Oleh Nur Rakhmat
Keekstreman cuaca berkait kemarau
panjang, ditambah makin bervariasinya jajanan anak dan makin padatnya jadwal
kegiatan siswa di sekolah, mendorong mereka mengambil jalan pintas dengan jajan
sembarangan. Tidak berlebihan bila ada anggapan mereka tidak lagi memperhatikan
kebersihan, kesehatan, dan higienitas jajanan yang dikonsumsi. Padahal, sekitar
20% jajanan anak SD tidak memenuhi syarat, sebagaimana dikatakan Kepala Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Roy A Saparringa (Kompas, 9/1/14). Jajanan
anak SD seperti bakso, cimol, siomay, minuman jelly dan sebagainya disinyalir
banyak mengandung zat pengawet berbahaya seperti boraks, pewarna pakaian, dan
formalin.
Selain itu, lingkungan kotor,
berdebu, dan tidak terjaminnya kebersihan alat masak pada jajanan anak sekolah,
ikut menyumbang kurang ramahnya makanan dan minuman itu bagi siswa. Padahal
mereka sangat butuh asupan gizi seimbang untuk mendukung perkembangan fisik dan
mentalnya. Terlebih usia SD masih dalam periode usia emas.
Dalam periode itu, mereka butuh
makanan yang mengandung karbohidrat, vitamin, mineral, dan protein tinggi, dan
sebagainya untuk meningkatkan kecerdasan dan perkembangan otak. Semua itu
mustahil didapat dari jajanan yang tidak sehat. Oleh karena itu, usaha untuk menghindari
terjadinya gizi buruk atau malnutrisi sangatlah urgen dilakukan.
BPOM telah menetapkan kriteria
layak tidaknya jajanan anak. Yang tidak layak antara lain makanan atau minuman
itu mengandung bahan berbahaya, terkontaminasi logam berat, dan tidak terjamin
higienitasnya. Dari kategori itu, kita bisa mengambil langkah konkret guna mengurangi,
bahkan menghindari dampak buruk.
Ada beberapa langkah mencegah
meningkatnya konsumsi jajanan anak. Pertama; sekolah bisa memahamkan anak akan
pentingnya pola empat sehat lima sempurna lewat cara menarik, semisal melalui
permainan kuis. Selain itu, rutin mengagendakan progam pemberian makanan
tambahan. Bisa juga memaksimalkan peran dokter kecil untuk mengedukasi dan
mengajak temannya akan pentingnya mengonsumsi makanan sehat dan bergizi
seimbang. Tentunya bimbingan dan arahan guru sangat dibutuhkan oleh dokter
kecil dalam menjalankan kegiatan tersebut. Sekolah juga bisa mencanangkan
gerakan kantin sehat.
Konsep Bento
Kedua; orang tua mengedukasi anak
lewat pendekatan personal untuk selalu menjaga makanan yang dikonsumsi anak di
sekolah. Termasuk kesediaan orang tua membawakan anak bekal makanan. Supaya
lebih menarik, orang tua bisa membuat bekal dengan meniru konsep Bento dari
Jepang.
Caranya, membentuk bekal anak
menjadi berbagai bentuk dan karakter lucu sehingga menarik siswa membawa bekal
dari rumah dan tidak jajan sembarangan. Kemudian, membiasakan anak sarapan
sebelum berangkat sekolah. Namun menu itu juga perlu memperhatikan kandungan
gizi.
Ketiga; penyedia menyesuaikan
jajanan dengan usia anak. Hindari menjual jajanan yang mengandung pengawet atau
gula secara berlebiham dan pemanis buatan. Pasalnya, gula berlebihan selain
menyebabkan obesitas, dapat membuat anak cepat lelah dan mudah mengantuk, cepat
marah dan mudah tersinggung. Karena itu,
penyedia jajanan seolah, terutama kantin, harus menyediakan makanan bergizi dan
menyehatkan.
Selain berperan optimal dalam
proses tumbuh kembang anak, penyedia jajanan sekolah juga membantu membentuk
generasi cerdas dan sehat, dengan memasarkan makanan sehat dan mengandung gizi
seimbang.
Kedisiplinan dan komitmen semua
pihak untuk membiasakan siswa memperhatikan jajanan berperan penting dalam
membantu proses tumbuh kembang anak. Fase emas pertumbuhan dan perkembangan
anak tak akan terulang. Jangan sampai hanya demi keuntungan ”recehan” dan dalih
kepraktisan, kita mengorbankan fase emas tumbuh kembang karena kelak semua
rugi. (10)
— Nur Rakhmat SPd, guru SDN
Gisikdrono 2 Semarang Barat Kota Semarang
Sumber : epaper SM hal 7 edisi
Sabtu, 11 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment