IBADAH kurban sejatinya memiliki
nilai sangat penting, tak hanya untuk pribadi tapi juga berkait kehidupan
berbangsa dan bernegara. Perayaan Idul Kurban seringkali kering dari pesan
moral yang sebenarnya terkandung di dalam ibadah tersebut. Bahkan adakalanya
menjadi ritual rutin tanpa makna, serta tidak berdampak positif bagi pekurban
(orang yang berkurban) dan masyarakat sekitar. Padahal semangat Idul Kurban
dinamis, tidak hanya berhenti pada spirit menumbuhkan kesalehan ritual tapi
juga harus bermuara pada keterwujudan kesalehan sosial.
Makna itu mendasarkan pemahaman
bahwa agama bukan semata-mata berkedudukan sebagai cultus privatus melainkan
juga cultus publicus. Berkurban pada berawal dari syariat Nabi Ibrahim as yang
berpuncak pada kerelaan Beliau menyembelih anaknya, Ismail, semata-mata demi
memenuhi perintah Allah Swt. Kala itu Allah menguji Ibrahim, apakah cinta dan
sayangnya terhadap anak melebihi cinta dan imannya kepada Allah Swt yang
diibadati?
Kecintaan kepada Ismail merupakan
ujian amat berat bagi Ibrahim, dan itulah satu-satunya kelemahannya dalam
berjuang melawan Iblis. Namun Ibrahim dengan keteguhan hatinya tetap
melaksanakan perintah Allah. Ismail yang dikurbankan oleh Ibrahim di Mina
beberapa abad lalu, sebenarnya merupakan simbol untuk sesuatu yang dicintai
manusia.
Kecintaan manusia kepada sesuatu
itulah yang membelenggunya untuk bertakwa kepada Allah Swt. Bila pada masa
kenabian yang menjadi ’’ismail’’-nya Ibrahim adalah anak kandungnya maka
’’ismail-ismail’’ manusia saat ini bisa berwujud jabatan/ kedudukan, harta
benda, profesi, termasuk egoisme yang menguasai manusia. ’’Ismail’’ yang
bisa mewujud dalam bentuk apa saja justru membuat manusia hanya memikirkan
kepentingan diri dan kelompoknya. Bahkan lebih jauh lagi, dapat membutakan mata
dan menutup telinga manusia dari hidayah Allah Swt.
Makna Terpenting
Apa dan siapa pun
’’ismail-ismail’’ kita, harus dikurbankan di bumi yang fana sebagai bukti
keimanan dan kecintaan kita kepada Allah. Makna terpenting Idul Kurban, yakni
tumbuhnya sikap kesediaan berkorban dalam konteks sosial lebih luas. Kapan dan
di mana pun berada, kita harus rela berkorban demi kemaslahatan masyarakat.
Inti ibadah kurban adalah semangat pembebasan manusia dari sifat-sifatnya
antisosial yang melekat. Sifat antisosial yang paling berbahaya dan dapat
menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini adalah egoisme
kelompok.
Pasca-Pilpres 2014 yang dimenangi
Jokowi-JK, dan diikuti gugatan dari pihak Prabowo Hatta ke Mahkamah Konstitusi,
serta serentetan peristiwa yang menyertai, yakni ditetapkannya Rancangan UU MD3
dan UU Pilkada melalui DPRD oleh DPR, serta ditolaknya gugatan PDIP terkait UU
MD3 oleh MK menyebabkan perpecahan di antara elemen bangsa ini makin
menjadi-jadi. Masing-masing kubu merasa paling benar, tidak ada kesediaan
instropeksi sehingga relasi yang terbentuk bukan untuk bekerja sama dan saling
menguatkan melainkan untuk saling menjatuhkan. Andai konflik itu tak segera
diakhiri maka bisa dipastikan bangsa Indonesia makin terpuruk.
Ibadah berkurban sejatinya
relevan dengan upaya mempersatukan bangsa. Bila pekurban (orang yang berkurban)
dan muslim yang merayakan Idul Kurban benar-benar menghayati makna ibadah itu
pasti bersedia mengorbankan egoisme pribadi dan kelompok.
Pengorbanan itu demi kepentingan
yang lebih luas, yakni keterwujudan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai
syarat mutlak menuju kejayaan. (10)
— Sarjuni SAg MHum, Wakil Rektor
III Unissula, anggota Dewan Pakar ICMI Jawa Tengah
Sumber : epaper SM hal 6 edisi
Sabtu, 4 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment