Oleh : Surahmat
SIDANG perdana DPR periode
2014-2019 dengan agenda pemilihan ketua menyisakan sejumlah keganjilan. Di luar
intrik politik yang melingkupi, sidang itu menggambarkan identitas mental
sejumlah ’’wakil rakyat yang terhormat.’’Clemongan, interupsi, hingga penggerudukan
yang berlangsung selama sidang menunjukkan bahwa DPR juga memiliki sifat
kerumunan.
Dalam terminologi ilmu sosial,
kerumunan adalah bentuk kelompok yang paling rendah. Ikatan emosional antaranggota
kerumunan sangat rendah. Kerumunan lahir karena ketidaksengajaan, bersifat
spontan, dengan pembagian peran yang tidak jelas. Sosiolog Prancis Gustav Le
Bon (1841-1931) memperkenalkan kerumunan sebagai konsep akademik. Menurutnya,
ada dua jenis kerumunan, yakni kerumunan heterogen dan homogen.
Tuduhan bahwa DPR adalah
kerumunan memang lebih menyerupai satire. Namun, tuduhan itu mendapat pembuktian
jika direfleksikan pada perilaku mereka saat sidang paripurna DPR, baik saat
pengesahan undangundang pilkada maupun pemilihan ketua.
Mentalitas kerumunan anggota DPR
dapat ditelusuri dari performa linguistiknya. Metode ini dapat diterapkan
mengingat bahasa adalah representasi kepribadian. Kata, sebagai tanda, adalah
penanda bagi konsep yang hidup dalam pikiran manusia. Bahasa dalam bentuk kata
merupakan penampakan isi, batin yang ada di dalam.
Searle (1969) mengemukakan, ada
tiga bentuk tindak tutur yang banyak dipraktikkan masyarakat, yaitu lokusi,
ilokusi, dan perlokusi. Tiga kategori tindak tutur ini menjelaskan bahwa sebuah
kalimat yang sama dapat digunakan untuk tujuan yang sama sekali berbeda.
Tindak tutur lokusi digunakan
penutur bahasa untuk menyatakan sesuatu. Maksud penutur bahasa sama persis
dengan yang terutara secara eksplisit pada kata, frasa, atau kalimat yang
diutarakan. Tindak tutur ilokusi, selain berfungsi untuk mengatakan sesuatu
dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
Dalam praktik, ilokusi dapat
berupa perintah, larangan, deklarasi sikap, dan pernyataan. Adapun perlokusi
merupakan tindak tutur yang memiliki pengaruh terhadap publik pendengarnya,
baik yang sengaja dikreasi maupun akibat tambahan.
Dalam arena politik, tiap
perkataan dapat diasumsikan tindakan politik. Si penutur berupaya menjadikan perkataannya
untuk mendukung tindakan politiknya. Praktiknya, tindakan politik bisa berupa
serangan, pertahanan, atau klarifikasi.
Meski anggota DPR memiliki rekam
jejak sebagai pribadi terpelajar, performa bahasa mereka berkarakter kelas
rendah (lowbrow). Indentitas tersebut setidaktidaknya dapat dibaca dari
clemongan (celetukan) yang muncul. Clemongan merupakan ekspresi lisan yang biasa
muncul spontan dalam kerumunan. Dalam pergelara kesenian rakyat, clemongan
sangat sering muncul.
Dalam lenong misalnya, penonton
bebas berkomentar selama pertunjukan. Begitu pula dalam pentas tari tayub, reog,
dan lengger. Karena bersifat spontan, clemongan bukan tindak tutur lokusi. Oleh
penuturnya, justru dijadikan sebagai pelampiasan atas hasrat yang tersimpan
dalam batin. Clemongan digunakan agar penutur dapat melepas beban persepsi yang
tidak dapat dilepas dengan kalimat normal.
Strategi Delegitimasi
Saat Popon Otje Djundjunan
memimpin sidang misalnya, salah seorang anggota DPR nylemong, ’’Sudah malaaam
neneeek...’’ Secara pragmatik, clemonganitu berisi permintaan supaya rapat
segera diakhiri. Namun, itu bukan satu-satunya yang ingin dia sampaikan.
Penutur itu juga menyatakan sikap politiknya untuk merendahkan pimpinan sidang.
Pada tataran tertentu, ejekan semacam itu merupakan strategi mendelegitimasi
kepemimpinan lawan.
Clemongan juga hadir dalam sidang
paripurna pengesahan RUU Pilkada. Saat anggota fraksi Partai Demokrat walk out,
11 orang memilih bertahan. Saat itu seorang anggota DPR nylemong,’’ Yang ini
penghuni ’surga’.’’ Si penutur menggunakan celetukannya itu untuk meluapkan
’’kemarahan’’ terhadap kelompok yang berbeda sikap politiknya.
Apakah profil mental semacam ini
memengaruhi kinerja legislasi anggota DPR 5 tahun ke depan?
Pertama-tama, perlu diklarifikasi
bahwa tiap anggota sebenarnya memiliki hak bersuara. Mereka bebas menyatakan
sikap sesuai pandangan politiknya. Namun, kebebasan semacam ini kerap dirampas
fraksi dengan ancaman pergantian antar waktu (PAW). Realitas politik inilah
yang membuat anggota DPR terus memelihara mentalitas kerumunannya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pernah memPAW Lily Wahid dan Effendi Choirie karena keduanya memilih sikap
berbeda dari partainya tentang kasus Bank Century. Tindakan PKB menjadi terapi
kejut bagi anggota DPR lainnya untuk berpikir dua kali sebelum menyatakan
sikap. Akibatnya, kendati memiliki sikap politik personal, mereka akan
menyimpannya rapat-rapat.
Kondisi tidak ideal itu membuat
anggota DPR menjadi juru bicara yang hening. Meski secara konstitusional memiliki
hak bicara, mereka tidak memiliki keberanian. Layaknya bebek, mereka akan
berkerumun mengikuti instruksi politik pemimpin partai. Dalam kondisi ini, pemimpin
partai berperan sebagai pemimpin kerumunan. (10)
— Surahmat, dosen Bahasa
Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes), penulis buku Melawan Kuasa Perut
(2014)
Sumber : epaper SM hal 6 edisi Kamis, 09
Oktober 2014
No comments:
Post a Comment