Oleh : Albertin Melati
Widyaninta*
AKAN seperti apa anak di kemudian
hari merupakan hasil parenting atau pengasuhan orang tuanya. Orang tualah yang
bertanggung jawab dalam membentuk anak. Layaknya benih, anak haruslah dipupuk
sejak dini demi perkembangannya. Pepatah dari Thomas Lickona mengatakan:
walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi
menentukan 100% masa depan.
Ishak S Wonohadidjojo pada April
2001 menyatakan masyarakat memandang parenting sebagai sesuatu yang datang
secara alamiah, otomatis, tanpa direncanakan. Akibatnya, jarang ada orang tua
yang secara khusus mendalaminya. Padahal, parenting adalah hal penting, malahan
Brooks terang-terangan mengatakan tanggung jawab terhadap pengasuhan merupakan
peran mendasar orang tua.
Parenting tidak bisa lagi
dianggap sebagai hal remeh, paradigma lama parenting adalah kecakapan bawaan
yang ada pada orang tua harus segera ditinggalkan. Pengasuhan bukan sekadar
memberi makan, menemani tidur, dan membersihkan kotoran anak seperti yang
dibayangkan masyarakat secara umum. Menurut Hoghughi, pengasuhan meliputi
fisik, emosi, dan sosial. Jadi, parenting dapat digambarkan dengan lebih jelas
dengan istilah mendidik anak.
Orang tua punya cara sendiri
untuk mendidik anak, begitulah kepercayaan yang diamini oleh masyarakat. Namun,
hal ini sering dijadikan alasan bagi orang tua yang keras dalam pola
pengasuhannya. Ishak S Wonohadidjojo menyatakan, hardikan dan pukulan merupakan
metode pendisiplinan yang paling sering dipakai oleh orang tua. Hal ini tentu
memengaruhi pandangan masyarakat bahwa parenting berkaitan secara langsung
dengan pendisiplinan, dengan cara kasar yang ditempuhnya.
Hal yang sama berlaku pada
perilaku membentak. Meminta anak untuk melakukan apa yang orang tua inginkan dengan
volume suara keras dinilai cara yang efektif. Dalam waktu yang terhitung
singkat, anak yang berada dalam situasi yang menekan itu kemudian menjalankan
perintah orang tua. Orang tua mungkin memandangnya sebagai bentuk kepatuhan,
namun harus diselidiki apa sebenarnya dinamika mental yang terjadi dalam diri
anak.
Susun Kaidah
Baumrind, salah seorang ahli
pertumbuhan anak beranggapan orang tua semestinya tidak terlalu ketat (suka menghukum)
ataupun terlalu longgar (membiarkan). Sebaliknya, mereka harus menyusun
kaidah-kaidah bagi anak-anak, namun pada saat yang sama penuh kasih sayang.
Lebih jelas lagi, ia meyakini bahwa para orang tua tidak boleh menghukum atau
mengucilkan, tetapi sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan
aturan-aturan bagi anak-anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka.
Bila keluarga terbiasa berada
dalam atmosfer bentakan, dampak negatif tentu menyerang psikologis anak.
Peluang untuk membentuk anak yang depresif, peragu, penakut menjadi lebih
besar. Kemungkinan terparah yang dapat terjadi justru ketika anak berbalik
memberontak. Vera Itabiliana Hadiwijojo, psikolog anak dan remaja dari Lembaga
Psikologi Terapan Universitas Indonesia menyatakan, membentak akan membuat anak
semakin membangkang. Bukan tidak mungkin, reaksi semacam ini dapat muncul
sebagai bentuk protes anak atas perlakuan orang tuanya. Perlu diketahui,
anak adalah pembelajar yang
cepat. Anak yang merasa tertekan atau selalu diposisikan di bawah kekuasaan
orang tua, mulai belajar bahwa untuk menunjukkan keinginannya diperlukan nada
yang tinggi tanpa mempedulikan pendapat orang lain.
Masihkah Anda berpikir membentak
adalah cara yang efektif dalam pengasuhan anak? Bukankah justru mengganggu
otonominya sebagai anak? Lalu kapan anak akan merasa nyaman untuk mengungkapkan
pendapat di dalam keluarga? Bukankah dari situ anak justru belajar untuk berlaku
keras untuk mencapai keinginannya? Bagaimana dampaknya di kehidupan remaja dan
dewasanya?
Mengamini pernyataan Baumrind,
pengasuhan sudah selayaknya diisi dengan kehangatan yang diberikan dan tuntutan
dari orang tua secara seimbang. Proporsi yang tepat antara kesediaan untuk
mendengar dan keinginan untuk didengar merupakan kunci keberhasilan membangun suasana
yang suportif dalam keluarga.
*Albertin Melati Widyaninta,
penerima beasiswa unggulan Ditjen Dikti Kemdikbud tahun 2013, mahasiswa Program
Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Sumber : epaper SM hal 9 Rubrik
Edukasia edisi Rabu, 1 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment