Sudharto P Hadi |
PADA15 Oktober 2014, Universitas
Diponegoro (Undip) genap berusia 57 tahun. Angka ini dihitung sejak berdirinya
PTS bernama Universitas Semarang tahun 1957 yang menjadi cikal bakal Undip.
Pada Dies Natalis III tahun 1960, Presiden Soekarno mengganti namanya menjadi
Universitas Diponegoro. Seiring dengan pemberian nama tersebut, statusnya pun
berubah sebagai PTN dan ada penetapan tanggal 15 Oktober menjadi hari kelahirannya.
Usia ke-57 juga menjadi milestone
karena akan ada perubahan status Undip dari perguruan tinggi negeri badan
layanan umum (PTN BLU) menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH).
Apa konsekuensi dan implikasi dari perubahahan status tersebut?
Saat ini ada 7 PTN BH, yakni UI,
UGM, ITB, IPB, Unair, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan USU,
dan dalam perjalanannya menuju PTN BH melalui proses pengajuan proposal. Berdasarkan
penilaian Ditjen Dikti Kemdikbud, tak semua kinerja institusi itu sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan.
Dari realitas itu, Dikti mengubah
pola pembentukannya, tak lagi mendasarkan proposal tapi penilaian. Kriteria
penilaian itu mencakup produktivitas karya ilmiah internasional dosen, akreditasi
institusi dan akreditasi prodi, Kinerja sebagai PTN BLU, status laporan
keuangan, prestasi mahasiswa dan ketaatan terhadap hukum. Berdasarkan tolok
ukur itu, Dikti menetapkan 4 PTN layak mendapat mandat menjadi PTN BH, yakni
Undip, Unpad, ITS, dan Unhas.
Berdasarkan Pasal 65 UU Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTN BH memiliki antara lain otonomi tata
kelola dan pengambilan keputusan, hak mengelola dana, mengangkat/memberhentikan
dosen dan tenaga kependidikan, wewenang mendirikan badan usaha dan
mengembangkan dana abadi serta wewenang membuka, menyelenggarakan, dan menutup
prodi.
Masuknya Undip dalam jajaran PTN
BH tentu membanggakan, bukan saja bentuk pengakuan atas prestasi melainkan juga
karena membawa atribut Jawa Tengah. Dari 7 PTN BH tidak satu pun dari Jateng. Mengapa
otonomi diperlukan bagi PT?
Kata otonomi di telinga kita
masih penuh kontroversi. Ketika UU tentang Pemda digulirkan awal 2000 dan pemkab/pemkot
diberi otonomi mengelola daerahnya, berbagai implikasi muncul, di antaranya
suburnya egoisme daerah, orientasi pada PAD, dan mengabaikan aspek-aspek yang
tidak memberikan keuntungan finansial jangka pendek. Otonomi yang disandang PTN
pun awalnya membawa implikasi tidak kalah seru.
Pada tahap pertama, baru 4 PTN
dijadikan pilot projectot onomi, yakni UGM, UI, ITB dan IPB dengan label perguruan
tinggi badan hukum milik negara (PTBHMN). Segera setelah atribut otonomi
disandang, mereka seperti berlomba memasang tarif biaya pendidikan, lebih mahal
dari sebelumnya. Fenomena itu membentuk persepsi otonomi identik dengan biaya
pendidikan yang mahal.
Mengundang Protes
PTN berbadan hukum juga memulai
menerima mahasiswa baru secara mandiri sebelum pengumuman UN. Adapun porsi
jalur seleksi bersama PTN lain, sangat sedikit. Hal itu membuat PTN kecil,
terutama di luar Jawa, menjerit karena bibit-bibit unggul sudah tersedot PTN
besar sebelum siswa dinyatakan lulus SMA. PTN BHMN juga membentuk berbagai
usaha yang tak terkait dengan core business-nya, semisal membuat mall.
Banyak pelajaran bisa dipetik
dari PTN yang mempraktikkan otonomi. Selama 4 tahun ini Dikti menata sistem
seleksi penerimaan mahasiswa baru agar transparan, akuntabel, dan tidak
diskriminatif. Biaya pendidikan diupayakan memenuhi aspek keadilan dan keterjangkauan.
Dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, ditetapkan sekurang-kurangnya 60%
dilakukan bersama-sama secara nasional.
Langkah itu juga berisiko karena
seleksi penerimaan mahasiswa yang mendasarkan pada prestasi akademik belum
ditunjang oleh vailiditas dan kredibilitas nilai rapor SLTA. Ketentuan lain
adalah ujian seleksi mandiri harus dilaksanakan setelah seleksi nasional secara
bersama.
UU Nomor 12 Tahun 2012 juga
mewajibkan PTN membantu 20% mahasiswa tidak mampu dari keseluruhan yang
diterima. Agar terjadi subsidi silang, biaya pendidikan ditetapkan dengan uang
kuliah tunggal (UKT) dan PTN membuat 5-7 penggolongan, di mana mahasiswa tidak
mampu hanya dikenai biaya berdasarkan golongan 1 (Rp 0-Rp 500 ribu) atau
golongan 2 (Rp 500 ribu-Rp 1 juta).
Golongan 1 dan 2 ditetapkan
masing-masing minimal 5 %. Jumlah ini di luar mahasiswa penerima Bidikmisi yang
tiap tahun minimal 15 % dan juga di luar mahasiswa penerima bea siswa dari
berbagai sumber.
Memiliki kewenangan membuka dan
menutup program studi, merupakan bentuk pengakuan bahwa perguruan tinggi
tersebut telah dewasa dalam mengelola proses akademiknya. Proses penjaminan
mutu secara internal dipandang telah berjalan dengan baik. Dengan otonomi
dipastikan tidak akan ada sebuah prodi terlambat memperpanjang status
akreditasinya.
Demikian juga pengelola PT harus
memiliki jiwa wirausaha. Aset yang dimiliki harus didayagunakan untuk bisa
menghasilkan keuntungan guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Hasil-hasil
riset perlu diarahkan untuk upaya-upaya inovatif dalam meningkatkan daya saing
bangsa. (10)
— Sudharto P Hadi, Rektor
Universitas Diponegoro
Sumber : epaper SM hal 6 edisi SABTU,
18 OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment