Oleh : Awaludin Marwan
PEMBAHASAN RUU Advokat akhirnya
disetop karena belum ada titik temu di antara anggota panitia kerja DPR
mengenai keberadaan dewan advokat nasional (Kompas, 29/9/14). Dengan
penghentian pembahasan itu, panja memberikan rekomendasi atau saran kepada
anggota DPR periode berikutnya, meskipun pembahasan itu tidak bisa serta merta
dilanjutkan.
Pasal lain yang juga memicu
perdebatan adalah soal struktur organisasi advokat, serta sistem multi bar dan
penyumpahan yang dinilai bisa membuat tidak adanya standardisasi mutu.
Pasalnya, masing-masing organisasi advokat mempunyai standar terkait dengan
kualitas advokat yang mereka seleksi dan sumpah.
Perspektif mengenai kemandirian
advokat lewat sistem multi barsebenarnya bagian dari produk demokrasi dan
kebebasan berorganisasi. Yang berhak menilai keberhasilan advokat adalah
pencari keadilan. Apalagi setelah terbit UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, advokat berlomba-lomba membangun citra baik di mata publik tanpa perlu
menjelaskan organisasinya.
Pada posisi itu, selain
menjalankan bisnis komersial, advokat juga tengah menjalankan sensivitas sosialnya.
Dari keseimbangan kerja profesional dan kerja pro bono publicoitu advokat
menjalankan fungsi sosial berbasis kebebasan etis. Mereka tak hanya menjadi
mesin uang bagi kantornya tapi juga menjawab persoalan kemasyarakatan tanpa ada
intervensi.
Kebebasan etis itu diperoleh dari
rasa keadilan rakyat yang tercipta ketika mendapat bantuan hukum dari advokat.
Kondisi itu secara tidak langsung menjadikan advokat sebagai hamba bagi pencari
keadilan/rakyat, dan bukannya pelayan bagi organisasi atau pemerintah.
Sebaliknya, dengan wadah tunggal, penguasa lebih mudah mengontrol komunitas advokat.
Fakta sejarah memperlihatkan pada
masa Orde Baru, penguasa bisa menyetir organisasi advokat berwadah tunggal.
Seperti halnya penangkapan Adnan Buyung Nasution pada 1974 saat Peradin mulai
mengembangkan lembaga bantuan hukum (LBH) yang membela perkara sengketa tanah,
perburuhan, dan pidana politik. Dalam sejarahnya, wadah tunggal advokat menjadi
sarana bagi penguasa untuk menyalurkan gairah kekuasaannya. Penguasa tak perlu
repot melobi beberapa orang dan beberapa organisasi advokat. Cukup memanggil
seorang pemimpin advokat dan satu asosiasi advokat maka kepentingannya sudah
terakomodasi.
Dengan multi bar association,
posisi saling mengawasi dalam kerangka penguatan masyarakat sipil berjalan
dengan sendirinya. Masyarakat pun punya banyak menu untuk menyandarkan
pembelaan hukum pada berbagai komunitas advokat. Andai pengembangan profesi
terhambat hanya karena birokrasi asosiasi maka pencari keadilan justru dirugikan.
Dalam kerangka penguatan otda tingkat
III, yakni desa misalnya, kini sekitar 73 desa membutuhkan tenaga advokat
profesional untuk melayani warga desa yang jauh dari kota. Dengan banyaknya advokat dan organisasinya
maka pemberdayaan hukum, penyuluhan, mediasi, dan pembentukan badan hukum bisa dilaksanakan
di desa dengan lancar.
Dari konteks inilah, etika
profesi ditegakkan di lapangan sosial, yakni kebutuhan rakyat akar rumput. Hal itu
selaras dengan apa yang dibayangkan Adrian Evans (2011) bahwa keprofesionalan
advokat didukung oleh hukum rakyat (law societies), yakni seberapa besar
kontribusi advokat menjawab persoalan di masyarakat.
Profesor Satjipto Rahardjo mengajarkan
bahwa pluralisme hukum merupakan nalar cara berhukum yang cukup memesona. Kita bisa
melihatnya minimal dari dua hal, yakni pertama; tidak mendukung fasisme atau
ketunggalan kebenaran, dan kedua; menolak hegemoni dan intervensi yang
memonopoli sebuah institusi, entah negara atau pasar.
Kecenderungan Dipolitisasi
Begitu pun organisasi profesi. Jika
berwadah tunggal maka cenderung tiran dan kekhawatiran dipolitisasi lebih mudah
terjadi. Kita bisa berkaca pada kasus advokat senior, berintegritas,
profesional, dan punya nama besar, yang ’’dipecat seumur hidup’’ lantaran
organisasi menyatakan dia bersalah.
Kasus Todung Mulya Lubis patut
menjadi contoh ketika ia dipecat setelah Majelis Kehormatan Daerah Peradi DKI
Jakarta menilainya melanggar kode etik advokat Indonesia. Disebutnya,
pelanggaran itu dilakukan Mulya, panggilan akrabnya, ketika menjadi kuasa hukum
Salim Group terkait kasus gula di PN Kotabumi dan PN Gunung Sugih, Lampung.
Realitas itulah salah satu pertimbangan
yang melatarbelakangi kelahiran Kongres Advokat Indonesia (KAI), organisasi
yang menambah jumlah payung komunitas profesi advokat. Keragaman organisasi
advokat, dalam kacamata Prof Tjip, bisa menjadi simbol pluralisme hukum.
Termasuk, untuk menjawab keinginan publik mendapat pelayanan jasa hukum.
Melindungi hak-hak klien dan menjaga
praktik hukum yang bersih adalah sarana etis. Seperti diungkapkan Adrian Evans
(2011) bahwa etika adalah pusat dari profesionalisme (ethics at the centre of
professionalism). Tentu, advokat pantas mendapat sanksi tegas bila terbukti menyuap,
melanggar pidana, menipu klien, atau melakukan sederet pelanggaran etika dan
hukum lainnya. (10)
— Awaludin Marwan SH MH MA,
kandidat doktor dari School of Law Utrecht University Belanda, peneliti dari
Satjipto Rahardjo Institute
Sumber : epaper SM hal 6-7 edisi
Rabu, 8 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment