Saturday 18 October 2014

Kurikulum 2013 dengan Kelas Inspiratif

Oleh Muharno Zarka
Direktur Pendidikan Agama Islam Swasta (PAIS) Kementerian Agama RI, Dr Amin Haedari mengatakan kurikulum merupakan seni bukan tujuan pendidikan. Karena itu, kurikulum merupakan instrumen yang bisa mengubah mindset (pola pikir) berupa perilaku (pola perilaku) yang menghiasi pola kognitif dan psikomotorik peserta didik. (Suara Merdeka, 30/9).
Tujuan pendidikan sebagaimana diandaikan dalam Kurikulum 2013 sudah jelas, yakni mencetak sumber daya manusia (SDM) unggul, pribadi yang punya kompetensi religius, kompetensi akademik dan kompetensi sosial. Lulusan sekolah diharapkan menjadi generasi yang beriman, terampil, berprestasi dan menjadi teladan dalam masyarakat. Ibarat sebuah tim sepak bola, dalam bertanding, tujuannya harus menang. Seninya adalah strategi pelatih dalam meracik permainan. Untuk bisa menang tentu harus ada strategi permainan yang jitu untuk mengempaskan lawan.
Dalam analogi lain, di dunia politik misalnya, tujuan orang berpolitik adalah berkuasa untuk menyejahterakan rakyat. Upaya untuk meraih kekuasaan dilakukan dengan pemilu. Pemilu merupakan seni untuk memengaruhi orang lain atau seni bernegosiasi untuk mendapatkan kekuasaan dalam politik.
Maka benar apa yang dikatakan oleh Amin Haedari bahwa kurikulum merupakan seni untuk bisa menuju tujuan pendidikan, yakin melahirkan SDM yang unggul, berkepribadian baik, terampil, berprestasi dan menjadi pemimpin di masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Namun, karena pemahaman yang keliru, tak bisa dipungkiri kehadiran Kurikulum 2013 disambut dengan penuh kekhawatiran. Maka yang terjadi adalah banyak pelaku pendidikan yang kurang siap dalam menghadapi perubahan kurikulum lama ke  kurikulum baru. Padahal sebagai sebuah seni, Kurikulum 2013 meniscayakan guru melakukan berbagai ekplorasi dalam kegiatan belajar mengajar.
Implementasi Kurikulum 2013 tambah runyam, karena dalam teknis pelaksanaannya, seperti pelatihan guru dan distribusi buku pegangan siswa, tidak berjalan sebagai mana mestinya. Banyak guru yang belum siap melaksanakan pengajaran model Kurikulum 2013 karena merasa belum mengikuti pelatihan. Meksi pembelajaran untuk semua jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dengan model Kurikulum 2013 sudah berlangsung sejak semester baru pada tahun ini, di lapangan masih banyak ditemui siswa yang belum memiliki buku pegangan Kurikulum 2013. Ini lantaran distribusi buku yang tidak tepat waktu dan tidak sesuai rencana.
Melihat situasi pelaksanaan Kurikulum 2013 yang masih banyak kekurangan, maka tiada lain pendidik harus aktif memberdayakan diri agar tidak selalu menanti giliran pelatihan dan menunggu distribusi buku merata ke semua sekolah.  Jika guru bisa memahami bahwa Kurikulum 2013 merupakan seni dan bukan tujuan pendidikan, sebetulnya kalangan pendidik bisa melakukan inovasi dan ekplorasi pembelajaran bagi anak didik. Guru bisa mengembangkan kemampuannya dalam mengajar. Ini memang menuntut guru untuk terus belajar dan berinovasi.
Di tengah ketidakmenentuan distribusi buku dan belum meratanya pelatihan guru, maka langkah-langkah inovatif dan kreatif guru dalam implementasi Kurikulum 2013 sangat diharapkan. Sebab, dengan cara tersebut niscaya citacita memajukan dunia pendidikan dan menciptakan SDM yang unggul bagi bangsa ini akan mudah tercapai.
Kelas Inspiratif
Relasi guru dan siswa dalam Kurikulum 2013 telah berubah. Guru bukan merupakan penguasa tunggal di kelas. Tapi guru adalah fasilitator dan sahabat siswa di kelas. Suasana kelas diciptakan cair agar ada dialog anta rsiswa dan guru saat pelajaran berlangsung. Melalui Kurikulum 2013, proses belajar mengajar di kelas harus diubah. Sudah tidak saatnya lagi pendidik bersikap otoriter dan menjadi penguasa tunggal di kelas. Siswa diminta menurut pada guru tanpa ada proses dialogis. Jika itu yang masih terjadi, maka tidak akan ada perubahan produk dan kualitas pendidikan di negeri ini. Siswa hanya dituntut mendapat nilai tinggi saat tes atau ujian. Sementara kemampuan inovasi dan kreativitas siswa cenderung terabaikan.
Dalam Kurikulum 2013, tidak cukup kelas didesain dinamis dan komunikatif. Namun mesti ada upaya pengembangan kelas menjadi inspirarif. Kelas inspiratif ini sebenarnya menjadi gagasan brilian Anies Baswedan, tokoh pendidikan yang mencetuskan progam Indonesia Mengajar. Kelas inspiratif mengandaikan kelas yang tidak saja dinamis, dialogis dan cair tapi bagaimana suasana kelas lebih kreatif dan menarik saat pelajaran berlangsung. Jadi siswa tidak merasa canggung, stagnan, takut dan tegang pada guru ketika berada di kelas.
Kelas kreatif, dinamis dan dialogis ini memang meniscayakan guru punya kreativitas, penguasaan materi dan kemampuan komunikasi yang mumpuni. Bila hanya dengan kemampuan guru yang pas-pasan, kelas akan tetap beku, di mana murid hanya menerima pindahan materi pelajaran dari guru atau buku. Dalam kelas inspiratif, tidak melulu guru yang harus mengajar. Sekali-kali guru bisa mendatangkan pihak lain non pendidik, seperti dokter, anggota TNI/Polri, pengusaha, olahragawan, wartawan, wakil rakyat, seniman atau pelaku profesi lain untuk ”mengajar” anak didik di kelas.
Mereka tidak memberi materi pelajaran tertentu laksana guru, tapi diminta bercerita ihwal pengalaman sehari-hari terkait dengan pekerjaan yang dilakoni. Dengan model kelas inspiratif ini, maka siswa dapat mengambil manfaat untuk menggapai cita-cita tinggi ternyata butuh belajar, kerja keras dan berdoa.
Kelas insipratif ini pun akan lebih memicu siswa untuk berprestasi. Karena ”guru” yang ada di kelas bukan guru yang biasa mengajar sehari-hari tapi ”guru” lain.  Secara psikologis, siswa pun akan lebih giat belajar dan berprestasi karena ada stimulus dari kisah orang-orang yang telah sukses di bidang masingmasing. (24)
—Muharno Zarka, tenaga edukatif pada Sekolah Masyarakat Membaca dan Menulis Wonosobo (SM3-W).

Sumber : epaper SM hal 10 edisi Sabtu, 11 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment