Oleh: Mardiyanto
ISU sentral yang mengiringi
Kurikulum 2013 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa subtopik. Pertama, materi atau
isi kurikulum yang berkait erat dengan kompetensi yang harus dikuasai peserta
didik. Kedua, proses pembelajaran yang menganut pola pembelajaran scientific (ilmiah).
Ketiga, prinsip evaluasi yang berbasis penilaian autentik (autentic assesment).
Di luar ketiga hal tersebut,
Kurikulum 2013 juga menawarkan gagasan yang sangat menarik, bahkan menjadi esensi
dari Kurikulum 2013, yakni menempatkan bahasa Indonesia pada posisi yang sangat
strategis. Di dalam buku Bahasa Indonesia Sebagai Wahana Pengetahuan pada bab
”Prawana” ditegaskan bahwa bahasa Indonesia memegang peranan penting di dalam
Kurikulum 2013, yakni sebagai pembawa pengetahuan (carrier of knowledge).
Pada fungsi ini bahasa menjadi penarik
yang mempercepat berkembangnya penguasaan ilmu pengetahuan siswa. Perkembangan pengetahuan
siswa seiring dan seirama dengan perkembangan kemampuan berbahasa. Kemahiran
menguasai makna dan struktur bahasa Indonesia sekaligus menjadi kekayaan pengetahuannya.
Dengan demikian, kemampuan
berbahasa menjadi sangat penting untuk memperoleh ilmu maupun dalam rangka
mengembangkan kadar intelektual peserta didik. Oleh sebab itu, pilihan
pendekatan di dalam pembelajaran bahasa Indonesia jatuh pada pembelajaran yang
berbasis teks (genre). Jadi, fungsi bahasa bukan lagi sekadar sebagai alat komunikasi
atau percakapan dalam kehidupan sehari-hari, melainkan sebagai sarana berpikir
(Mahsun, 2013).
Gagasan pembelajaran bahasa Indonesia
berbasis teks bukan tanpa rintangan, sejumlah akademisi lantang menyuarakan
keberatannya. Saya nukilkan dua tulisan yang patut mendapat perhatian. Pertama,
tulisan karya Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayawan ITB, menyatakan
bahwa Kurikulum 2013 masih menggunakan paradigma pemanfaatan bahasa sebagai sarana
komunikasi. Pelajaran Bahasa Indonesia (BI) tidak lagi berfungsi menumbuhkan
semangat nasionalisme pada siswa, tapi sekadar mengajarkan bahasa Indonesia
sebagai pembawa informasi pengetahuan.
Kedua, artikel karya pakar bahasa
Universitas Atmajaya Jakarta, Kaswanti Purwo, menyatakan bahwa kurikulum Bahasa
Indonesia yang dikembangkan dengan berbasis genre atau teks merupakan langkah
mundur. Guru dikondisikan untuk berbalik haluan kembali ke praktik mengajar 30 tahun
lalu. Alasan yang dikemukakan: pertama, pembekalan siswa melalui pengetahuan
berbagai jenis teks pada Kurikulum 2013 dipandang tidak ubahnya pembelajaran
yang menekankan pada butir-butir tata bahasa seperti Kurikulum 1975; kedua,
siswa lebih dituntut pada penghafalan materi, dengan tugas guru yang utama
adalah memberi penjelasan.
Kritik kedua tokoh tersebut
ditanggapi dengan apik oleh Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Prof
Dr Mahsun. Dalam paparannya, Mahsun meluruskan pandangan kedua tokoh tersebut.
Mahsun menegaskan bahwa kompetensi dasar (KD) bukan bahan untuk dijelaskan,
melainkan untuk diterjemahkan oleh guru ke dalam sejumlah kegiatan berbahasa di
kelas.
Hal Baru
Ketegangan berbagai tokoh
terhadap pendekatan berbasis teks yang menimbulkan pro dan kontra membuktikan
belum ada gambaran yang konkret pengejawantahan pembelajaran berbasis teks di
kelas. Hal ini wajar mengingat pendekatan berbasis teks merupakan hal yang
masih baru di dalam khasanah pembelajaran bahasa Indonesia.
Jika para pakar masih berdebat
tentang tataran konsep, lain lagi dengan kondisi di lapangan, para guru Bahasa
Indonesia masih bingung akan pengertian teks atau genre. Dalam benak mereka, teks
atau genre itu hanyalah bersifat bacaan, seperti buku, majalah, dan jurnal.
Padahal, teks atau genre yang diajarkan dalam Kurikulum 2013 mencakup teks
tulis dan lisan.
Gonjang-ganjing Kurikulum 2013 dalam
pembelajaran bahasa disebabkan oleh beberapa fakor. Pertama, guru belum secara
utuh menerima pembelajaran berbasis teks. Hal ini wajar, mengingat hal tersebut
merupakan sesuatu yang baru dan memerlukan waktu lama untuk melakukan adaptasi.
Kedua, terdapat istilah-istilah
asing, kata-kata seperti eksemplum, tidak banyak diketahui. Begitu pula dengan recount
(penceritaan) dengan struktur orientasi, komplikasi, dan resolusi, merupakan
konsep yang tidak populer di kalangan guru.
Ketiga, kegamangan (kekhawatiran)
guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis teks. Kegamangan ini tampak dari
silang sengkarut para guru yang masih mempertanyakan perubahan-perubahan yang
terjadi, kaitannya dengan konsep dan definisi. Sebab, selama ini, pemahaman
guru banyak dipengaruhi oleh konsep dan definisi yang dicetuskan oleh Gorys
Keraf ataupun Tarigan yang lekat dengan keterampilan kebahasaan, seperti
narasi, deskripsi, ar-gumentasi, dan eksposisi.
Berdasarkan pemaparan di atas,
kita sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia
berlangsung sangat dinamis, bahkan ada keinginan untuk berkiblat pada
pendekatan pembelajaran bahasa mutakhir saat ini.
Sebagai penutup, saya mengutip
pendapat pakar pendidikan J Drost (alm) yang mengatakan materi kurikulum,
terutama untuk mata pelajaran dasar SD/SMP, di seluruh dunia pada dasarnya
sama. Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas. Cara guru
mengajar di depan kelas ini justru lebih menentukan kualitas pendidikan
daripada kurikulum itu sendiri. Oleh sebab itu, saling bertegur sapa ”ilmiah”
antar guru menjadi sangat penting daripada bersilang pendapat tentang kurikulum
itu sendiri. (24)
—Mardiyanto SPd, guru SMP N 2
Sukoharjo, penerima beasiswa P2TK Dikdas Kemdikbud Studi S2 Linguistik Terapan
UNY.
Sumber : epaper SM hal 10 Rubrik
Suara Guru edisi Sabtu, 4 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment