Oleh Hendro Widodo
PENDIDIKAN seringkali dianggap
sebagai pabrik intelektual untuk menghasilkan pelaku-pelaku pembangunan yang
tangguh dan andal, sehingga pendekatan yang digunakan lebih menekankan pada sebagian
aspek, misalnya intelektual saja. Aspek lain belum mendapat posisi yang kuat
atau intensif, terutama afektif.
Hal itu berakibat pendidikan kurang
mengarah pada penanaman potensi kemanusiaan, khususnya yang bermuara pada sisi emosional
peserta didik. Padahal, inti pendidikan adalah menjadikan manusia-manusia yang
cerdas, kreatif, dan humanis (Setya Raharja,2008).
Selain itu, dalam praktik
pendidikan di Indonesia, di sekolah negeri maupun swasta, ujian nasional masih
dianggap sebagai instrumen evaluasi yang paling jitu, sebagai bentuk evaluasi
kelulusan siswa pada jenjang pendidikan. Akibatnya, motivasi belajar siswa
cenderung hanya mengejar kelulusan dan lebih mengedepankan dimensi kognitif
atau akademik. Padahal, pendidikan pada
hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku siswa, tidak hanya aspek kognitif,
namun juga afektif dan psikomotorik. Sementara ujian nasional masih cenderung mengabaikan
dua dimensi tersebut (afektif dan psikomototik), sehingga seakan mendistorsi
makna pendidikan yang sesungguhnya.
Sistem pendidikan tersebut
membuat manusia berpikir secara parsial, terkotak-kotak, dan keecenderungan
seperti itu akhirnya menjadikan praktik pendidikan tidak bersifat holistik.
Belum Mampu
Praktik pendidikan saat ini belum
mampu memberikan bekal bagi peserta didik untuk menjadi manusia yang holistik.
Pendidikan holistik belum diterapkan secara utuh dalam pembelajaran. Pembelajaran
baru mengembangkan potensi pengetahuan, belum mengembangkan potensi lainnya.
Potensi manusia didik harusnya
tidak terfragmentasi, karena pendidikan yang terfragmentasi akan menghasilkan
kepincangan dalam pertumbuhan kepribadian peserta didik. Memaknai pendidikan
holistik adalah pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi peserta didik
secara terpadu dan seimbang, meliputi potensi intelektual, emosional, fisik,
sosial, estetika, dan spiritual (John Miller, 2005).
Enam aspek itu hendaknya
dikembangkan secara harmonis. Jangan sampai salah satu potensi berkembang jauh
melebihi kemampuan aspek lainnya, karena akhirnya menjadi manusia yang tidak
holistik. Seluruh dimensi perkembangan anak terjadi secara simultan dan
terpadu, masing-masing tidak berdiri sendiri dan perkembangan salah satu aspek
dipengaruhi oleh aspek lainnya.
Fenomena meningkatnya kekerasan
di sekolah dan menurunnya moral siswa, dapat diduga karena pendidikan holistik
belum dilaksanakan secara utuh. Karena itu, aktualisasi pendidikan holistik
mendesak untuk segera dilakukan. (37)
— Hendro Widodo MPd, dosen Prodi
PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Sumber : epaper SM hal 9 edisi
Sabtu, 4 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment