat. Selama ini, Jokowi
dikenal merakyat, dan itu jadi modal penting pemerintahannya. Syaratnya, dia
harus selalu memihak rakyat, kebijakannya pun wajib prorakyat. Dengan demikian
rakyat siap berdiri di belakangnya, termasuk andai presiden berhadap-hadapan
dengan lawan politik. Artinya, dalam politik sesungguhnya bakal terjadi
kontestasi antarkekuatan untuk memperebutkan simpati publik.
Dalam kondisi publik yang makin dewasa, mereka bisa lebih cerdas
menentukan pilihan. Andai politik hanya mengejar kekuasaan dan bukan dalam
rangka mewujudkan kebaikan bersama maka elite politik harus bersiap-siap
ditinggalkan publik. Rakyat sangat menginginkan politik yang bermakna dan
beretika. Politik ”konvensional” yang mengedepankan perebutan kekuasaan, malah
membuat publik antipati. Elite politik tak boleh menghalalkan secara cara dalam
memperebutkan kekuasaan. Mereka tidak boleh melupakan etika dan moralitas dalam
berpolitik. Mengutip pendapat Immanuel Kant, dalam berpolitik kecerdikan
seperti ular merupakan faktor penting. Namun berpolitik juga memerlukan moral
untuk membatasinya sebagaimana ketulusan seekor merpati. (10)
— Dr Didik G Suharto, dosen Magister Administrasi Publik
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
No comments:
Post a Comment