Oleh Tasroh
JOKOWI-JK telah menyampaikan rancangan
34 kementerian. Salah satunya Kementerian Infrastruktur, metamorfosis dari
Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Sekilas perubahan itu tidak ada
persoalan serius. Tapi melihat ruang lingkup tugas pokok, fungsi, dan
kewenangan kelembagaan kementerian baru itu, ada perbedaan substansial. Salah
satunya ’’jangkauan’’ antara makna infrastruktur dan makna pekerjaan umum.
Daniel Hoe dalam Beyond
Infrastructure(2008) menyebut, makna infrastruktur mencakup seluruh pekerjaan
fisik yang terkait dengan lintas sektor dan bidang kehidupan. Tak hanya
berurusan dengan tugas, fungsi sarana, dan fasilitas umum/publik seperti jalan
raya, jembatan, dan bangunan untuk publik tapi juga mencakup lintas sektor dan
bidang seperti bisnis, investasi, dan ekonomi.
Adapun makna implementatif
pekerjaan umum hanya terbatas pada aspek bidang khusus, yaitu kegiatan
penyediaan dan pelaksanaan pekerjaan kesipilan (civil facilities) atau civil
engineering. Pada titik ini makna pekerjaan umum lebih untuk memenuhi kebutuhan
publik secara umum sehingga tak banyak merespons persoalan lintas sektor dan
bidang kehidupan.
Atas dasar itu, nomenklatur
seperti disebutkan Hoe jauh lebih menjangkau berbagai sektor dan bidang kehidupan
sehingga nantinya pekerjaan Kementerian Infrastruktur secara langsung berdampak
pada kuantitas dan kualitas pembangunan ekonomi, bisnis, dan investasi.
Mengingat luasnya pengaruh pada lintas sektor dan bidang itulah maka hampir
semua negara maju, seperti Jepang membentuk kementerian infrastruktur,
sebagaimana negaranegara Eropa dan AS.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa peningkatan
anggaran APBN guna memback up pekerjaan di Kemen PU kita (2013) yang rata-rata
meningkat 28% per tahun (Kemen PU termasuk 5 besar ’’boros’’ APBN, setelah
Kemdikbud, Kemenkes, Kemen ESDM, dan Kementan mengingat selalu menghabiskan
anggaran di atas Rp 100 triliun per tahun) belum signifikan menjawab kebutuhan dan
harapan publik, khususnya investor/dunia usaha.
Pasalnya, proyek pekerjaan umum (khususnya
jalan, jembatan, dan pengairan) sering hanya menghabiskan APBN tanpa inovasi
teknologi atau ouput-outcome pekerjaan yang terstandar. Maka kerap terdengar
celetukan bahwa PU hanya mengejar proyek tahunan. Usia jalan dan jembatan hasil kerja Kemen PU
pun menduduki ranking terendah di ASEAN dengan nilai 4 dari skala penilaian 10
digit (Riset ASEAN Summit on Infrastructure Board, 23/7/13). Meskipun berulang
kali kinerja pekerjaan umum terbukti kurang maksimal, proyek-proyek sejenis terus
dikerjakan nyaris tanpa kendali memadai dari negara.
Perubahan nomenklatur menjadi
Kementerian Infrastruktur diharapkan jangan hanya mengganti papan nama kantor, label,
atau kop surat tapi juga bisa mengubah tradisi buruk tata kelola pekerjaan (proyek
infrastruktur). Setidak-tidaknya ada 3 tradisi buruk yang harus cepat disetop
dalam rangka transformasi tugas pokok, fungsi, dan kewenangan kementerian baru
itu.
Pertama; menghapus budaya proyek di
kalangan birokrat. Kebiasaan yang mendarah daging dari generasi ke generasi di Kemen
PU adalah masih banyaknya naluri predator ekonomi. Sebagian dari pejabat menjadikan
pembangunan/perbaikan infrastruktur sebagai proyek rutin. Bahkan ada dalil
bahwa perbaikan, pemeliharaan, dan pembangunan infrastruktur harus ada tiap
tahun.
Terdapat lebih dari 209 proyek
infrastruktur di perkotaan yang bolak-balik diperbaiki lewat berbagai jenis dan
ragam pengelolaan tapi hasilnya memble. Bukan saja selalu rusak tiap tahun
melainkan juga anggaran yang disediakan harus terus dinaikkan dengan
mendalihkan fluktuasi harga pasar.
Minim Spirit
Kedua; stagnasi teknologi. Di
banyak negara maju seperti Jepang, pelibatan teknologi baru infrastruktur mampu
menjawab kebutuhan pengguna. Di negara kita, implementasi teknologi
infrastruktur belum beranjak dari model lama. Artinya, pejabat sudah paham
bahwa teknologi A misalnya kurang pas untuk merespons kondisi struktur dan
morfologi tanah di suatu lokasi tapi teknologi itu masih diterapkan di lokasi
lain, dan seterusnya.
Ketiga; menyetop budaya perbaikan
secara terus-menerus. Kelemahan tata kelola infrastruktur di negara kita
sebenarnya bukan karena minimnya anggaran sebagaimana sering dikeluhkan para pejabat
melainkan lebih disebabkan minimnya spirit untuk memperbaiki tata kelola.
Sudah menjadi rahasia umum
kebijakan infrastruktur di Indonesia sengaja dibuat berkasta-kata sehingga ada
jalan kualitas pusat dan ada jalan kualitas daerah. Pembagian kasta itu
menyebabkan kondisi infrastruktur di desa tidak terawat. Padahal pemerintah
menyadari bahwa pasokan pangan, produk rakyat berada di pinggir kota, dan
pelosok desa/kampung.
Menjadi wajar pula apabila
produkproduk dunia usaha di pedesaan/daerah tak memiliki daya saing tinggi
karena produsen harus menanggung biaya ekonomi tinggi lantaran kondisi
infrastruktur yang buruk. Seharusnya alokasi anggaran infrastruktur di desa
harus berimbang seiring dengan desentralisasi. (10)
— Tasroh SS MPA MSc, PNS Pemkab
Banyumas, alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
Sumber : epaper SM hal 6 edisi
Jum’at, 10 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment