Oleh : F Suryadjaja*
Diagnosis rubela tidak jarang
terlewatkan tatkala muncul kelainan kulit berupa ruam kemerahan yang mirip ruam
campak pada ibu hamil. Padahal sewaktu usia anak telah divaksinasi campak. Pada sisi lain, infeksi rubela
saat hamil merupakan salah satu penyebab terpenting ketidaksempurnaan pembentukan
organ jantung pada janin.
RUBELA atau campak jerman, disebut
juga penyakit ruam 3 hari. Pasalnya, penyakit campak jerman (German measles)
merupakan penyakit yang manifestasi klinisnya dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan dalam waktu 3 hari. Sekilas bukan kasus yang perlu mendapat
perhatian serius, padahal sesungguhnya penyakit infeksi rubela merupakan salah penyebab
penting sindrom rubela kongenital. Sindrom ini memiliki spektrum kecacatan
fisik yang luas pada organ tubuh yang berdampak pada gangguan fungsi organ pada
masa janin hingga kelak usia dewasa.
Rubela termasuk virus RNA yang
dapat menembus plasenta dan menginfeksi janin serta menimbulkan apoptosis atau
kematian sel sehingga potensial mengganggu organogenesis (pembentukan organ
tubuh) janin dalam kandungan. Tingkat keparahan kecacatan organ tubuh janin
akibat ketidaksempurnaan organogenesis semakin signifikan bila infeksi rubela
melanda pada usia kehamilan trimester pertama, khususnya pada minggu ke-4
hingga ke-8 usia kehamilan. Pasalnya pada periode ini merupakan periode dominan
organogenesis.
Virus rubela menginvasi dan
menimbulkan kerusakan sel lapisan mesodermal embrio yang merupakan cikal bakal
untuk organogenesis sebagian besar organ tubuh manusia, termasuk jantung, katub
jantung dan pembuluh darah. Jantung dan pembuluh darah terbentuk pada minggu
ke-4 hingga akhir minggu ke-5 kehamilan. Karena itu, virus rubela tergolong sebagai
teratogen. Secara singkat, teratogen adalah penyebab defek atau
ketidaksempurnaan perkembangan fetus. Tidak hanya obat talidomid saja,
teratogen dapat berupa virus, bakteri, dan polutan lingkungan.
Belum Efisien
Lantaran imunoglobulin G (IgG)
rubela dari ibu tidak ditransfer secara efisien pada trimester pertama, maka
kadar IgG rubela pada janin sekitar 5-10 persen dari kadar IgG dalam darah ibu.
Dengan kadar IgG rubela yang tidak memadai, maka logis janin tidak terproteksi dari
infeksi virus rubela lewat plasenta pada trimester pertama kehamilan.
Sebaliknya, IgG rubela dari ibu baru memberikan perlindungan optimal kepada
organ tubuh janin pada trimester kedua dan ketiga, lantaran efisiensi transfer
IgG rubela telah berlangsung sempurna.
Infeksi virus yang dapat melewati
plasenta selama kehidupan janin dapat memicu malformasi atau defek organ tubuh
yang bersifat kongenital. Ketidaksempurnaan organogenesis terkait infeksi virus
rubela semasa hamil disebut sindrom rubela kongenital. Risiko terkena sindrom
rubela kongenital adalah 90 persen kasus infeksi rubela pada trimester pertama.
Bila terkena infeksi rubela pada trimester kedua, maka risiko kemungkinan
terkena 20 persen. Namun, praktis nihil pada trimester ketiga kehamilan.
Infeksi rubela parah mempunyai
risiko kematian janin di dalam rahim, abortus spontan, dan kecacatan kongenital
dari sejumlah organ tubuh. Kecacatan pada sindrom rubela kongenital dapat
berupa ketulian, katarak kongenital, mikroftalmia, glaukoma kongenital, mikrosefali,
meningoensefalitis, keterbelakangan mental, purpura, hepatosplenomegali, ikterus,
dan abnormalitas tulang.
Anomali atau kelainan jantung
bawaan yang terkait dengan infeksi rubela adalah patent ductus arteriosus,
defek septum atrium atau ventrikel jantung, stenosis arteri pulmonalis,
tetralogi Fallot, stenosis katub aorta, koarktasio aorta, dan atresia
trikuspid.
Badan Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan paling tidak 236.000 kasus sindrom rubela kongenital terjadi
setiap tahun di negara berkembang dan dapat meningkat 10 kali lipat pada saat
terjadi epidemi. Epidemi tahun 1964-1965 di Amerika Serikat menimbulkan 12,5 juta
kasus rubela, dengan mengakibatkan 2100 kematian neonatus, 2000 kasus
ensefalitis, 11.250 abortus, 11.600 kasus ketulian, 3.580 kebutaan, 1.800
retardasi mental, dan ratusan kasus defek organ jantung.
Menginfeksi Langsung Kajian
epidemiologi tahun 1940, tatkala wabah rubela di New South Wales, Australia, menunjukkan
insidensi patent ductus arteriosus (PDA) pada ibu hamil yang terinfeksi rubela
(maternal rubella) mencapai 88 kali dari insidensi PDA pada populasi ibu hamil
yang tidak terinfeksi rubela. Sedangkan defek jantung kongenital lainnya,
selain PDA, sekitar 11 kali dari populasi normal. Karenanya, infeksi rubela
dikategorikan sebagai penyebab PDA yang penting. Untuk defek jantung kongenital
lainnya, peran infeksi rubela lebih sebagai pendongkrak insidensi.
Sementara itu, studi epidemiologi
yang dilakukan oleh Douglas Stuckey, dari 426 pasien usia 3 bulan - 15 tahun
dengan kelainan kongenital jantung, 44 di antaranya lahir dari ibu dengan
riwayat infeksi rubela saat hamil. Kelainan suara jantung (murmur) ditemukan pada
17 kasus, patent ductus arteriosus 13 kasus, defek septum ventrikel 4 kasus,
defek septum atrial 3 kasus, tetralogi Fallot 2 kasus, dan stenosis katub
arteri pulmonalis, stenosis katub aorta, koarktasio aorta, kompleks Eisenmerger,
transposisi arteri besar masingmasing satu kasus. PDA sangat dominan pada bayi
wanita.
Virus rubela menginvasi organ
jantung secara langsung, sehingga menimbulkan konsekuensi perubahan struktur
dan fungsi organ jantung. Otot jantung atau miokardium merupakan salah satu
sasaran tersering dari serangan virus rubela, sehingga dapat menyebabkan kelainan
struktur maupun fungsi otot jantung. Padahal, otot jantung merupakan elemen
organ jantung yang terkait langsung dengan kelangsungan fungsi normal seluruh
organ tubuh. Dengan kekuatan kontraksi yang ritmis, organ jantung berperan
dalam menyuplai darah dan nutrien ke berbagai organ tubuh.
Virus rubela menyusup ke dalam serat
otot jantung untuk memperbanyak diri, baik pada masa kehidupan janin maupun
bayi. Kehadiran virus rubela dalam otot jantung menyebabkan serabut otot
jantung mengalami peradangan (miokarditis), lisis, nekrosis, dan edema.
Miokarditis yang bersifat fokal akan menyebabkan iritabilitas pada atrium atau
ventrikel, aritmia jantung, bahkan gagal jantung. Dilatasi ventrikel kiri dan
kanan dapat menyebabkan insufisiensi katub jantung, baik katub mitral maupun
trikuspid.(11).
*F Suryadjaja, dokter pada Dinas Kesehatan
Kabupaten Boyolali
Sumber : epaper SM Rubrik
Kesehatan hal 19 edisi Rabu, 1 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment