Mudjahirin Thohir |
Suatu malam, Umar mengajak sang
pembantu, Aslam, secara incognitober jalan kaki berkeliling ke sejumlah desa di
wilayahnya. Sampai di Desa Harrah, dia mendengar suara anak-anak menangis dari dalam
sebuah rumah penduduk. Umar menghentikan langkah sejenak. Dia mendengar suara
tangisan anak-anak yang memilukan hati. Dia bertanya-tanya dalam hati, mengapa anak-anak
itu menangis? Apalagi tangisan anak-anak itu tak kunjung berhenti. Dia
mengintip lewat celah dinding berlubang. Tampak seorang ibu, dikitari anak-anak
yang menangis, sedang menanak entah apa.
Dengan sabar, Umar menunggu.
Namun, entah mengapa, setiap kali anak-anak meronta minta makan, sang ibu
selalu menjawab, “Tunggulah, Nak, makanan ini sedang Ibu masak.” Setelah lama
menunggu, tangisan anakanak itu tak berhenti juga. Dan, setiap kali anakanak
meronta, sang ibu selalu mengulang jawab yang sama, “Bersabarlah, Nak.”
Melihat keadaan itu, Umar
mengetuk pintu sembari uluk salam. Dia meminta izin masuk ke dalam rumah.
“Mengapa anak-anak Ibu tidak berhenti menangis?” tanya Umar. “Mereka menangis
karena lapar,” jawab sang ibu. “Mengapa tidak Ibu beri makanan yang Ibu masak
sejak tadi?”
Sang ibu lantas mendekati tamu
yang belum dikenal itu dan berbisik, “Sebenarnya yang saya masak hanyalah batu.
Itu untuk mengelabui, agar anak-anak yang kelaparan menyangka ada makanan. Jika
letih menunggu, mereka akan tertidur dengan sendirinya.”
“Apakah Ibu sering berbuat
begitu?” tanya Umar.
“Benar, Tuan. Saya hidup
menjanda. Suami sudah lama meninggal dunia. Jadi tidak ada penghasilan lagi.”
“Mengapa Ibu tidak mengadukan
perkara ini kepada Khalifah? Bukankah beliau boleh membantu dengan memberikan
uang dan bahan makanan dari Baitulmal?”
“Aku seorang perempuan,” jawab
wanita itu.
“Khalifah telah berbuat zalim
pada kami, anak beranak.”
“Bagaimana Khalifah telah berbuat
zalim pada Ibu? Terangkan pada saya.”
“Saya sangat kesal pada
pemerintahannya. Khalifah seharusnya melihat keadaan rakyatnya dalam kehidupan
nyata.”
Mendengar keluhan itu, Umar spontan
menangis terisak. Lalu, dia segera bangkit dan minta izin pamit keluar sebentar.
Apa yang kemudian Umar lakukan?
Dia berlari-lari cepat menuju ke Baitulmal, memasukkan tepung gandum, daging, dan
gula ke sebuah karung. Lalu, dia memanggul dan membawa karung itu ke rumah
wanita yang sedang kesulitan memberi makan anakanaknya.
Ketika Aslam, sang pembantu,
meminta agar dia yang memanggul karung itu, Umar menjawab, “Biar aku sendiri
yang membawa karung ini. Ini tanggung jawabku.”
Sampai di rumah yang dituju, dia
menyerahkan karung berisi makanan itu. Tidak hanya itu, dia pun menanakkan
hingga matang. Lalu, sang ibu membangunkan anak-anak yang tertidur menanggung
lapar untuk menyantap makanan yang sudah tersedia.
Saat Umar pamit pulang, sang ibu berkata,
“Sepatutnya engkaulah yang menjadi khalifah. Bukan Umar. Engkau peduli kepada orang-orang
yang berkesulitan.”
Keesokan harinya, Umar memanggil
wanita itu untuk menghadap. Dia menyalurkan bantuan tetap dari Baitulmal sampai
anakanak ibu itu dewasa.
***
RAKYAT menyebut Umar bin Khattab dengan
sebutan Amirul Mukminin. Raja orangorang mukmin di Semenanjung Arabia. Dia memerintah
selama 10 tahun enam bulan, dari tahun 13 Hijriah/634 Masehi sampai 23 Hijriah/644
Masehi. Selama masa kepemimpinannya, dia membiasakan diri blusukan. Dia
blusukan untuk melihat apa yang terjadi pada rakyatnya. Dia membantu dan
melayani apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Menjadi khodimul ummah, pelayan
rakyat. Bukan sebaliknya, bersikap sebagai sayyidul ummah, bendara raja yang haus
puja-puji dan pengorbanan rakyat.
Semoga Jokowi, presiden ketujuh
Republik Indonesia yang insya Allah dilantik esok hari, meniru watak
kepemimpinan Umar bin Khattab. Perjalanan Jokowi menjadi khodimul ummah ke depan
masih harus diuji. Ujian pertama, apakah dia bisa melepaskan diri dari
kepentingan partai politik yang mengusung? Itulah godaan sekaligus jebakan yang
belum tentu mudah dilepaskan. Ujian kedua, tumbuh godaan keduniawiaan ketika
peluang memperkaya diri di depan mata. Seandainya bisa mengekang diri, belum
tentu teman-teman seiring tidak menelikung. Entah atas nama balas jasa atau
atas nama teman seperjuangan, lalu mereka secara diam-diam mengambil kesempatan
memperoleh sebesar-besar keuntungan. Ketika itu terjadi dan dibiarkan, sang pemimpin
akan menghadapi simalakama. Bertindak tegas akan dirongrong dari dalam, tetapi
jika melindungi akan dijatuhkan oleh lawan. Dalam situasi seperti itu, sang
pemimpin bisa saja berganti profesi: bermain sandiwara. Jika itu yang dipilih,
maka benar apa kata Sayyid Ahmad Albar, “Ad dunya mata’un.”Alias, dunia ini
memang panggung sandiwara.
Sumber : epaper SM edisi MINGGU,
19 OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment