Wednesday, 15 October 2014

Napak Tilas Grosir Batik Setono

Oleh Abdul Mudjib
Berkait Pekan Batik Nasional (PBN) di Pekalongan tanggal 8-12 Oktober 2014, saya ingin ’’memperkenalkan’’ satu tempat yang bisa dikatakan pioner grosir batik di kota tersebut. Tempat itu adalah Pasar Grosir Batik Setono di Jalan Dokter Soetomo, jalur utama pantura Jateng. Dulu orang menyebutnya koperasi batik atau pabrik mori di Jalan Raya Baros.
Sebenarnya, tidak tepat benar bila memperkenalkan karena tempat itu sudah dikenal, terutama oleh penggemar batik. Termasuk mereka yang sering lewat Pekalongan. Pasar grosir yang terletak 3 km di timur pusat kota menjadi pilihan mereka yang ingin berwisata belanja, atau bepergian dan kebetulan lewat Pekalongan.
Pekalongan sejak dulu menjadi salah satu kota di Jateng yang mayoritas penduduknya menjadi perajin batik, dan sebagian memperdagangkannya. Hingga saat ini pun batik menghidupi masyarakat di kota itu, bahkan daerah sekitar. Tidak berlebihan bila orang menyebutnya sebagai Kota Batik.
Pemda menjadikan kata batik sebagai slogan kota, akronim dari bersih, aman, tertib, indah, dan komunikatif. Pengabadian itu termasuk untuk logo kota berwujud canting. Penegasan itu menguatkan citra budaya masyarakat kota tersebut. Selain menciptakan citra budaya, industri batik, baik berskala rumahan maupun besar, menopang perekonomian warga serta mendongkrak sektor atau komoditas lain.
Sejarah pasar grosir itu berawal 1940-an sewaktu beberapa perajin batik di Kampung Setono ingin membentuk wadah, dan baru diformalkan tahun 1962 menjadi Koperasi Pengrajin Batik Setono (KPBS). Koperasi tersebut memiliki peran besar terhadap kemajuan industri batik dan akselerasi perekonomian di Pekalongan, dan bahkan Batang.
Koperasi itu berkembang pesat hingga bisa membangun pabrik mori bahan baku batik di lokasi yang kini jadi pasar grosir. Dulu, orang menyebutnya koperasi batik atau pabrik mori di Jalan Raya Baros. Bahkan tahun 1962, Wapres Moh Hatta sebagai Bapak Koperasi meresmikan berbagai fasilitas yang dibangun koperasi tersebut.
Bangun Jembatan
Fasilitas itu antara lain pembangkit listrik di Gang IV Setono, lima sekolah/ madrasah (dari tingkat SD hingga SMP), dan klinik kesehatan ibu-anak. Semasa jaya, koperasi tersebut bisa membiayai pengaspalan jalan di Kampung Setono, dan membantu dana pembangunan dua jembatan yang menghubungkan wilayah Pekalongan dengan Batang.
Tahun 1980 usaha pabrik mori itu kembang-kempis hingga akhirnya gulung tikar. Persaingan dengan pabrik mori di kota lain dan kemunculan batik cap menjadi salah satu penyebab kebangkrutan tersebut. Pabrik mori menjadi tidak terurus dan bangunannya terbengkalai.
Akhir 1990, Drs Soni Hikmalul MSi (ketua), Priyanto (sekretaris) dan H Hasanudin (bendahara) Nagari, yang dulu menjadi mitra usaha KPBS berinisiatif menyulap eks pabrik mori KPBS menjadi pasar batik. Embrio itu tumbuh dengan pesat dan tanggal 8 Juli 2000 tempat itu diresmikan dengan nama Pasar Grosir Batik Setono oleh Wali Kota Samsudiat .
Pasar Grosir Setono yang berawal dari 50 kios kini berkembang menjadi sedikitnya 300 kios perlu terus berbenah. Tantangannya adalah bagaimana membuat pengunjung merasa puas, dan mempromosikannya dari mulut ke mulut. Dalam era TIK, pengelola bisa memanfaatkan internet untuk memasarkan produk dari tempat itu.
Tidak kalah penting, menyediakan fasilitas pendukung yang representatif seperti layaknya di mal besar, seperi mushala, kantin atau resto, tempat istirahat, arena bermain anak, toilet, bok ATM, termasuk pengaturan parkir. Lebih baik lagi bila bisa menerapkan konsep one stop service, di antaranya menyiapkan jasa pengiriman paket untuk pengunjung yang membeli dalam jumlah banyak. (10)
— Abdul Mudjib, guru MAN 2, mahasiswa Program Pascasarjana STAIN, Ketua Pemerhati Seni dan Budaya Masyarakat Pekalongan (PSBMP), tinggal di Pekalongan

Sumber: epaper SM hal 7 edisi Kamis, 9 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment