Monday, 20 October 2014

Otonomi Kampus di Dalam Harmoni

Sudharto P Hadi
PADA15 Oktober 2014, Universitas Diponegoro (Undip) genap berusia 57 tahun. Angka ini dihitung sejak berdirinya PTS bernama Universitas Semarang tahun 1957 yang menjadi cikal bakal Undip. Pada Dies Natalis III tahun 1960, Presiden Soekarno mengganti namanya menjadi Universitas Diponegoro. Seiring dengan pemberian nama tersebut, statusnya pun berubah sebagai PTN dan ada penetapan tanggal 15 Oktober menjadi hari kelahirannya.
Usia ke-57 juga menjadi milestone karena akan ada perubahan status Undip dari perguruan tinggi negeri badan layanan umum (PTN BLU) menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH). Apa konsekuensi dan implikasi dari perubahahan status tersebut?
Saat ini ada 7 PTN BH, yakni UI, UGM, ITB, IPB, Unair, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan USU, dan dalam perjalanannya menuju PTN BH melalui proses pengajuan proposal. Berdasarkan penilaian Ditjen Dikti Kemdikbud, tak semua kinerja institusi itu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Dari realitas itu, Dikti mengubah pola pembentukannya, tak lagi mendasarkan proposal tapi penilaian. Kriteria penilaian itu mencakup produktivitas karya ilmiah internasional dosen, akreditasi institusi dan akreditasi prodi, Kinerja sebagai PTN BLU, status laporan keuangan, prestasi mahasiswa dan ketaatan terhadap hukum. Berdasarkan tolok ukur itu, Dikti menetapkan 4 PTN layak mendapat mandat menjadi PTN BH, yakni Undip, Unpad, ITS, dan Unhas.
Berdasarkan Pasal 65 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, PTN BH memiliki antara lain otonomi tata kelola dan pengambilan keputusan, hak mengelola dana, mengangkat/memberhentikan dosen dan tenaga kependidikan, wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi serta wewenang membuka, menyelenggarakan, dan menutup prodi.
Masuknya Undip dalam jajaran PTN BH tentu membanggakan, bukan saja bentuk pengakuan atas prestasi melainkan juga karena membawa atribut Jawa Tengah. Dari 7 PTN BH tidak satu pun dari Jateng. Mengapa otonomi diperlukan bagi PT?
Kata otonomi di telinga kita masih penuh kontroversi. Ketika UU tentang Pemda digulirkan awal 2000 dan pemkab/pemkot diberi otonomi mengelola daerahnya, berbagai implikasi muncul, di antaranya suburnya egoisme daerah, orientasi pada PAD, dan mengabaikan aspek-aspek yang tidak memberikan keuntungan finansial jangka pendek. Otonomi yang disandang PTN pun awalnya membawa implikasi tidak kalah seru.
Pada tahap pertama, baru 4 PTN dijadikan pilot projectot onomi, yakni UGM, UI, ITB dan IPB dengan label perguruan tinggi badan hukum milik negara (PTBHMN). Segera setelah atribut otonomi disandang, mereka seperti berlomba memasang tarif biaya pendidikan, lebih mahal dari sebelumnya. Fenomena itu membentuk persepsi otonomi identik dengan biaya pendidikan yang mahal.
Mengundang Protes
PTN berbadan hukum juga memulai menerima mahasiswa baru secara mandiri sebelum pengumuman UN. Adapun porsi jalur seleksi bersama PTN lain, sangat sedikit. Hal itu membuat PTN kecil, terutama di luar Jawa, menjerit karena bibit-bibit unggul sudah tersedot PTN besar sebelum siswa dinyatakan lulus SMA. PTN BHMN juga membentuk berbagai usaha yang tak terkait dengan core business-nya, semisal membuat mall.
Banyak pelajaran bisa dipetik dari PTN yang mempraktikkan otonomi. Selama 4 tahun ini Dikti menata sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru agar transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif. Biaya pendidikan diupayakan memenuhi aspek keadilan dan keterjangkauan. Dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, ditetapkan sekurang-kurangnya 60% dilakukan bersama-sama secara nasional.
Langkah itu juga berisiko karena seleksi penerimaan mahasiswa yang mendasarkan pada prestasi akademik belum ditunjang oleh vailiditas dan kredibilitas nilai rapor SLTA. Ketentuan lain adalah ujian seleksi mandiri harus dilaksanakan setelah seleksi nasional secara bersama.
UU Nomor 12 Tahun 2012 juga mewajibkan PTN membantu 20% mahasiswa tidak mampu dari keseluruhan yang diterima. Agar terjadi subsidi silang, biaya pendidikan ditetapkan dengan uang kuliah tunggal (UKT) dan PTN membuat 5-7 penggolongan, di mana mahasiswa tidak mampu hanya dikenai biaya berdasarkan golongan 1 (Rp 0-Rp 500 ribu) atau golongan 2 (Rp 500 ribu-Rp 1 juta).
Golongan 1 dan 2 ditetapkan masing-masing minimal 5 %. Jumlah ini di luar mahasiswa penerima Bidikmisi yang tiap tahun minimal 15 % dan juga di luar mahasiswa penerima bea siswa dari berbagai sumber.
Memiliki kewenangan membuka dan menutup program studi, merupakan bentuk pengakuan bahwa perguruan tinggi tersebut telah dewasa dalam mengelola proses akademiknya. Proses penjaminan mutu secara internal dipandang telah berjalan dengan baik. Dengan otonomi dipastikan tidak akan ada sebuah prodi terlambat memperpanjang status akreditasinya.
Demikian juga pengelola PT harus memiliki jiwa wirausaha. Aset yang dimiliki harus didayagunakan untuk bisa menghasilkan keuntungan guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Hasil-hasil riset perlu diarahkan untuk upaya-upaya inovatif dalam meningkatkan daya saing bangsa. (10)
— Sudharto P Hadi, Rektor Universitas Diponegoro

Sumber : epaper SM hal 6 edisi SABTU, 18 OKTOBER 2014

No comments:

Post a Comment