Sunday, 19 October 2014

Jangan Hanya Ganti Nama

Oleh Tasroh
JOKOWI-JK telah menyampaikan rancangan 34 kementerian. Salah satunya Kementerian Infrastruktur, metamorfosis dari Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU). Sekilas perubahan itu tidak ada persoalan serius. Tapi melihat ruang lingkup tugas pokok, fungsi, dan kewenangan kelembagaan kementerian baru itu, ada perbedaan substansial. Salah satunya ’’jangkauan’’ antara makna infrastruktur dan makna pekerjaan umum.
Daniel Hoe dalam Beyond Infrastructure(2008) menyebut, makna infrastruktur mencakup seluruh pekerjaan fisik yang terkait dengan lintas sektor dan bidang kehidupan. Tak hanya berurusan dengan tugas, fungsi sarana, dan fasilitas umum/publik seperti jalan raya, jembatan, dan bangunan untuk publik tapi juga mencakup lintas sektor dan bidang seperti bisnis, investasi, dan ekonomi.
Adapun makna implementatif pekerjaan umum hanya terbatas pada aspek bidang khusus, yaitu kegiatan penyediaan dan pelaksanaan pekerjaan kesipilan (civil facilities) atau civil engineering. Pada titik ini makna pekerjaan umum lebih untuk memenuhi kebutuhan publik secara umum sehingga tak banyak merespons persoalan lintas sektor dan bidang kehidupan.
Atas dasar itu, nomenklatur seperti disebutkan Hoe jauh lebih menjangkau berbagai sektor dan bidang kehidupan sehingga nantinya pekerjaan Kementerian Infrastruktur secara langsung berdampak pada kuantitas dan kualitas pembangunan ekonomi, bisnis, dan investasi. Mengingat luasnya pengaruh pada lintas sektor dan bidang itulah maka hampir semua negara maju, seperti Jepang membentuk kementerian infrastruktur, sebagaimana negaranegara Eropa dan AS.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa peningkatan anggaran APBN guna memback up pekerjaan di Kemen PU kita (2013) yang rata-rata meningkat 28% per tahun (Kemen PU termasuk 5 besar ’’boros’’ APBN, setelah Kemdikbud, Kemenkes, Kemen ESDM, dan Kementan mengingat selalu menghabiskan anggaran di atas Rp 100 triliun per tahun) belum signifikan menjawab kebutuhan dan harapan publik, khususnya investor/dunia usaha.
Pasalnya, proyek pekerjaan umum (khususnya jalan, jembatan, dan pengairan) sering hanya menghabiskan APBN tanpa inovasi teknologi atau ouput-outcome pekerjaan yang terstandar. Maka kerap terdengar celetukan bahwa PU hanya mengejar proyek tahunan.  Usia jalan dan jembatan hasil kerja Kemen PU pun menduduki ranking terendah di ASEAN dengan nilai 4 dari skala penilaian 10 digit (Riset ASEAN Summit on Infrastructure Board, 23/7/13). Meskipun berulang kali kinerja pekerjaan umum terbukti kurang maksimal, proyek-proyek sejenis terus dikerjakan nyaris tanpa kendali memadai dari negara.
Perubahan nomenklatur menjadi Kementerian Infrastruktur diharapkan jangan hanya mengganti papan nama kantor, label, atau kop surat tapi juga bisa mengubah tradisi buruk tata kelola pekerjaan (proyek infrastruktur). Setidak-tidaknya ada 3 tradisi buruk yang harus cepat disetop dalam rangka transformasi tugas pokok, fungsi, dan kewenangan kementerian baru itu.
Pertama; menghapus budaya proyek di kalangan birokrat. Kebiasaan yang mendarah daging dari generasi ke generasi di Kemen PU adalah masih banyaknya naluri predator ekonomi. Sebagian dari pejabat menjadikan pembangunan/perbaikan infrastruktur sebagai proyek rutin. Bahkan ada dalil bahwa perbaikan, pemeliharaan, dan pembangunan infrastruktur harus ada tiap tahun.
Terdapat lebih dari 209 proyek infrastruktur di perkotaan yang bolak-balik diperbaiki lewat berbagai jenis dan ragam pengelolaan tapi hasilnya memble. Bukan saja selalu rusak tiap tahun melainkan juga anggaran yang disediakan harus terus dinaikkan dengan mendalihkan fluktuasi harga pasar.
Minim Spirit
Kedua; stagnasi teknologi. Di banyak negara maju seperti Jepang, pelibatan teknologi baru infrastruktur mampu menjawab kebutuhan pengguna. Di negara kita, implementasi teknologi infrastruktur belum beranjak dari model lama. Artinya, pejabat sudah paham bahwa teknologi A misalnya kurang pas untuk merespons kondisi struktur dan morfologi tanah di suatu lokasi tapi teknologi itu masih diterapkan di lokasi lain, dan seterusnya.
Ketiga; menyetop budaya perbaikan secara terus-menerus. Kelemahan tata kelola infrastruktur di negara kita sebenarnya bukan karena minimnya anggaran sebagaimana sering dikeluhkan para pejabat melainkan lebih disebabkan minimnya spirit untuk memperbaiki tata kelola.
Sudah menjadi rahasia umum kebijakan infrastruktur di Indonesia sengaja dibuat berkasta-kata sehingga ada jalan kualitas pusat dan ada jalan kualitas daerah. Pembagian kasta itu menyebabkan kondisi infrastruktur di desa tidak terawat. Padahal pemerintah menyadari bahwa pasokan pangan, produk rakyat berada di pinggir kota, dan pelosok desa/kampung.
Menjadi wajar pula apabila produkproduk dunia usaha di pedesaan/daerah tak memiliki daya saing tinggi karena produsen harus menanggung biaya ekonomi tinggi lantaran kondisi infrastruktur yang buruk. Seharusnya alokasi anggaran infrastruktur di desa harus berimbang seiring dengan desentralisasi. (10)
— Tasroh SS MPA MSc, PNS Pemkab Banyumas, alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang

Sumber : epaper SM hal 6 edisi Jum’at, 10 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment