KENALKAH Anda dengan nama-nama
berikut? Steve Jobs, Tom Cruise, Abisekh Bachan, Orlando Bloom, Steven
Speilberg, dan si jenius Albert Einstain? Percayakah Anda bahwa mereka semua
mengalami kesulitan membaca, menulis dan menghafal? Kenyataannya memang
demikian, mereka mengidap disleksia.
Tak kentara, dan bahkan sering gagal
deteksi. Perhatikan ciri berikut, pada umumnya memiliki intelligence
quotient(IQ) seperti anak-anak pada umumnya, normal atau bahkan sangat. Itulah mengapa
disleksia sulit dideteksi. Padahal faktanya lima persen hingga 15 persen siswa
sekolah mengalami gangguan tersebut.
Andria Rini, salah satu orang tua
yang memiliki anak dengan disleksia menceritakan pengalamannya dalam sebuah
seminar tentang “Keajaiban Disleksia”, di Semarang. Ia baru mengetahui putri
bungsunya mengalami gangguan disleksia saat kelas 3 SD. “Saat itu putri saya
tidak bisa membaca kata ‘bertamasya’,”รน kata Rini.
Menurut Rini, putrinya sering salah
membaca vokal a, i, u, e, o. Menulis kata yang diakhiri huruf p, selalu dengan
huruf m. Di sekolah, putrinya jarang mendapat nilai bagus, terutama untuk
pelajaran Bahasa Inggris. “Padahal saya yakin anak saya tidak bodoh. Belakangan
saya curiga dan membawa ke psikolog, dinyatakan disleksia. Saya sama sekali
tidak tahu apa itu disleksia,” kata Rini.
Psikolog anak dari Children Hope
Center (CHC) Semarang, Lisa Maria menyebut, disleksia adalah gangguan fungsi
kerja otak, khususnya pada proses fonologis pada belahan otak kiri. Terutama
pada sistem menulis alfabet pada subyek yang mengalami disleksia. Butuh
kecermatan dan ketekunan untuk mendeteksinya.
Tidak Tampak
“Disleksia merupakan permasalahan
belajar yang tidak nampak secara lahiriah. Sebenarnya gejalanya sudah terlihat
saat TK, tapi belum bisa menyatakan bahwa itu positif disleksia,’’ kata Lisa.
Salah satu faktor yang
mempengaruhinya karena pelajaran membaca diajarkan saat SD. Beberapa faktor
penyebab disleksia adalah situasi akademik, rangsangan lingkungan, dan potensi
anak. Gen juga diduga menjadi penyebab utama dari disleksia.
Belum jelas penyebab dari disleksia
yang sesungguhnya. Sedikit gangguan pada otak ketika hamil, melahirkan atau
tumbuh kembang bisa meningkatkan risiko disleksia. Andriana Rini mengisahkan, saat
kelahiran putrinya mengalami permasalahan. “Saya waktu itu, diminta menahan, padahal
kepala bayinya sudah keluar sebagian. Ada bekas di kepalanya,” kata Rini.
Gejalanya cukup bervariasi. Seorang
anak bisa saja memiliki nilai akademik yang berbeda dan masalah perilaku
sehingga tidak diketahui. Ada beberapa gejala yang perlu dikenali. Permasalahan
spesial, sulit membedakan arah kanan, kiri, depan, belakang. Sulit membuat
persepsi jarak, menyatakan waktu, dan mudah tersesat. Sulit konsentrasi dan mengingat
nama benda umum, teman dan guru. Di samping itu juga kesulitan menulis dan menyalin
tulisan.
Tapi menurut Lisa, ada kelebihan
yang cenderung dimiliki anak disleksia. Memiliki rasa kepedulian yang sangat
tinggi. Ia menegaskan jika disleksia bukan kebodohan. Disleksia memiliki keajaiban
dan akan muncul jika penanganannya tepat. Menurut Lisa, perlu dilakukan
beberapa pengecekan untuk memastikan kondisi anak. Salah satunya cek mata dan
telinga. Jika ingin memahami lebih detail, evaluasi belajar anak bisa diketahui
melalui tes IQ. Yang penting orang tua perlu menyadari bahwa anak sebaiknya
didampingi ketika belajar dan membutuhkan bantuan. (Eka Handriana-91)
Sumber : epaper SM hal 32 edisi
Kamis, 2 ktober 2014
No comments:
Post a Comment