Friday, 10 October 2014

Pendidikan Holistik di Sekolah

Oleh Hendro Widodo
PENDIDIKAN seringkali dianggap sebagai pabrik intelektual untuk menghasilkan pelaku-pelaku pembangunan yang tangguh dan andal, sehingga pendekatan yang digunakan lebih menekankan pada sebagian aspek, misalnya intelektual saja. Aspek lain belum mendapat posisi yang kuat atau intensif, terutama afektif.
Hal itu berakibat pendidikan kurang mengarah pada penanaman potensi kemanusiaan, khususnya yang bermuara pada sisi emosional peserta didik. Padahal, inti pendidikan adalah menjadikan manusia-manusia yang cerdas, kreatif, dan humanis (Setya Raharja,2008).
Selain itu, dalam praktik pendidikan di Indonesia, di sekolah negeri maupun swasta, ujian nasional masih dianggap sebagai instrumen evaluasi yang paling jitu, sebagai bentuk evaluasi kelulusan siswa pada jenjang pendidikan. Akibatnya, motivasi belajar siswa cenderung hanya mengejar kelulusan dan lebih mengedepankan dimensi kognitif atau akademik.  Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku siswa, tidak hanya aspek kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik. Sementara ujian nasional masih cenderung mengabaikan dua dimensi tersebut (afektif dan psikomototik), sehingga seakan mendistorsi makna pendidikan yang sesungguhnya.
Sistem pendidikan tersebut membuat manusia berpikir secara parsial, terkotak-kotak, dan keecenderungan seperti itu akhirnya menjadikan praktik pendidikan tidak bersifat holistik.
Belum Mampu
Praktik pendidikan saat ini belum mampu memberikan bekal bagi peserta didik untuk menjadi manusia yang holistik. Pendidikan holistik belum diterapkan secara utuh dalam pembelajaran. Pembelajaran baru mengembangkan potensi pengetahuan, belum mengembangkan potensi lainnya.
Potensi manusia didik harusnya tidak terfragmentasi, karena pendidikan yang terfragmentasi akan menghasilkan kepincangan dalam pertumbuhan kepribadian peserta didik. Memaknai pendidikan holistik adalah pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara terpadu dan seimbang, meliputi potensi intelektual, emosional, fisik, sosial, estetika, dan spiritual (John Miller, 2005).
Enam aspek itu hendaknya dikembangkan secara harmonis. Jangan sampai salah satu potensi berkembang jauh melebihi kemampuan aspek lainnya, karena akhirnya menjadi manusia yang tidak holistik. Seluruh dimensi perkembangan anak terjadi secara simultan dan terpadu, masing-masing tidak berdiri sendiri dan perkembangan salah satu aspek dipengaruhi oleh aspek lainnya.
Fenomena meningkatnya kekerasan di sekolah dan menurunnya moral siswa, dapat diduga karena pendidikan holistik belum dilaksanakan secara utuh. Karena itu, aktualisasi pendidikan holistik mendesak untuk segera dilakukan. (37)
— Hendro Widodo MPd, dosen Prodi PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Sumber : epaper SM hal 9 edisi Sabtu, 4 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment