Wednesday, 8 October 2014

Dilarang Membentak

Oleh : Albertin Melati Widyaninta*
AKAN seperti apa anak di kemudian hari merupakan hasil parenting atau pengasuhan orang tuanya. Orang tualah yang bertanggung jawab dalam membentuk anak. Layaknya benih, anak haruslah dipupuk sejak dini demi perkembangannya. Pepatah dari Thomas Lickona mengatakan: walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan.
Ishak S Wonohadidjojo pada April 2001 menyatakan masyarakat memandang parenting sebagai sesuatu yang datang secara alamiah, otomatis, tanpa direncanakan. Akibatnya, jarang ada orang tua yang secara khusus mendalaminya. Padahal, parenting adalah hal penting, malahan Brooks terang-terangan mengatakan tanggung jawab terhadap pengasuhan merupakan peran mendasar orang tua.
Parenting tidak bisa lagi dianggap sebagai hal remeh, paradigma lama parenting adalah kecakapan bawaan yang ada pada orang tua harus segera ditinggalkan. Pengasuhan bukan sekadar memberi makan, menemani tidur, dan membersihkan kotoran anak seperti yang dibayangkan masyarakat secara umum. Menurut Hoghughi, pengasuhan meliputi fisik, emosi, dan sosial. Jadi, parenting dapat digambarkan dengan lebih jelas dengan istilah mendidik anak.
Orang tua punya cara sendiri untuk mendidik anak, begitulah kepercayaan yang diamini oleh masyarakat. Namun, hal ini sering dijadikan alasan bagi orang tua yang keras dalam pola pengasuhannya. Ishak S Wonohadidjojo menyatakan, hardikan dan pukulan merupakan metode pendisiplinan yang paling sering dipakai oleh orang tua. Hal ini tentu memengaruhi pandangan masyarakat bahwa parenting berkaitan secara langsung dengan pendisiplinan, dengan cara kasar yang ditempuhnya.
Hal yang sama berlaku pada perilaku membentak. Meminta anak untuk melakukan apa yang orang tua inginkan dengan volume suara keras dinilai cara yang efektif. Dalam waktu yang terhitung singkat, anak yang berada dalam situasi yang menekan itu kemudian menjalankan perintah orang tua. Orang tua mungkin memandangnya sebagai bentuk kepatuhan, namun harus diselidiki apa sebenarnya dinamika mental yang terjadi dalam diri anak.
Susun Kaidah
Baumrind, salah seorang ahli pertumbuhan anak beranggapan orang tua semestinya tidak terlalu ketat (suka menghukum) ataupun terlalu longgar (membiarkan). Sebaliknya, mereka harus menyusun kaidah-kaidah bagi anak-anak, namun pada saat yang sama penuh kasih sayang. Lebih jelas lagi, ia meyakini bahwa para orang tua tidak boleh menghukum atau mengucilkan, tetapi sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak-anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka.
Bila keluarga terbiasa berada dalam atmosfer bentakan, dampak negatif tentu menyerang psikologis anak. Peluang untuk membentuk anak yang depresif, peragu, penakut menjadi lebih besar. Kemungkinan terparah yang dapat terjadi justru ketika anak berbalik memberontak. Vera Itabiliana Hadiwijojo, psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia menyatakan, membentak akan membuat anak semakin membangkang. Bukan tidak mungkin, reaksi semacam ini dapat muncul sebagai bentuk protes anak atas perlakuan orang tuanya. Perlu diketahui,
anak adalah pembelajar yang cepat. Anak yang merasa tertekan atau selalu diposisikan di bawah kekuasaan orang tua, mulai belajar bahwa untuk menunjukkan keinginannya diperlukan nada yang tinggi tanpa mempedulikan pendapat orang lain.
Masihkah Anda berpikir membentak adalah cara yang efektif dalam pengasuhan anak? Bukankah justru mengganggu otonominya sebagai anak? Lalu kapan anak akan merasa nyaman untuk mengungkapkan pendapat di dalam keluarga? Bukankah dari situ anak justru belajar untuk berlaku keras untuk mencapai keinginannya? Bagaimana dampaknya di kehidupan remaja dan dewasanya?
Mengamini pernyataan Baumrind, pengasuhan sudah selayaknya diisi dengan kehangatan yang diberikan dan tuntutan dari orang tua secara seimbang. Proporsi yang tepat antara kesediaan untuk mendengar dan keinginan untuk didengar merupakan kunci keberhasilan membangun suasana yang suportif dalam keluarga.
*Albertin Melati Widyaninta, penerima beasiswa unggulan Ditjen Dikti Kemdikbud tahun 2013, mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Sumber : epaper SM hal 9 Rubrik Edukasia edisi Rabu, 1 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment