Wednesday 15 October 2014

Kemandirian Berbasis Etis Advokat

Oleh : Awaludin Marwan
PEMBAHASAN RUU Advokat akhirnya disetop karena belum ada titik temu di antara anggota panitia kerja DPR mengenai keberadaan dewan advokat nasional (Kompas, 29/9/14). Dengan penghentian pembahasan itu, panja memberikan rekomendasi atau saran kepada anggota DPR periode berikutnya, meskipun pembahasan itu tidak bisa serta merta dilanjutkan.
Pasal lain yang juga memicu perdebatan adalah soal struktur organisasi advokat, serta sistem multi bar dan penyumpahan yang dinilai bisa membuat tidak adanya standardisasi mutu. Pasalnya, masing-masing organisasi advokat mempunyai standar terkait dengan kualitas advokat yang mereka seleksi dan sumpah.
Perspektif mengenai kemandirian advokat lewat sistem multi barsebenarnya bagian dari produk demokrasi dan kebebasan berorganisasi. Yang berhak menilai keberhasilan advokat adalah pencari keadilan. Apalagi setelah terbit UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, advokat berlomba-lomba membangun citra baik di mata publik tanpa perlu menjelaskan organisasinya.
Pada posisi itu, selain menjalankan bisnis komersial, advokat juga tengah menjalankan sensivitas sosialnya. Dari keseimbangan kerja profesional dan kerja pro bono publicoitu advokat menjalankan fungsi sosial berbasis kebebasan etis. Mereka tak hanya menjadi mesin uang bagi kantornya tapi juga menjawab persoalan kemasyarakatan tanpa ada intervensi.
Kebebasan etis itu diperoleh dari rasa keadilan rakyat yang tercipta ketika mendapat bantuan hukum dari advokat. Kondisi itu secara tidak langsung menjadikan advokat sebagai hamba bagi pencari keadilan/rakyat, dan bukannya pelayan bagi organisasi atau pemerintah. Sebaliknya, dengan wadah tunggal, penguasa lebih mudah mengontrol komunitas advokat.
Fakta sejarah memperlihatkan pada masa Orde Baru, penguasa bisa menyetir organisasi advokat berwadah tunggal. Seperti halnya penangkapan Adnan Buyung Nasution pada 1974 saat Peradin mulai mengembangkan lembaga bantuan hukum (LBH) yang membela perkara sengketa tanah, perburuhan, dan pidana politik. Dalam sejarahnya, wadah tunggal advokat menjadi sarana bagi penguasa untuk menyalurkan gairah kekuasaannya. Penguasa tak perlu repot melobi beberapa orang dan beberapa organisasi advokat. Cukup memanggil seorang pemimpin advokat dan satu asosiasi advokat maka kepentingannya sudah terakomodasi.
Dengan multi bar association, posisi saling mengawasi dalam kerangka penguatan masyarakat sipil berjalan dengan sendirinya. Masyarakat pun punya banyak menu untuk menyandarkan pembelaan hukum pada berbagai komunitas advokat. Andai pengembangan profesi terhambat hanya karena birokrasi asosiasi maka pencari keadilan justru dirugikan.
Dalam kerangka penguatan otda tingkat III, yakni desa misalnya, kini sekitar 73 desa membutuhkan tenaga advokat profesional untuk melayani warga desa yang jauh dari kota.  Dengan banyaknya advokat dan organisasinya maka pemberdayaan hukum, penyuluhan, mediasi, dan pembentukan badan hukum bisa dilaksanakan di desa dengan lancar.
Dari konteks inilah, etika profesi ditegakkan di lapangan sosial, yakni kebutuhan rakyat akar rumput. Hal itu selaras dengan apa yang dibayangkan Adrian Evans (2011) bahwa keprofesionalan advokat didukung oleh hukum rakyat (law societies), yakni seberapa besar kontribusi advokat menjawab persoalan di masyarakat.
Profesor Satjipto Rahardjo mengajarkan bahwa pluralisme hukum merupakan nalar cara berhukum yang cukup memesona. Kita bisa melihatnya minimal dari dua hal, yakni pertama; tidak mendukung fasisme atau ketunggalan kebenaran, dan kedua; menolak hegemoni dan intervensi yang memonopoli sebuah institusi, entah negara atau pasar.
Kecenderungan Dipolitisasi
Begitu pun organisasi profesi. Jika berwadah tunggal maka cenderung tiran dan kekhawatiran dipolitisasi lebih mudah terjadi. Kita bisa berkaca pada kasus advokat senior, berintegritas, profesional, dan punya nama besar, yang ’’dipecat seumur hidup’’ lantaran organisasi menyatakan dia bersalah.
Kasus Todung Mulya Lubis patut menjadi contoh ketika ia dipecat setelah Majelis Kehormatan Daerah Peradi DKI Jakarta menilainya melanggar kode etik advokat Indonesia. Disebutnya, pelanggaran itu dilakukan Mulya, panggilan akrabnya, ketika menjadi kuasa hukum Salim Group terkait kasus gula di PN Kotabumi dan PN Gunung Sugih, Lampung.
Realitas itulah salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi kelahiran Kongres Advokat Indonesia (KAI), organisasi yang menambah jumlah payung komunitas profesi advokat. Keragaman organisasi advokat, dalam kacamata Prof Tjip, bisa menjadi simbol pluralisme hukum. Termasuk, untuk menjawab keinginan publik mendapat pelayanan jasa hukum.
Melindungi hak-hak klien dan menjaga praktik hukum yang bersih adalah sarana etis. Seperti diungkapkan Adrian Evans (2011) bahwa etika adalah pusat dari profesionalisme (ethics at the centre of professionalism). Tentu, advokat pantas mendapat sanksi tegas bila terbukti menyuap, melanggar pidana, menipu klien, atau melakukan sederet pelanggaran etika dan hukum lainnya. (10)
— Awaludin Marwan SH MH MA, kandidat doktor dari School of Law Utrecht University Belanda, peneliti dari Satjipto Rahardjo Institute

Sumber : epaper SM hal 6-7 edisi Rabu, 8 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment