Thursday 23 October 2014

Khodimul Ummah

Mudjahirin Thohir
Suatu malam, Umar mengajak sang pembantu, Aslam, secara incognitober jalan kaki berkeliling ke sejumlah desa di wilayahnya. Sampai di Desa Harrah, dia mendengar suara anak-anak menangis dari dalam sebuah rumah penduduk. Umar menghentikan langkah sejenak. Dia mendengar suara tangisan anak-anak yang memilukan hati. Dia bertanya-tanya dalam hati, mengapa anak-anak itu menangis? Apalagi tangisan anak-anak itu tak kunjung berhenti. Dia mengintip lewat celah dinding berlubang. Tampak seorang ibu, dikitari anak-anak yang menangis, sedang menanak entah apa.
Dengan sabar, Umar menunggu. Namun, entah mengapa, setiap kali anak-anak meronta minta makan, sang ibu selalu menjawab, “Tunggulah, Nak, makanan ini sedang Ibu masak.” Setelah lama menunggu, tangisan anakanak itu tak berhenti juga. Dan, setiap kali anakanak meronta, sang ibu selalu mengulang jawab yang sama, “Bersabarlah, Nak.”
Melihat keadaan itu, Umar mengetuk pintu sembari uluk salam. Dia meminta izin masuk ke dalam rumah. “Mengapa anak-anak Ibu tidak berhenti menangis?” tanya Umar. “Mereka menangis karena lapar,” jawab sang ibu. “Mengapa tidak Ibu beri makanan yang Ibu masak sejak tadi?”
Sang ibu lantas mendekati tamu yang belum dikenal itu dan berbisik, “Sebenarnya yang saya masak hanyalah batu. Itu untuk mengelabui, agar anak-anak yang kelaparan menyangka ada makanan. Jika letih menunggu, mereka akan tertidur dengan sendirinya.”
“Apakah Ibu sering berbuat begitu?” tanya Umar.
“Benar, Tuan. Saya hidup menjanda. Suami sudah lama meninggal dunia. Jadi tidak ada penghasilan lagi.”
“Mengapa Ibu tidak mengadukan perkara ini kepada Khalifah? Bukankah beliau boleh membantu dengan memberikan uang dan bahan makanan dari Baitulmal?”
“Aku seorang perempuan,” jawab wanita itu.
“Khalifah telah berbuat zalim pada kami, anak beranak.”
“Bagaimana Khalifah telah berbuat zalim pada Ibu? Terangkan pada saya.”
“Saya sangat kesal pada pemerintahannya. Khalifah seharusnya melihat keadaan rakyatnya dalam kehidupan nyata.”
Mendengar keluhan itu, Umar spontan menangis terisak. Lalu, dia segera bangkit dan minta izin pamit keluar sebentar.
Apa yang kemudian Umar lakukan? Dia berlari-lari cepat menuju ke Baitulmal, memasukkan tepung gandum, daging, dan gula ke sebuah karung. Lalu, dia memanggul dan membawa karung itu ke rumah wanita yang sedang kesulitan memberi makan anakanaknya.
Ketika Aslam, sang pembantu, meminta agar dia yang memanggul karung itu, Umar menjawab, “Biar aku sendiri yang membawa karung ini. Ini tanggung jawabku.”
Sampai di rumah yang dituju, dia menyerahkan karung berisi makanan itu. Tidak hanya itu, dia pun menanakkan hingga matang. Lalu, sang ibu membangunkan anak-anak yang tertidur menanggung lapar untuk menyantap makanan yang sudah tersedia.
Saat Umar pamit pulang, sang ibu berkata, “Sepatutnya engkaulah yang menjadi khalifah. Bukan Umar. Engkau peduli kepada orang-orang yang berkesulitan.”
Keesokan harinya, Umar memanggil wanita itu untuk menghadap. Dia menyalurkan bantuan tetap dari Baitulmal sampai anakanak ibu itu dewasa.
***
RAKYAT menyebut Umar bin Khattab dengan sebutan Amirul Mukminin. Raja orangorang mukmin di Semenanjung Arabia. Dia memerintah selama 10 tahun enam bulan, dari tahun 13 Hijriah/634 Masehi sampai 23 Hijriah/644 Masehi. Selama masa kepemimpinannya, dia membiasakan diri blusukan. Dia blusukan untuk melihat apa yang terjadi pada rakyatnya. Dia membantu dan melayani apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Menjadi khodimul ummah, pelayan rakyat. Bukan sebaliknya, bersikap sebagai sayyidul ummah, bendara raja yang haus puja-puji dan pengorbanan rakyat.
Semoga Jokowi, presiden ketujuh Republik Indonesia yang insya Allah dilantik esok hari, meniru watak kepemimpinan Umar bin Khattab. Perjalanan Jokowi menjadi khodimul ummah ke depan masih harus diuji. Ujian pertama, apakah dia bisa melepaskan diri dari kepentingan partai politik yang mengusung? Itulah godaan sekaligus jebakan yang belum tentu mudah dilepaskan. Ujian kedua, tumbuh godaan keduniawiaan ketika peluang memperkaya diri di depan mata. Seandainya bisa mengekang diri, belum tentu teman-teman seiring tidak menelikung. Entah atas nama balas jasa atau atas nama teman seperjuangan, lalu mereka secara diam-diam mengambil kesempatan memperoleh sebesar-besar keuntungan. Ketika itu terjadi dan dibiarkan, sang pemimpin akan menghadapi simalakama. Bertindak tegas akan dirongrong dari dalam, tetapi jika melindungi akan dijatuhkan oleh lawan. Dalam situasi seperti itu, sang pemimpin bisa saja berganti profesi: bermain sandiwara. Jika itu yang dipilih, maka benar apa kata Sayyid Ahmad Albar, “Ad dunya mata’un.”Alias, dunia ini memang panggung sandiwara.

Sumber : epaper SM edisi MINGGU, 19 OKTOBER 2014

No comments:

Post a Comment