Saturday 11 October 2014

Dinamika Pembelajaran Bahasa Indonesia

Oleh: Mardiyanto
ISU sentral yang mengiringi Kurikulum 2013 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa subtopik. Pertama, materi atau isi kurikulum yang berkait erat dengan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Kedua, proses pembelajaran yang menganut pola pembelajaran scientific (ilmiah). Ketiga, prinsip evaluasi yang berbasis penilaian autentik (autentic assesment).
Di luar ketiga hal tersebut, Kurikulum 2013 juga menawarkan gagasan yang sangat menarik, bahkan menjadi esensi dari Kurikulum 2013, yakni menempatkan bahasa Indonesia pada posisi yang sangat strategis. Di dalam buku Bahasa Indonesia Sebagai Wahana Pengetahuan pada bab ”Prawana” ditegaskan bahwa bahasa Indonesia memegang peranan penting di dalam Kurikulum 2013, yakni sebagai pembawa pengetahuan (carrier of knowledge).
Pada fungsi ini bahasa menjadi penarik yang mempercepat berkembangnya penguasaan ilmu pengetahuan siswa. Perkembangan pengetahuan siswa seiring dan seirama dengan perkembangan kemampuan berbahasa. Kemahiran menguasai makna dan struktur bahasa Indonesia sekaligus menjadi kekayaan pengetahuannya.
Dengan demikian, kemampuan berbahasa menjadi sangat penting untuk memperoleh ilmu maupun dalam rangka mengembangkan kadar intelektual peserta didik. Oleh sebab itu, pilihan pendekatan di dalam pembelajaran bahasa Indonesia jatuh pada pembelajaran yang berbasis teks (genre). Jadi, fungsi bahasa bukan lagi sekadar sebagai alat komunikasi atau percakapan dalam kehidupan sehari-hari, melainkan sebagai sarana berpikir (Mahsun, 2013).
Gagasan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks bukan tanpa rintangan, sejumlah akademisi lantang menyuarakan keberatannya. Saya nukilkan dua tulisan yang patut mendapat perhatian. Pertama, tulisan karya Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayawan ITB, menyatakan bahwa Kurikulum 2013 masih menggunakan paradigma pemanfaatan bahasa sebagai sarana komunikasi. Pelajaran Bahasa Indonesia (BI) tidak lagi berfungsi menumbuhkan semangat nasionalisme pada siswa, tapi sekadar mengajarkan bahasa Indonesia sebagai pembawa informasi pengetahuan.
Kedua, artikel karya pakar bahasa Universitas Atmajaya Jakarta, Kaswanti Purwo, menyatakan bahwa kurikulum Bahasa Indonesia yang dikembangkan dengan berbasis genre atau teks merupakan langkah mundur. Guru dikondisikan untuk berbalik haluan kembali ke praktik mengajar 30 tahun lalu. Alasan yang dikemukakan: pertama, pembekalan siswa melalui pengetahuan berbagai jenis teks pada Kurikulum 2013 dipandang tidak ubahnya pembelajaran yang menekankan pada butir-butir tata bahasa seperti Kurikulum 1975; kedua, siswa lebih dituntut pada penghafalan materi, dengan tugas guru yang utama adalah memberi penjelasan.
Kritik kedua tokoh tersebut ditanggapi dengan apik oleh Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Prof Dr Mahsun. Dalam paparannya, Mahsun meluruskan pandangan kedua tokoh tersebut. Mahsun menegaskan bahwa kompetensi dasar (KD) bukan bahan untuk dijelaskan, melainkan untuk diterjemahkan oleh guru ke dalam sejumlah kegiatan berbahasa di kelas.
Hal Baru
Ketegangan berbagai tokoh terhadap pendekatan berbasis teks yang menimbulkan pro dan kontra membuktikan belum ada gambaran yang konkret pengejawantahan pembelajaran berbasis teks di kelas. Hal ini wajar mengingat pendekatan berbasis teks merupakan hal yang masih baru di dalam khasanah pembelajaran bahasa Indonesia.
Jika para pakar masih berdebat tentang tataran konsep, lain lagi dengan kondisi di lapangan, para guru Bahasa Indonesia masih bingung akan pengertian teks atau genre. Dalam benak mereka, teks atau genre itu hanyalah bersifat bacaan, seperti buku, majalah, dan jurnal. Padahal, teks atau genre yang diajarkan dalam Kurikulum 2013 mencakup teks tulis dan lisan.
Gonjang-ganjing Kurikulum 2013 dalam pembelajaran bahasa disebabkan oleh beberapa fakor. Pertama, guru belum secara utuh menerima pembelajaran berbasis teks. Hal ini wajar, mengingat hal tersebut merupakan sesuatu yang baru dan memerlukan waktu lama untuk melakukan adaptasi.
Kedua, terdapat istilah-istilah asing, kata-kata seperti eksemplum, tidak banyak diketahui. Begitu pula dengan recount (penceritaan) dengan struktur orientasi, komplikasi, dan resolusi, merupakan konsep yang tidak populer di kalangan guru.
Ketiga, kegamangan (kekhawatiran) guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis teks. Kegamangan ini tampak dari silang sengkarut para guru yang masih mempertanyakan perubahan-perubahan yang terjadi, kaitannya dengan konsep dan definisi. Sebab, selama ini, pemahaman guru banyak dipengaruhi oleh konsep dan definisi yang dicetuskan oleh Gorys Keraf ataupun Tarigan yang lekat dengan keterampilan kebahasaan, seperti narasi, deskripsi, ar-gumentasi, dan eksposisi.
Berdasarkan pemaparan di atas, kita sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung sangat dinamis, bahkan ada keinginan untuk berkiblat pada pendekatan pembelajaran bahasa mutakhir saat ini.
Sebagai penutup, saya mengutip pendapat pakar pendidikan J Drost (alm) yang mengatakan materi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran dasar SD/SMP, di seluruh dunia pada dasarnya sama. Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas. Cara guru mengajar di depan kelas ini justru lebih menentukan kualitas pendidikan daripada kurikulum itu sendiri. Oleh sebab itu, saling bertegur sapa ”ilmiah” antar guru menjadi sangat penting daripada bersilang pendapat tentang kurikulum itu sendiri. (24)
—Mardiyanto SPd, guru SMP N 2 Sukoharjo, penerima beasiswa P2TK Dikdas Kemdikbud Studi S2 Linguistik Terapan UNY.

Sumber : epaper SM hal 10 Rubrik Suara Guru edisi Sabtu, 4 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment