Friday, 17 October 2014

Bias Penilaian Prestasi Sekolah

Oleh Galih Suci Pratama
PRESTASI menjadi harapan setiap sekolah yang menginginkan peningkatan mutu pendidikan. Terkadang, untuk meraih prestasi optimal, setiap warga sekolah rela untuk berkorban waktu, tenaga dan pikirannya. Tidak berlebihan, karena prestasi menjadi parameter setiap sekolah sebagai sekolah favorit atau pun tidak.
Itulah sebabnya, berlomba-lomba dalam meraih prestasi menjadi keharusan setiap sekolah. Sayangnya, prestasi sekolah acap kali dinilai dengan barisan piala yang tertata rapi di lemari kepala sekolah. Piala terkadang menjadi simbol keberhasilan dan kesuksesan setiap sekolah, baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan. Ini tidak salah. Namun, selayaknya memandang makna prestasi tidaklah sesempit itu. Prestasi tidak hanya dapat dilihat dari piala. Apalagi, jika seluruh unsur pendidikan menerapkan dan memahami hakikat penilaian bermakna.
Makna yang terkandung dari setiap nilai itu berbeda-beda. Makna tersebut yang menjadi patokan dalam usahanya mengoptimalkan prestasi sekolah. Bahkan, penerapan Kurikulum 2013 sangat mendorong prestasi sekolah. Utamanya, dalam meningkatkan setiap potensi yang dimiliki siswa. Artinya, memberikan ruang yang lebar agar setiap siswa berkembang sesuai bakat dan minatnya. Pengoptimalan potensi dapat merangsang anak lebih mandiri dalam menghadapi tantangan kehidupan masa depan. Oleh sebab itu, pemaknaan setiap nilai sangat diperlukan, agar lebih memberikan apresiasi secara objektif dalam peningkatan mutu pendidikan.
Apresiasi Penilaian
Contohnya, ketika terdapat sekolah memiliki input siswa dengan standar akademik baik. Sarana prasarana pun lengkap dan mendukung setiap pembelajaran. Bahkan, latar belakang orang tua sangat mendukung pengembangan putra-putrinya dengan menambah bimbingan di luar sekolah. Baik bimbingan akademik maupun bimbingan nonakademik yang berupa seni atau olahraga.  Kemudian ketika lulus, siswasiswanya mendapat standar sangat baik. Ini tidak mengherankan. Mengapa? Karena input, sarana dan dukungan dari orang tua yang sangat baik.
Di sisi lain, terdapat sekolah yang memiliki input siswa dengan standar akademik kurang. Sarana prasarana pun kurang. Bahkan, dukungan yang diberikan orang tua pun kurang optimal. Tapi, dengan kesederhanaan itu, sekolah dapat menyajikan proses pembelajaran yang baik. Hingga, memaksimalkan potensi lingkungan sebagai media pembelajaran. Dan, hasil akhirnya siswa mendapatkan standar akademik baik.
Jika kita hanya melihat hasil akhir saja, maka sekolah yang memperoleh hasil sangat baik itu yang dianggap sekolah berprestasi. Namun, ketika kita menggunakan penilaian bermakna, seharusnya sekolah yang mengoptimalkan potensi siswanya dengan maksimal itu yang menjadi sekolah berprestasi.
Bias Penilaian
Lebih lagi, terkadang penilaian beberapa lomba dilakukan kurang merepresentatifkan kondisi sekolah. Lomba upacara, lomba sekolah hijau, lomba sekolah sehat dan lomba senam yang merupakan lomba tentang kebiasaan sekolah. Namun, terkadang waktu penilaiannya telah diumumkan jauh-jauh hari, sehingga, secara nalar, setiap sekolah pasti sudah menyiapkan kondisi terbaik untuk dilakukan penilaian. Padahal, tidak semua itu sesuai dengan kondisi sehari-hari.
Oleh sebab itu, penilaian lomba yang bersifat kebiasaan sekolah dapat dilakukan secara berjangka waktu. Mungkin satu hingga dua bulan dengan waktu penilaian yang diacak. Namun, disesuaikan lama jangka waktu tersebut. Dengan demikian, penilaian yang dilakukan lebih objektif sesuai dengan kondisi seperti biasa. Tidak terkesan direkayasa. Bahkan, dapat meminimalisasi kondisi semu yang terjadi di sekolah sewaktu penilaian. Penilaian dititikberatkan pada kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di sekolah.
Sebenarnya, pembiasaan positif sangat ditekankan pada Kurikulum 2013. Singkatnya, perlu ada formula jitu dalam menilai prestasi dari sekolah secara objektif. Pemahaman penilaian bermakna dan pembiasaan positif sangat diperlukan di setiap sekolah. Jika semua beriringan menjadi satu kesatuan, maka akan membawa harapan untuk perbaikan pendidikan di Indonesia. (24)
— Galih Suci Pratama SPd, guru SD Negeri Wonosari 03 UPTD Pendidikan Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.

Sumber : epaper SM hal 10 edisi Sabtu, 11 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment