Monday, 13 October 2014

Mental Kerumunan Wakil Rakyat

Oleh : Surahmat
SIDANG perdana DPR periode 2014-2019 dengan agenda pemilihan ketua menyisakan sejumlah keganjilan. Di luar intrik politik yang melingkupi, sidang itu menggambarkan identitas mental sejumlah ’’wakil rakyat yang terhormat.’’Clemongan, interupsi, hingga penggerudukan yang berlangsung selama sidang menunjukkan bahwa DPR juga memiliki sifat kerumunan.
Dalam terminologi ilmu sosial, kerumunan adalah bentuk kelompok yang paling rendah. Ikatan emosional antaranggota kerumunan sangat rendah. Kerumunan lahir karena ketidaksengajaan, bersifat spontan, dengan pembagian peran yang tidak jelas. Sosiolog Prancis Gustav Le Bon (1841-1931) memperkenalkan kerumunan sebagai konsep akademik. Menurutnya, ada dua jenis kerumunan, yakni kerumunan heterogen dan homogen.
Tuduhan bahwa DPR adalah kerumunan memang lebih menyerupai satire. Namun, tuduhan itu mendapat pembuktian jika direfleksikan pada perilaku mereka saat sidang paripurna DPR, baik saat pengesahan undangundang pilkada maupun pemilihan ketua.
Mentalitas kerumunan anggota DPR dapat ditelusuri dari performa linguistiknya. Metode ini dapat diterapkan mengingat bahasa adalah representasi kepribadian. Kata, sebagai tanda, adalah penanda bagi konsep yang hidup dalam pikiran manusia. Bahasa dalam bentuk kata merupakan penampakan isi, batin yang ada di dalam.
Searle (1969) mengemukakan, ada tiga bentuk tindak tutur yang banyak dipraktikkan masyarakat, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tiga kategori tindak tutur ini menjelaskan bahwa sebuah kalimat yang sama dapat digunakan untuk tujuan yang sama sekali berbeda.
Tindak tutur lokusi digunakan penutur bahasa untuk menyatakan sesuatu. Maksud penutur bahasa sama persis dengan yang terutara secara eksplisit pada kata, frasa, atau kalimat yang diutarakan. Tindak tutur ilokusi, selain berfungsi untuk mengatakan sesuatu dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
Dalam praktik, ilokusi dapat berupa perintah, larangan, deklarasi sikap, dan pernyataan. Adapun perlokusi merupakan tindak tutur yang memiliki pengaruh terhadap publik pendengarnya, baik yang sengaja dikreasi maupun akibat tambahan.
Dalam arena politik, tiap perkataan dapat diasumsikan tindakan politik. Si penutur berupaya menjadikan perkataannya untuk mendukung tindakan politiknya. Praktiknya, tindakan politik bisa berupa serangan, pertahanan, atau klarifikasi.
Meski anggota DPR memiliki rekam jejak sebagai pribadi terpelajar, performa bahasa mereka berkarakter kelas rendah (lowbrow). Indentitas tersebut setidaktidaknya dapat dibaca dari clemongan (celetukan) yang muncul. Clemongan merupakan ekspresi lisan yang biasa muncul spontan dalam kerumunan. Dalam pergelara kesenian rakyat, clemongan sangat sering muncul.
Dalam lenong misalnya, penonton bebas berkomentar selama pertunjukan. Begitu pula dalam pentas tari tayub, reog, dan lengger. Karena bersifat spontan, clemongan bukan tindak tutur lokusi. Oleh penuturnya, justru dijadikan sebagai pelampiasan atas hasrat yang tersimpan dalam batin. Clemongan digunakan agar penutur dapat melepas beban persepsi yang tidak dapat dilepas dengan kalimat normal.
Strategi Delegitimasi
Saat Popon Otje Djundjunan memimpin sidang misalnya, salah seorang anggota DPR nylemong, ’’Sudah malaaam neneeek...’’ Secara pragmatik, clemonganitu berisi permintaan supaya rapat segera diakhiri. Namun, itu bukan satu-satunya yang ingin dia sampaikan. Penutur itu juga menyatakan sikap politiknya untuk merendahkan pimpinan sidang. Pada tataran tertentu, ejekan semacam itu merupakan strategi mendelegitimasi kepemimpinan lawan.
Clemongan juga hadir dalam sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada. Saat anggota fraksi Partai Demokrat walk out, 11 orang memilih bertahan. Saat itu seorang anggota DPR nylemong,’’ Yang ini penghuni ’surga’.’’ Si penutur menggunakan celetukannya itu untuk meluapkan ’’kemarahan’’ terhadap kelompok yang berbeda sikap politiknya.
Apakah profil mental semacam ini memengaruhi kinerja legislasi anggota DPR 5 tahun ke depan?
Pertama-tama, perlu diklarifikasi bahwa tiap anggota sebenarnya memiliki hak bersuara. Mereka bebas menyatakan sikap sesuai pandangan politiknya. Namun, kebebasan semacam ini kerap dirampas fraksi dengan ancaman pergantian antar waktu (PAW). Realitas politik inilah yang membuat anggota DPR terus memelihara mentalitas kerumunannya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah memPAW Lily Wahid dan Effendi Choirie karena keduanya memilih sikap berbeda dari partainya tentang kasus Bank Century. Tindakan PKB menjadi terapi kejut bagi anggota DPR lainnya untuk berpikir dua kali sebelum menyatakan sikap. Akibatnya, kendati memiliki sikap politik personal, mereka akan menyimpannya rapat-rapat.
Kondisi tidak ideal itu membuat anggota DPR menjadi juru bicara yang hening. Meski secara konstitusional memiliki hak bicara, mereka tidak memiliki keberanian. Layaknya bebek, mereka akan berkerumun mengikuti instruksi politik pemimpin partai. Dalam kondisi ini, pemimpin partai berperan sebagai pemimpin kerumunan. (10)
— Surahmat, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes), penulis buku Melawan Kuasa Perut (2014)

 Sumber : epaper SM hal 6 edisi Kamis, 09 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment