Akhmad Saefudin |
Dalam sepekan terakhir wacana
pemekaran Kabupaten Banyumas menjadi dua daerah otonom (Kota Purwokerto dan
Kabupaten Banyumas) mewarnai pemberitaan sejumlah media massa. Dalam 4 hari
saja (14-17/10/14) harian ini menurunkan tujuh artikel, dua di antara menjadi
headline’’Suara Banyumas’’, yakni edisi Selasa (14/10) dan Kamis (16/10).
Wacana pemekaran disambut positif
oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Namun ia meminta pemkab mengkaji secara
ilmiah dan komperehensif sebagai dasar pengajuan usulan. Bupati Banyumas Achmad
Husein menyatakan, perkembangan Purwokerto begitu cepat sehingga harus dikelola
sendiri oleh seorang wali kota. Bupati Achmad Husein menegaskan rencana usulan
pemekaran murni didasari keiklasan dan hati nurani demi kesejahteraan masyarakat
Banyumas. Pasalnya, konsentrasi menangani Purwokerto dan (Kabupaten) Banyumas
butuh perhatian berbeda. Dikatakan, Purwokerto tanpa apa-apa bisa maju dengan
sendirinya, yang butuh konsentrasi kabupatennya.
Kabupaten Banyumas terbilang
’’unik’’ karena memiliki dua kantor kejaksaan, dua kantor pengadilan negeri,
dan dua alun-alun, masing-masing berada di kota Purwokerto dan di kota (lama) Banyumas.
Bupati menegaskan pemekaran merupakan amanat Perda Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) 2005-2025. Tahun 2010-2014 tahap persiapan dan 2015-2019 tahap
pengusulan.
Terkait wacana pemekaran, Ganjar Pranowo
mengaku telah mendengar langsung dari Bupati Banyumas saat berkunjung ke daerah
itu. Dia meminta agar usulan pemekaran tidak tergesa-gesa, namun didasari hasil
kajian. Bila hasilnya layak silakan lanjutkan. Namun andai belum layak sebaiknya
rencana itu diperhitungkan lagi (SM, 14/10/14).
Dua Versi
Tahun 2003-2004 sudah muncul
wacana pemekaran Kabupaten Banyumas. Bahkan saat itu ada dua versi hasil studi kelayakan,
yakni versi tim MAP Undip dan tim mediasi Forum Rektor Purwokerto. Kajian tim
Undip (2003) dilakukan atas prakarsa eksekutif semasa Bupati Aris Setiono,
sedangkan kajian tim mediasi Forum Rektor (2004) atas inisiatif DPRD semasa
kepemimpinan dr Tri Waluyo Basuki.
Versi tim MAP Undip menyimpulkan,
baik wilayah kabupaten maupun kotatif belum layak dimekarkan. Adapun tim
mediasi Forum Rektor Purwokerto menyatakan sebaliknya. Model pemekaran yang berkeadilan,
menurut penulis, adalah membagi ’’seimbang’’ menjadi dua. Mengutip istilah H Subur
Widadi, perlu memperhatikan teori ”Belah Semangka”.
Secara administratif, Kabupaten Banyumas
yang terdiri atas 27 kecamatan. Dengan teori di atas, Kabupaten Banyumas semestinya
dibelah jadi dua kabupaten (bukan kabupaten dan kota). Belahan timur tetap
menggunakan nama asal (Kabupaten Banyumas), dan belahan barat dengan nama baru
Kabupaten Banyumas Barat.
Masing-masing kabupaten terdiri
atas 13 dan 14 kecamatan. Empat kecamatan di eks Kotif Purwokorto tak boleh
total masuk ke satu wilayah kabupaten. Secara garis besar, pembagian itu perlu
mendasari sebaran lokasi sarana publik (stasiun-terminal), rumah sakit
(Ajibarang-Banyumas), perguruan tingggi negeri (STAIN-Unsoed), PTS (Unwiku-UMP),
pasar (Ajibarang-Wage), dan seterusnya.
Kembali memindahkan pusat
pemerintahan Kabupaten Banyumas ke kota (lama) Banyuman adalah hal logis.
Adapun pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas Barat perlu didasarkan pada
kajian, dan alternatifnya di Cilongok, Ajibarang, Jatilawang atau Wangon. Kota
Purwokerto menjadi milik bersama sebagai pusat bisnis atau kota pendidikan,
bukan pusat pemerintahan.
Di banyak negara maju, pusat
pemerintahan dan kota bisnis sama sekali terpisah. Betapapun, esensi pengusulan
pemekaran bukanlah sekadar upaya mengubah status ”desa menjadi kelurahan” atau ”pemkab
menjadi pemkot”. Spirit di balik proposal pemekaran adalah untuk lebih
mendekatkan sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada
masyarakat secara luas. (10)
— Akhmad Saefudin SS ME, alumnus Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) Universitas Indonesia, tinggal di
Purwokerto
Sumber : epaper SM edisi KAMIS,
23 OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment