Oleh : Bandung Mawardi*
ANEKA peristiwa politik di
Indonesia sering memunculkan adegan akrab dan hangat: bersalaman. Sejak proses
awal pelaksanaan Pilpres 2014, dua pasang capres-cawapres sering bersalaman
saat tampil dalam acara-acara di KPU dan tempat perdebatan. Kita mendapati
ekspresi kebersamaan demi Indonesia. Bersalaman tak cuma gerakan tangan dari
dua manusia untuk saling terhubung. Sejarah kultural dan etika politik telah
mengajarkan bahwa bersalaman adalah representasi pertalian atau relasi, bermakna
perkenalan, perdamaian, rekonsiliasi, dan solidaritas.
Kita menganggap adegan bersalaman
antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa adalah ekspresi
politik beradab, acuan keteladanan dalam berdemokrasi. Mereka tak sedang
”bermusuhan” demi kekuasaan. Bersalaman menjadi bukti kemauan mengabdi bagi
Indonesia, berbekal amanat dari hasil coblosan, 9 Juli 2014. Tangan saling
salaman adalah kebersamaan untuk Indonesia. Mereka memang sering bersalaman
dengan misi para pendukung turut menjaga situasi politik, saling menghormati
dan mencipta kerukunan. Bersalaman tak cuma repetisi tapi pengukuhan makna
kebersamaan.
Berdemokrasi dengan tangan
memberi pendidikan demokrasi. Tangan menjelma simbol politik. Sutardji Calzoum
Bachri dalam puisi berjudul ’’Tangan’’ (1976) mengingatkan: seharusnya tangan
bukan hanya tangan tapi tangan yang/ memang tangan tak cuma tangan tapi tangan
yang tangan/ pasti tangan tepat tangan yang dapat lambai yang sampai salam.
Tangan untuk ”lambai” dan
”salam”. Gerakan tangan memuat pengertian-pengertian populis dan ”romantis”. YB
Mangunwijaya (1986) mengungkapkan,’’ Tangan adalah bagian tubuh paling dinamis.
Tangan merupakan perpanjangan
otak dan perasaan sebagai alat mengabdi namun juga sebagai juru bicaranya.”
Tangan dalam politik menjadi juru bicara perdamaian dan kerukunan. Bersalaman
membuktikan kehendak-kehendak saling berbarengan memperbaiki dan mengubah nasib
Indonesia.
Tubuh sebagai ekspresi politik
dalam agenda demokrasi makin bermakna dengan pengenalan salam dua jari. Semula,
Joko Widodo mengajak publik mengedarkan salam dua jari, bermaksud mencipta
harmoni di Indonesia. Salam dua jari menggerakkan jutaan orang. Mereka memiliki
harapan atas Indonesia. Di pelbagai kota dan desa, orang-orang mendemonstrasikan
salam dua jari. Mereka beranggapan ada imajinasi kolektif diperantarai oleh
jari.
Prabowo Subianto pun mengenalkan ekspresi
satu jari sebagai ajakan meraih kemenangan dan keutamaan bagi Indonesia. Satu
jari dan jari berbarengan membentuk makna berdemokrasi. Ekspresi politikdengan
jari menjalar secara cepat dan masif.
Jari berperan untuk salam. Ingat,
”salam” berarti damai, hormat, tabik (Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, 1952). Pemaknaan makin menguat dengan eskpresi jari. Peristiwa
coblosan dan publikasi hitung cepat, 9 Juli 2014, menimbulkan keteganganpolitik.
Jokowi dan Prabowo selalu berpesanke pendukung untuk santun, sabar, tenang.Keduanya
menghendaki ada ”pengendaliandiri” agar proses demokrasi bisa berjalandengan
lancar.
Belum Pudar
Hari-hari menegangkan mulai
mendapat kepastian saat KPU mengumumkan secara resmi hasil penghitungan suara,
22Juli 2014. Sebelum hasil diumumkan ke publik, Prabowo berpidato di Rumah Polonia,
mengatakan menolak hasil pilpresdan menarik diri dari proses pelaksanaan tahapan
penghitungan suara. Para elite politik dan publik mulai bingung dan resah. Sikap
politik telah ditampilkan meski di luar ramalan. KPU menghormati keputusan Prabowo
dan Koalisi Merah Putih tapi proses pilpres harus tetap berlangsung.
Harapan rekonsiliasi belum pudar.
Komunikasi masih terus berlangsung di jajaran elite politik. Mereka berikhtiar
mencipta ketenangan dan perdamaian. Tangantangan siap bersalaman sebagai
ekspresi rekonsiliasi. Ekspresi jari pun mulai diusulkan oleh Jokowi demi
Indonesia. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, 22 Juli 2014, Jokowi dan JK
memberikan pidato kemenangan, berisi ajakan-ajakan tentang perubahan Indonesia
dengan bergerak bersama. Joko Widodo berkata, ’’Lupakanlah nomor 1 dan
lupakanlah nomor 2. Marilah kembali ke Indonesia Raya. Salam 3 jari. Persatuan Indonesia!’’
Kemenangan tak diekspresikan
dengan arogansi dan sorak berlebihan. Kemenangan penting tapi rekonsiliasi
sangat penting. Pesan sudah gamblang bahwa kita bergerak bersama membangun
Indonesia. Jokowi pun memberi pujian bagi Prabowo-Hatta,’’ Saya mengucapkan
terima kasih dan penghargaan tinggi kepada Bapak Prabowo Subianto dan Bapak
Hatta Rajasa.” Mereka memang tak bermusuhan. Ingat, sejak mula mereka sering bersalaman,
bergandengan, berpelukan sebagai ekspresi kematangan berpolitik. Ekspresi salam
tiga jari makin menjelaskan ajakan rekonsiliasi, mengacu ke Pancasila.
Politik mutakhir mulai memiliki
ekspresi impresif dengan adegan bersalaman dan salam tiga jari demi Indonesia.
Politik memang tak selalu kata-kata atau pidato. Tubuh justru menjadi ekspresi
politik berpengaruh dalam agenda demokrasi. Kita menginsyafi tubuh adalah
bahasa populis untuk mengerakkan publik mengabarkan etika politik dan demokrasi
beradab. Tangan dan jari sanggup mengajak elite politik dan publik berbarengan
mewujudkan rekonsiliasi, mencipta sejarah persatuan dan perdamaian bagi anak
dan cucu. Begitu. (10)
*Pengelola Jagad Abjad Solo
Sumber : epaper SM edisi Kamis,
24 Juli 2014
No comments:
Post a Comment