Oleh Muharno Zarka
Direktur Pendidikan Agama Islam
Swasta (PAIS) Kementerian Agama RI, Dr Amin Haedari mengatakan kurikulum
merupakan seni bukan tujuan pendidikan. Karena itu, kurikulum merupakan
instrumen yang bisa mengubah mindset (pola pikir) berupa perilaku (pola
perilaku) yang menghiasi pola kognitif dan psikomotorik peserta didik. (Suara
Merdeka, 30/9).
Tujuan pendidikan sebagaimana
diandaikan dalam Kurikulum 2013 sudah jelas, yakni mencetak sumber daya manusia
(SDM) unggul, pribadi yang punya kompetensi religius, kompetensi akademik dan
kompetensi sosial. Lulusan sekolah diharapkan menjadi generasi yang beriman,
terampil, berprestasi dan menjadi teladan dalam masyarakat. Ibarat sebuah tim
sepak bola, dalam bertanding, tujuannya harus menang. Seninya adalah strategi pelatih
dalam meracik permainan. Untuk bisa menang tentu harus ada strategi permainan
yang jitu untuk mengempaskan lawan.
Dalam analogi lain, di dunia
politik misalnya, tujuan orang berpolitik adalah berkuasa untuk menyejahterakan
rakyat. Upaya untuk meraih kekuasaan dilakukan dengan pemilu. Pemilu merupakan
seni untuk memengaruhi orang lain atau seni bernegosiasi untuk mendapatkan kekuasaan
dalam politik.
Maka benar apa yang dikatakan
oleh Amin Haedari bahwa kurikulum merupakan seni untuk bisa menuju tujuan
pendidikan, yakin melahirkan SDM yang unggul, berkepribadian baik, terampil,
berprestasi dan menjadi pemimpin di masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Namun,
karena pemahaman yang keliru, tak bisa dipungkiri kehadiran Kurikulum 2013
disambut dengan penuh kekhawatiran. Maka yang terjadi adalah banyak pelaku
pendidikan yang kurang siap dalam menghadapi perubahan kurikulum lama ke kurikulum baru. Padahal sebagai sebuah seni, Kurikulum
2013 meniscayakan guru melakukan berbagai ekplorasi dalam kegiatan belajar
mengajar.
Implementasi Kurikulum 2013
tambah runyam, karena dalam teknis pelaksanaannya, seperti pelatihan guru dan
distribusi buku pegangan siswa, tidak berjalan sebagai mana mestinya. Banyak guru
yang belum siap melaksanakan pengajaran model Kurikulum 2013 karena merasa
belum mengikuti pelatihan. Meksi pembelajaran untuk semua jenjang SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA/SMK dengan model Kurikulum 2013 sudah berlangsung sejak semester baru pada
tahun ini, di lapangan masih banyak ditemui siswa yang belum memiliki buku
pegangan Kurikulum 2013. Ini lantaran distribusi buku yang tidak tepat waktu
dan tidak sesuai rencana.
Melihat situasi pelaksanaan
Kurikulum 2013 yang masih banyak kekurangan, maka tiada lain pendidik harus
aktif memberdayakan diri agar tidak selalu menanti giliran pelatihan dan
menunggu distribusi buku merata ke semua sekolah. Jika guru bisa memahami bahwa Kurikulum 2013 merupakan
seni dan bukan tujuan pendidikan, sebetulnya kalangan pendidik bisa melakukan
inovasi dan ekplorasi pembelajaran bagi anak didik. Guru bisa mengembangkan
kemampuannya dalam mengajar. Ini memang menuntut guru untuk terus belajar dan berinovasi.
Di tengah ketidakmenentuan
distribusi buku dan belum meratanya pelatihan guru, maka langkah-langkah inovatif
dan kreatif guru dalam implementasi Kurikulum 2013 sangat diharapkan. Sebab,
dengan cara tersebut niscaya citacita memajukan dunia pendidikan dan
menciptakan SDM yang unggul bagi bangsa ini akan mudah tercapai.
Kelas Inspiratif
Relasi guru dan siswa dalam
Kurikulum 2013 telah berubah. Guru bukan merupakan penguasa tunggal di kelas.
Tapi guru adalah fasilitator dan sahabat siswa di kelas. Suasana kelas
diciptakan cair agar ada dialog anta rsiswa dan guru saat pelajaran berlangsung.
Melalui Kurikulum 2013, proses belajar mengajar di kelas harus diubah. Sudah
tidak saatnya lagi pendidik bersikap otoriter dan menjadi penguasa tunggal di
kelas. Siswa diminta menurut pada guru tanpa ada proses dialogis. Jika itu yang
masih terjadi, maka tidak akan ada perubahan produk dan kualitas pendidikan di
negeri ini. Siswa hanya dituntut mendapat nilai tinggi saat tes atau ujian.
Sementara kemampuan inovasi dan kreativitas siswa cenderung terabaikan.
Dalam Kurikulum 2013, tidak cukup
kelas didesain dinamis dan komunikatif. Namun mesti ada upaya pengembangan
kelas menjadi inspirarif. Kelas inspiratif ini sebenarnya menjadi gagasan
brilian Anies Baswedan, tokoh pendidikan yang mencetuskan progam Indonesia
Mengajar. Kelas inspiratif mengandaikan kelas yang tidak saja dinamis, dialogis
dan cair tapi bagaimana suasana kelas lebih kreatif dan menarik saat pelajaran
berlangsung. Jadi siswa tidak merasa canggung, stagnan, takut dan tegang pada
guru ketika berada di kelas.
Kelas kreatif, dinamis dan dialogis
ini memang meniscayakan guru punya kreativitas, penguasaan materi dan kemampuan
komunikasi yang mumpuni. Bila hanya dengan kemampuan guru yang pas-pasan, kelas
akan tetap beku, di mana murid hanya menerima pindahan materi pelajaran dari
guru atau buku. Dalam kelas inspiratif, tidak melulu guru yang harus mengajar. Sekali-kali
guru bisa mendatangkan pihak lain non pendidik, seperti dokter, anggota
TNI/Polri, pengusaha, olahragawan, wartawan, wakil rakyat, seniman atau pelaku
profesi lain untuk ”mengajar” anak didik di kelas.
Mereka tidak memberi materi
pelajaran tertentu laksana guru, tapi diminta bercerita ihwal pengalaman
sehari-hari terkait dengan pekerjaan yang dilakoni. Dengan model kelas
inspiratif ini, maka siswa dapat mengambil manfaat untuk menggapai cita-cita
tinggi ternyata butuh belajar, kerja keras dan berdoa.
Kelas insipratif ini pun akan
lebih memicu siswa untuk berprestasi. Karena ”guru” yang ada di kelas bukan
guru yang biasa mengajar sehari-hari tapi ”guru” lain. Secara psikologis, siswa pun akan lebih giat
belajar dan berprestasi karena ada stimulus dari kisah orang-orang yang telah
sukses di bidang masingmasing. (24)
—Muharno Zarka, tenaga edukatif
pada Sekolah Masyarakat Membaca dan Menulis Wonosobo (SM3-W).
Sumber : epaper SM hal 10 edisi
Sabtu, 11 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment