Oleh : Hifdzil Alim*
BEBERAPA hari lalu, seorang kawan
wartawan di Daerah Istimewa Yogyakarta mengajak berdiskusi mengenai posisi
anggota DPRD atas risiko terlibat tindak pidana korupsi. Pasalnya, setelah
mereka dilantik, banyak anggota mengagunkan surat keputusan (SK)
pengangkatannya sebagai wakil rakyat ke bank. Awalnya, saya menganggap itu hal
biasa. Namun belakangan, fakta wakil rakyat ’’menggadaikan’’ surat keputusan
tersebut tak hanya terjadi di DIY namun hampir di tiap daerah.
Berdasarkan catatan media, jumlah
pinjaman yang bakal diangsur oleh para wakil rakyat itu beragam. Minimal Rp 100
juta, bahkan ada yang berutang Rp 300 juta. Menariknya, semua alasan yang
dikemukakan relatif sama: guna menutup biaya politik. Pada bagian inilah
kekhawatiran saya, dan juga konstituen/pemilih, mulai muncul.
Biaya politik untuk Pileg 2014
memang tak bisa dimungkiri menggelembungkan utang setiap anggota DPR/DPRD terpilih.
Anggaran yang harus disiapkan untuk proses pencoblosan suara dan mengamankan
pemilih disinyalir antara Rp 100 juta dan Rp 1 miliar, bergantung ’’kelasnya’’,
apakah DPRD atau DPR.
Tatkala hanya 1-2 wakil rakyat
menggadaikan SK itu untuk menutup biaya politik, sepertinya wajar saja. Menjadi
tidak wajar setelah lebih dari separuh wakil rakyat menggadaikannya. Alasan
paling utama adalah inkonsistensi pelaksanaan tugas dan kewenangan sebagai
anggota legislatif secara kelembagaan akan terganggu dengan jumlah dan pembayaran
pinjaman. Logikanya sederhana, pendapatan yang seharusnya untuk memenuhi biaya
kehidupan sehari-hari, dialihkan untuk mengangsur utang. Lalu, dari mana uang
untuk makan, minum, membayar tagihan listrik, air, telepon, dan biaya sekolah
anak?
Jalan Masuk
Asumsi sumber pendapatan yang
bisa digunakan adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tiga sumber perantara itu
adalah jalan masuk demi menutup pembiayaan sehari-hari dari yang seharusnya diperankan
oleh pendapatan tetap sebagai anggota DPRD. Korupsi, bagaimanapun akan membawa
dampak buruk dalam pelaksanaan kewenangan.
Robert Klitgaard melalui
karyanya, Controlling Corruption(1988), menuliskan kembali laporan Josep Nye
(1967) atas bahaya korupsi pada sektor pelaksanaan tugas dan kewenangan.
”Korupsi bukan membuka akses cepat bagi masyarakat dalam semua strata sosial,
melainkan malah sebaliknya menciptakan stratifikasi sumber bagi elite borjuasi
yang patrialistik,’’kira-kira begitu cuplikan laporan Nya.
Saya cenderung mengikuti pendapat
Nye ketimbang mengakui bahwa ketika anggota DPRD menggadaikan SK tidak ada
sangkut-pautnya dengan risiko untuk korupsi. Mengagunkan surat pengangkatan
untuk menutup biaya politik, hampir sama dan sebangun dengan memberikan ruang
bagi anggota legislatif untuk bermain politik uang. Ada efek lanjutan yang
perlu dipikirkan serius.
Efek lanjutan pertama;
keterlibatan anggota DPRD dalam pembangunan, khususnya proyek infrastruktur,
secara melawan hukum. Bagaimana itu bisa terjadi? Desakan untuk mendapatkan
banyak duit kemungkinan besar mendorong anggota DPRD menyisir beberapa proyek
yang sedang dikerjakan pemerintah daerah. Harapannya, mereka dapat menjadi
bagian dari proyek tersebut.
Kualitas Proyek
Dengan kewenangan yang dimiliki, anggota
DPRD mudah ’’masuk’’ dalam proyek pemerintah daerah tersebut. Akibatnya,
persaingan tidak sehat akan diasumsikan sebagai ’’cara yang biasa’’ alias
diperbolehkan. Imbas dari efek lanjutan itu adalah kualitas hasil pembangunan
infrastruktur pasti mengecewakan. Bangunan tidak kuat dan tidak tahan lama. Dalam
jangka waktu tertentu, keselamatan bagi manusia (pengguna) yang memakai
bangunan tersebut bakal dipertaruhkan. Ini adalah harga sangat mahal yang harus
ditanggung.
Kedua; melemahkan fungsi
pengawasan DPRD terhadap gubernur, bupati/wali kota (eksekutif). Satu fungsi lembaga
perwakilan daerah adalah menjadi pengawas, sekaligus penyeimbang, dari semua
kebijakan eksekutif. Tugas dan kewenangan ini dapat dijalankan maksimal bila
anggota DPRD tidak tersandera utang, apalagi kepentingan politik lainnya.
Transaksi politik akibat
penjaminan utang mudah dibaca dari sering tidaknya DPRD memberikan tanggapan
dan pengawasan atas kebijakan gubernur atau bupati/wali kota. Setiap usulan eksekutif
mudah saja lolos di rapat paripurna DPRD. Tidak ada pembahasan lebih lanjut,
nihil perdebatan, dan tidak ada catatan atas kebijakan eksekutif. Dengan kata
lain, andai kebijakan eksekutif berisiko atau cenderung korup pun, legislator
cenderung diam, tidak bakal berteriak. Bahkan mereka pun’’terpaksa’’
menyetujui.
Naga-naganya, menggadaikan SK membawa
dampak serius terhadap eksistensi pelaksanaan tugas dan kewenangan anggota
DPRD. Namun hal itu adalah kemungkinan terburuk yang ditakutkan. Semoga
kemungkinan itu tetap menjadi kemungkinan, tidak berubah menjadi kenyataan.
(10)
— Hifdzil Alim, peneliti dari
Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU
DIY
Sumber : epaper SM edisi Rabu, 01
Oktober 2014
No comments:
Post a Comment