Oleh Abdul Mudjib
Berkait Pekan Batik Nasional
(PBN) di Pekalongan tanggal 8-12 Oktober 2014, saya ingin ’’memperkenalkan’’
satu tempat yang bisa dikatakan pioner grosir batik di kota tersebut. Tempat
itu adalah Pasar Grosir Batik Setono di Jalan Dokter Soetomo, jalur utama
pantura Jateng. Dulu orang menyebutnya koperasi batik atau pabrik mori di Jalan
Raya Baros.
Sebenarnya, tidak tepat benar
bila memperkenalkan karena tempat itu sudah dikenal, terutama oleh penggemar batik.
Termasuk mereka yang sering lewat Pekalongan. Pasar grosir yang terletak 3 km
di timur pusat kota menjadi pilihan mereka yang ingin berwisata belanja, atau
bepergian dan kebetulan lewat Pekalongan.
Pekalongan sejak dulu menjadi
salah satu kota di Jateng yang mayoritas penduduknya menjadi perajin batik, dan
sebagian memperdagangkannya. Hingga saat ini pun batik menghidupi masyarakat di
kota itu, bahkan daerah sekitar. Tidak berlebihan bila orang menyebutnya
sebagai Kota Batik.
Pemda menjadikan kata batik
sebagai slogan kota, akronim dari bersih, aman, tertib, indah, dan komunikatif.
Pengabadian itu termasuk untuk logo kota berwujud canting. Penegasan itu
menguatkan citra budaya masyarakat kota tersebut. Selain menciptakan citra
budaya, industri batik, baik berskala rumahan maupun besar, menopang
perekonomian warga serta mendongkrak sektor atau komoditas lain.
Sejarah pasar grosir itu berawal
1940-an sewaktu beberapa perajin batik di Kampung Setono ingin membentuk wadah,
dan baru diformalkan tahun 1962 menjadi Koperasi Pengrajin Batik Setono (KPBS).
Koperasi tersebut memiliki peran besar terhadap kemajuan industri batik dan
akselerasi perekonomian di Pekalongan, dan bahkan Batang.
Koperasi itu berkembang pesat
hingga bisa membangun pabrik mori bahan baku batik di lokasi yang kini jadi pasar
grosir. Dulu, orang menyebutnya koperasi batik atau pabrik mori di Jalan Raya
Baros. Bahkan tahun 1962, Wapres Moh Hatta sebagai Bapak Koperasi meresmikan
berbagai fasilitas yang dibangun koperasi tersebut.
Bangun Jembatan
Fasilitas itu antara lain
pembangkit listrik di Gang IV Setono, lima sekolah/ madrasah (dari tingkat SD
hingga SMP), dan klinik kesehatan ibu-anak. Semasa jaya, koperasi tersebut bisa
membiayai pengaspalan jalan di Kampung Setono, dan membantu dana pembangunan dua
jembatan yang menghubungkan wilayah Pekalongan dengan Batang.
Tahun 1980 usaha pabrik mori itu
kembang-kempis hingga akhirnya gulung tikar. Persaingan dengan pabrik mori di
kota lain dan kemunculan batik cap menjadi salah satu penyebab kebangkrutan
tersebut. Pabrik mori menjadi tidak terurus dan bangunannya terbengkalai.
Akhir 1990, Drs Soni Hikmalul MSi
(ketua), Priyanto (sekretaris) dan H Hasanudin (bendahara) Nagari, yang dulu
menjadi mitra usaha KPBS berinisiatif menyulap eks pabrik mori KPBS menjadi
pasar batik. Embrio itu tumbuh dengan pesat dan tanggal 8 Juli 2000 tempat itu diresmikan
dengan nama Pasar Grosir Batik Setono oleh Wali Kota Samsudiat .
Pasar Grosir Setono yang berawal
dari 50 kios kini berkembang menjadi sedikitnya 300 kios perlu terus berbenah.
Tantangannya adalah bagaimana membuat pengunjung merasa puas, dan
mempromosikannya dari mulut ke mulut. Dalam era TIK, pengelola bisa
memanfaatkan internet untuk memasarkan produk dari tempat itu.
Tidak kalah penting, menyediakan
fasilitas pendukung yang representatif seperti layaknya di mal besar, seperi
mushala, kantin atau resto, tempat istirahat, arena bermain anak, toilet, bok
ATM, termasuk pengaturan parkir. Lebih baik lagi bila bisa menerapkan konsep
one stop service, di antaranya menyiapkan jasa pengiriman paket untuk
pengunjung yang membeli dalam jumlah banyak. (10)
— Abdul Mudjib, guru MAN 2,
mahasiswa Program Pascasarjana STAIN, Ketua Pemerhati Seni dan Budaya Masyarakat
Pekalongan (PSBMP), tinggal di Pekalongan
Sumber: epaper SM hal 7 edisi
Kamis, 9 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment