Saturday 11 October 2014

Berkurban demi Persatuan Bangsa

IBADAH kurban sejatinya memiliki nilai sangat penting, tak hanya untuk pribadi tapi juga berkait kehidupan berbangsa dan bernegara. Perayaan Idul Kurban seringkali kering dari pesan moral yang sebenarnya terkandung di dalam ibadah tersebut. Bahkan adakalanya menjadi ritual rutin tanpa makna, serta tidak berdampak positif bagi pekurban (orang yang berkurban) dan masyarakat sekitar. Padahal semangat Idul Kurban dinamis, tidak hanya berhenti pada spirit menumbuhkan kesalehan ritual tapi juga harus bermuara pada keterwujudan kesalehan sosial.

Makna itu mendasarkan pemahaman bahwa agama bukan semata-mata berkedudukan sebagai cultus privatus melainkan juga cultus publicus. Berkurban pada berawal dari syariat Nabi Ibrahim as yang berpuncak pada kerelaan Beliau menyembelih anaknya, Ismail, semata-mata demi memenuhi perintah Allah Swt. Kala itu Allah menguji Ibrahim, apakah cinta dan sayangnya terhadap anak melebihi cinta dan imannya kepada Allah Swt yang diibadati?

Kecintaan kepada Ismail merupakan ujian amat berat bagi Ibrahim, dan itulah satu-satunya kelemahannya dalam berjuang melawan Iblis. Namun Ibrahim dengan keteguhan hatinya tetap melaksanakan perintah Allah. Ismail yang dikurbankan oleh Ibrahim di Mina beberapa abad lalu, sebenarnya merupakan simbol untuk sesuatu yang dicintai manusia.

Kecintaan manusia kepada sesuatu itulah yang membelenggunya untuk bertakwa kepada Allah Swt. Bila pada masa kenabian yang menjadi ’’ismail’’-nya Ibrahim adalah anak kandungnya maka ’’ismail-ismail’’ manusia saat ini bisa berwujud jabatan/ kedudukan, harta benda, profesi, termasuk egoisme yang menguasai manusia.  ’’Ismail’’ yang bisa mewujud dalam bentuk apa saja justru membuat manusia hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya. Bahkan lebih jauh lagi, dapat membutakan mata dan menutup telinga manusia dari hidayah Allah Swt.

Makna Terpenting

Apa dan siapa pun ’’ismail-ismail’’ kita, harus dikurbankan di bumi yang fana sebagai bukti keimanan dan kecintaan kita kepada Allah. Makna terpenting Idul Kurban, yakni tumbuhnya sikap kesediaan berkorban dalam konteks sosial lebih luas. Kapan dan di mana pun berada, kita harus rela berkorban demi kemaslahatan masyarakat. Inti ibadah kurban adalah semangat pembebasan manusia dari sifat-sifatnya antisosial yang melekat. Sifat antisosial yang paling berbahaya dan dapat menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini adalah egoisme kelompok.

Pasca-Pilpres 2014 yang dimenangi Jokowi-JK, dan diikuti gugatan dari pihak Prabowo Hatta ke Mahkamah Konstitusi, serta serentetan peristiwa yang menyertai, yakni ditetapkannya Rancangan UU MD3 dan UU Pilkada melalui DPRD oleh DPR, serta ditolaknya gugatan PDIP terkait UU MD3 oleh MK menyebabkan perpecahan di antara elemen bangsa ini makin menjadi-jadi. Masing-masing kubu merasa paling benar, tidak ada kesediaan instropeksi sehingga relasi yang terbentuk bukan untuk bekerja sama dan saling menguatkan melainkan untuk saling menjatuhkan. Andai konflik itu tak segera diakhiri maka bisa dipastikan bangsa Indonesia makin terpuruk.

Ibadah berkurban sejatinya relevan dengan upaya mempersatukan bangsa. Bila pekurban (orang yang berkurban) dan muslim yang merayakan Idul Kurban benar-benar menghayati makna ibadah itu pasti bersedia mengorbankan egoisme pribadi dan kelompok.  

Pengorbanan itu demi kepentingan yang lebih luas, yakni keterwujudan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai syarat mutlak menuju kejayaan. (10)

— Sarjuni SAg MHum, Wakil Rektor III Unissula, anggota Dewan Pakar ICMI Jawa Tengah

Sumber : epaper SM hal 6 edisi Sabtu, 4 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment